Senin, 29 April 2013

Hitung Bunyi Tokek


Hitung Bunyi Tokek
Budiarto Shambazy ; Wartawan Kompas
KOMPAS, 27 April 2013

  
Ada perbedaan antara kondisi rakyat pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Meski berbeda, kondisi rakyat di tiga zaman itu serupa dan terangkum dalam kata, maaf, ”bodoh”.
Pada masa Orde Lama, ”rakyat masih bodoh” karena kita belum terlalu lama merdeka. Jumlah penduduk tahun 1960 baru 93,6 juta jiwa.

Namun, PBB mencatat tingkat melek huruf pada Orde Lama meningkat dari 10 persen ke 50 persen (1960). Dunia mengakui bagusnya sistem pendidikan dengan kualitas kurikulum yang membuat generasi muda siap bersaing di tingkat global.

Nah, pada masa Orde Baru, sering terdengar ucapan ”mumpung rakyat bodoh”. Sistem politik yang mencengkeram sering menakut-nakuti rakyat demi pelanggengan kekuasaan.

Rakyat dibodohi dengan aneka cerita tentang aneka bahaya. Ada bahaya komunis, ekstrem kiri, ekstrem kanan, liberal, setan gundul, organisasi tanpa bentuk, dan sebagainya.
Pembodohan paling kentara adalah politisasi kata ”oknum”. Warga sipil cepat dituduh pemberontak, separatis, anti-Pancasila, atau teroris.

Namun, aparat keamanan sering berlindung di balik status ”oknum”. Kalau ada anggotanya yang melanggar hukum, ia langsung disebut oknum.

Nah, pada era Orde Reformasi ini, yang berlaku ”rakyat masa bodoh”. Kini rakyat sudah pintar, ogah ditakut-takuti, dan tak peduli pada politik.

Rakyat ”naik kelas” jadi warga yang mau menikmati demokrasi, bukan lagi sekadar mengenal atau memahami demokrasi. Demokrasi tak pernah menunggu, ia berjalan beriringan bersama rakyat.
Pertumbuhan ekonomi lebih dari 6 persen bukan melulu karena prestasi pemerintah, melainkan berkat domestic consumption (belanja domestik) dari uang rakyat. Ada anggapan, tanpa peranan pemerintah pun, ekonomi tetap tumbuh tinggi.

Itu sebabnya, Indonesia disebut sebagai ”negeri otopilot” yang melaju terus tanpa kepemimpinan. Birokratisasi dan politisasi oleh penyelenggara kekuasaan pusat ataupun daerah justru dipandang lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.

Dengan preposisi itulah kini kita mengerti mengapa rakyat semakin apatis terhadap politik. Sebagai contoh, lebih dari 50 persen pemilih tak menggunakan hak pilihnya di Pilgub Sumut.
Bagi politisi/partai, ini kekalahan mutlak. Sebaliknya, bagi rakyat, ini kemenangan moral yang amat vital untuk menyehatkan demokrasi.

Itulah bedanya persepsi demokrasi di antara keduanya. Bagi politisi/partai, yang penting terpilih dengan cara apa pun. Sementara, bagi rakyat, yang penting mau atau tidak memberikan mandat.
Rupanya kata ”mandat” telah lama hilang dari kamus politik kita. Politisi/partai lupa bahwa ”mandat” merupakan harta karun tak ternilai yang tak bisa diperjualbelikan dengan mudah.

”Mandat” itulah yang tampaknya makin sukar diserahkan rakyat kepada politisi/partai. Apalagi proses penyerahan daftar caleg sementara partai semakin membuat citra politik buruk.
Betapa tidak! Masih ada caleg mendaftarkan diri untuk dua partai, dan banyak caleg dari satu partai yang mendaftar di lebih dari satu daerah pemilihan.

Tak sedikit caleg yang sedang atau pernah bermasalah dengan hukum yang dicalonkan partai. Ada yang gagal jadi kepala daerah masih coba peruntungan di DPR, ada juga yang loncat dari mana-mana ke DPD.

Sejumlah partai mencalonkan menteri sebagai caleg. Betul itu tak melanggar aturan, tetapi mereka lupa bahwa dalam politik tetap ada etika.

Partai tak menjelaskan kepada publik apakah mereka melakukan penyegaran caleg, baik di DPR pusat maupun daerah. Padahal, demokrasi mengajarkan partai wajib melakukan turnover lebih dari 50