Senin, 29 April 2013

Eyang Subur


Eyang Subur
Sarlito Wirawan Sarwono ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 28 April 2013
  

Akhir-akhir ini hampir semua orang kena demam Eyang Subur. Sudah beberapa bulan terakhir, setiap saya menyetel TV, sengaja atau tidak sengaja, saya melihat Eyang Subur karena semua program infotainment menayangkannya. 

Karena profesor juga manusia, jadi saya ikut menonton. Ketika ada bom Boston pekan yang lalu, saya agak lupa pada Eyang Subur, tetapi begitu pelaku bom Boston sudah diketahui dan dibereskan oleh polisi, saya balik lagi mencari tayangan Eyang Subur. Sebetulnya saya kurang tertarik pada Eyang Suburnya. 

Di mata saya, Eyang Subur tidak atraktif. Istri saya, yang terkadang masih senang melihat cowok berondong yang cakep, juga tidak berminat pada Eyang Subur. Padahal Eyang itu istrinya sembilan loh. Saya lebih tertarik pada orang-orang di sekitar Eyang Subur ini. Adi Bing Slamet, misalnya, sebelum dia buka kartu-kartu Eyang Subur di infotainment, adalah pengikut dekat Eyang Subur. 

Sesudah Adi Bing Slamet buka kartu, muncul selebritas lain, laki-laki dan perempuan, yang mengaku mantan pengikut Eyang dan sekarang frustrasi dan ikut buka-buka kartunya si Eyang sesuai dengan pengalaman masing-masing. Malah ada yang tadinya orang biasa, mendadak jadi selebritas gara-gara ikut-ikutan ngomong tentang kejengkelannya pada Eyang. 

Tetapi jangan salah! Ternyata pengikut Eyang yang masih setia juga banyak. Mereka pun tampil di TV membela sang Eyang. Maka riuhrendahlah layar TV dengan para selebritas yang saling gaduh, padahal yang pro maupun yang kontra-Eyang, semuanya pernah atau masih jadi pengikut Eyang. 

Lalu MUI pun intervensi. Mereka datang ke kediaman Eyang, dan menemukan penyimpangan terhadap syariat Islam, yaitu beristri lebih dari 4 (bukannya berarti yang sekarang masih kurang dari 4 dipersilakan melengkapi sampai 4 loh). Kemudian juga ditemukan praktik perdukunan. Terus kalau saya ikuti di infotainment, ada lagi yang namanya “Eyang Ghoib” (eyang kok punya eyang lagi), yaitu yang selalu membisiki Eyang Subur untuk menikahi wanita-wanita cantik.

Psikologi tidak mengenal istilah perdukunan. Tetapi dalam psikologi ada istilah karisma, atau daya tarik, sehingga orang lain cenderung suka atau tertarik pada yang punya karisma. Kebanyakan pemimpin kelas dunia seperti Bung Karno, Osama bin Laden atau Barack Obama adalah orang-orang yang punya karisma. Tetapi orang kebanyakan seperti Eyang Subur juga bisa punya karisma. 

Karisma itu bisa dibawa sejak lahir (bakat), tetapi bisa juga dibentuk, dilatih. Misalnya Sabar, seorang siswa SMA. Selama di SMA Sabar sering di-bully oleh teman-temannya, karena tampangnya yang jelek, badannya yang kurus, dan sifatnya yang penakut, termasuk pada perempuan. Setelah lulus SMA, Sabar diterima di Akademi Angkatan Laut. Ketika teman-teman sekelasnya di SMA membuat reuni setahun setelah ujian nasional, Sabar hadir. 

Dia tampak sangat gagah, sikapnya tegak sempurna dan seragamnya putih-putih dengan tanda pangkat besar-besar di lengan, ditambah senyumnya yang selalu menawan. Karismanya langsung naik. Cewek-cewek langsung berlomba ingin jadi pacarnya, sedangkan cowok-cowok (termasuk yang dulu suka mem-bully dia) beramai-ramai SKSD palapa (sok karib sok dekat, padahal gakada apa-apa). 

Karena itu dalam kacamata psikologi, ilmunya Subur sebetulnya tidak jauh-jauh dari ilmunya Sabar. Tentu saja Eyang Subur tidak pernah masuk AAL, tetapi dia menggunakan teknik-teknik yang mungkin dikembangkannya sendiri untuk menarik simpati orang. Buat selebritas yang sedang bermasalah berat, misalnya, ustaz di pengajiannya yang selalu mengajarkan takwa kepada Allah kalah karisma dari Eyang Subur yang punya makhluk gaib yang bernama Eyang Ghoib. 

Walaupun Eyang Subur tidak bergelar SAg (sarjana alam gaib), tetapi dia bisa kontak langsung dengan makhluk-makhluk gaib. Maka otomatis naiklah karisma Eyang Subur. Masalahnya, sekarang ini ilmu-ilmu karisma makin mudah dan makin banyak dipelajari atau dilatih. Agen-agen asuransi atau salesmen dilatih sedemikian rupa untuk meningkatkan karisma agar calon pembeli tertarik. 

Para politisi belajar menyanyi atau belajar melawak agar elektabilitasnya naik. Tetapi para penipu juga mempelajari ilmu yang sama. Sampai sekarang masih selalu ada orang yang kena hipnosis di angkot, sehingga seluruh isi tasnya raib. Atau orang yang tertipu soal arisan, atau investasi yang menjanjikan keuntungan berlipat ganda, padahal nantinya uang itu raib juga. 

Hal seperti ini sudah sering terjadi, tetapi orang masih saja tertipu. Mengapa? Karena daya berpikir kritis kebanyakan orang Indonesia sangat rendah. Apalagi kalau orang sedang dalam keadaan galau, apa saja ajaran atau isu yang disampaikan, apalagi oleh seorang yang sudah berlatih karisma, akan ditelan dan diikuti. Malah nama Allah pun dipinjam untuk menyuruh orang untuk mengebom suatu sasaran dan menimbulkan banyak korban jiwa. 

Susahnya, sistem pendidikan kita di Indonesia, memang tidak mendorong kemampuan berpikir kritis. Buktinya, ujian nasional. Semua orang stres gara-gara ujian nasional. Pemerintah pusat stres dan bilang, “Sentralisasi, agar tidak bocor.” Polisi yang sudah supersibuk stres disuruh mengawal distribusi. Panitia lokal stres karena soal terlambat datang atau kurang. 

Orang tua stres takut anaknya tidak lulus, anaknya saking stresnya malah bunuh diri, karena takut dimarahi orang tua kalau tidak lulus. Padahal, sekolah itu penting, tetapi bukan yang terpenting. Kreativitas dan kemampuan berpikir kritis itulah yang terpenting, dan itu tidak diajarkan di sekolah sekarang ini. 

Mungkin sudah saatnya sekolah-sekolah mulai diharuskan untuk mengajarkan kreativitas dan kritisisme, sehingga kemudian akan tercipta generasi yang mampu berpikir kritis, berkarya, percaya diri dan bisa menyumbang kepada bangsa dan negara, dan tidak mudah terbujuk pada hal-hal yang merugikan dan menyesatkan. Dimulai dulu dari guru yang senang dikritik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar