Senin, 29 April 2013

FIR Singapura


FIR Singapura
Chappy Hakim ;  Kepala Staf TNI Angkatan Udara periode 2002-2005;
Chairman CSE Aviation
SINAR HARAPAN, 27 April 2013



Bila kita bicara tentang FIR Singapura (di mana sebagian wilayah udaranya merupakan wilayah udara kedaulatan RI), jawaban standar yang muncul adalah wilayah udara FIR itu bukan soal kedaulatan, tetapi masalah “Aviation Safety”.

Itu biasa, banyak kok negara-negara di Eropa yang wilayah kedaulatannya juga diatur negara lainnya. Di kita juga, ada wilayah kedaulatan Australia di sektor Christmas Island yang pengaturannya berada di bawah otoritas penerbangan RI. Jadi, biasa dan tidak apa-apa karena sekali lagi itu kan masalah safety.

Kita sendiri belum beres mengurus wilayah udara di Soekarno-Hatta, jadi ngapain ngurusin FIR Singapura? Paling kalau diserahkan, kita tidak bisa mengurusnya, karena kita tidak punya SDM berkualitas dan juga tidak punya cukup dana untuk membeli peralatan pendukung pengaturan lalu lintas udara, seperti radar.

Terluas

Banyak yang tidak menyadari bahwa RI adalah negara terbesar dan terluas di kawasan ASEAN; bahwa RI terletak pada lokasi yang sangat strategis terutama dalam konteks perhubungan udara di kawasan ASEAN.
Dari sisi ini saja, tentunya sangat tidak pantas bila pengaturan wilayah udara kedaulatan RI diserahkan kepada satu negara kecil di kawasan perbatasan yang sangat padat dalam konteks niaga dengan banyak negara lain di sekelilingnya.

Ini lebih dari sekadar mengandung makna komersial dan komoditas semata. Ini masalah kehormatan sebagai bangsa, masalah nasionalisme, masalah harga diri bangsa, masalah patriotisme, masalah kebanggaan sebagai bangsa besar, masalah kepedulian terhadap kebanggaan sebagai bangsa bahari. Ingat, kita adalah negara kepulauan terbesar di seantero jagat. Kita bukanlah Eropa. Ini adalah masalah dignity. Masalah kesadaran berbangsa. Kesadaran akan sikap bermartabat sebagai satu nation.

Kebanggaan saya sebgai orang Indonesia. Belum lagi bila kita sudah memasuki pembahasan tentang kecintaan terhadap negara dan bangsa yang otomatis membuat setiap warga negaranya memiliki tugas melekat untuk mempertahankan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tidak bisa disangkal oleh siapa pun dan oleh teori manapun tentang sistem pertahanan negara yang bisa mengatakan bahwa kawasan Selat Malaka bukan kawasan perbatasan kritis yang bernilai sangat strategis/critical border yang harus menjadi bagian utama perhatian RI dalam menggelar sistem pertahanannya.

Ingat, lebih dari 60 persen perang yang terjadi di sepanjang sejarah dunia, penyebab utamanya adalah border dispute atau sengketa perbatasan. Jadi, sangatlah naif, bila kemudian ada yang berkata dengan enteng bahwa itu hanya soal biasa dan itu hanyalah soal aviation safety.

Jangan coba-coba mengatakan FIR Singapura sebagai hal biasa. Apalagi dengan menyebut kita pun diberi hak mengatur wilayah udara kedaulatan Australia, yaitu di kawasan udara sekitar Christmas Island.
Ini menyesatkan! Christmas Island hanya sebuah pulau sangat kecil milik koloni Inggris dan dikelola Singapura yang kemudian diserahkan/dibeli oleh Australia. Terletak di selatan Samudera Hindia, lebih kurang hanya berjarak 970 km di selatan Jakarta, jauh sekali dari Australia. Ia berjarak 2.600 km dari Australia.
Christmas Island adalah sebuah pulau yang penduduknya hanya 2.000 orang, luasnya hanya 135 km persegi dengan garis dalam pulau yang paling panjang hanyalah 19 km, lebih pendek dari jarak Harmoni ke Blok M. Itu artinya sangat sulit untuk mengatakan kawasan tersebut sebagai critical border. Apalagi kalau kita bicara tentang air traffic yang pengelolaannya diserahkan kepada otoritas penerbangan Indonesia.

Data mutakhir dari kepadatan lalu lintas penerbangan di Christmas Island menunjukkan hanya ada empat penerbangan dalam satu minggu, menggunakan Virgin Australian Airlines ke Christmas Island yang berangkat dari Perth dan satu penerbangan carter yang kadang-kadang tidak terselenggara karena tidak cukup penumpang, yang diselenggarakan salah satu travel biro kecil di Malaysia.

Jadi, menyamakan kawasan kedaulatan udara Australia yang dikelola otoritas penerbangan Indonesia dengan kawasan Selat Malaka bagian wilayah kedaulatan Indonesia yang dikelola otoritas penerbangan Singapura, adalah benar-benar laksana membandingkan bumi dengan langit. Sekali lagi sungguh naif.
Berikutnya lagi ada juga argumen yang mengatakan bahwa kita mengurus kawasan udara di Soekarno-Hatta saja tidak becus, ngapain lagi repot-repot mau ambil alih FIR Singapura?

Ada satu analogi yang mungkin bisa menjelaskan tentang hal ini. Bila di dalam sebuah rumah, kita sebagai pemilik rumah berhadapan dengan kesulitan dalam mengelola ruang di dalam rumah kita sendiri, apakah kemudian kita akan membiarkan sebagian pekarangan kita ditanami pohon singkong oleh tetangga rumah sebelah yang rumahnya pun jauh lebih kecil dari rumah kita?

Kenyataannya, jangankan pekarangan, apalagi dengan tetangga rumah sebelah yang rumahnya kecil, daun pohon saja yang melintas pagar rumah kita, itu sudah menjadi alasan kuat untuk menegur sang tetangga.

SDM dan Dana

Berikutnya lagi soal argumen tak cukup punya dana dan SDM berkualitas. Sebagai pemilik wilayah udara, walau saat ini wilayah tersebut tengah berada di bawah pengelolaan negara lain, kita seharusnya berhak menempatkan SDM kita di negara pengelola. Negara pengelola selayaknya juga merekrut tenaga SDM kita sebagai SDM yang berkualitas standar internasional untuk membantu mereka dalam pelaksanaan tugas berkait dengan kepentingan negara pemilik wilayah udara tersebut.

Paling tidak dengan menempatkan SDM kita di sana, minimal kepentingan operasi penerbangan di wilayah kedaulatan kita sendiri dapat berlangsung lebih mudah. Sang pemilik wilayah sangat berhak memperoleh prioritas dalam perizinan terbang yang cakupannya memang berada di wilayah sendiri.

Di wilayah sendiri yang secara kebetulan kini tengah berada di bawah kewenangan otoritas penerbangan sipil negara lain. Di sisi lain banyak juga penerbangan yang berlangsung di wilayah tersebut yang tidak seharusnya diketahui secara detail misi penerbangannya oleh negara tetangga.

Lebih-lebih kepentingan dari misi penerbangan tertentu kadang justru terhambat karena tidak diketahuinya dengan benar oleh pihak pengelola. Hal ini akan jauh lebih menyelesaikan masalah bila ada perwakilan SDM kita di sana. Dengan pola seperti ini, secara bertahap, kita akan memperoleh SDM berkualitas yang dalam satu waktu nanti bertugas di wilayah yang padat tersebut.

Soal dukungan dana dalam konteks pemenuhan peralatan pengatur lalu lintas udara, dapat dengan mudah dicarikan jalan keluarnya. Fee dari jasa pelayanan lalu lintas udara di atas wilayah kedaulatan kita seyogianya menjadi hak kita, paling tidak dalam persentase tertentu. Biaya itulah yang dapat digunakan sebagai “kredit” mencicil dalam proses pengadaan peralatan modern pengatur lalu lintas udara. Minimal, dalam konteks ini dapat dengan mudah dilakukan kerja sama yang sifatnya “saling menguntungkan”.

Jadi, alasan tidak memiliki SDM dan biaya dalam hubungannya dengan upaya pengambilalihan FIR Singapura sama sekali tidak bisa diterima akal sehat.

Dalam perkembangannya, penerbangan sipil sudah demikian pesat. Peristiwa 9/11 di tahun 2001 memberikan sinyal yang sangat kuat tentang bagaimana penerbangan sipil sudah harus berada dalam pengawasan yang ketat, menyangkut keamanan satu negara.

Sekarang ini sudah waktunya memikirkan satu bentuk civil military air traffic flow management system, di mana pengelolaan lalu lintas udara sipil yang sangat padat sudah seharusnya menjadi bagian terpadu dari pengaturan lalu lintas penerbangan secara keseluruhan termasuk penerbangan militer.

Beberapa negara telah melaksanakan hal ini, tidak saja ditujukan untuk keamanan terbang, tetapi juga dalam kerangka pengamanan negara dalam arti luas.

Kita harus segera berusaha membenahi masalah FIR ini. Masalah ini tidak cukup diserahkan kepada Kementerian Perhubungan, tetapi juga dan terutama bersama-sama Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Dalam Negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar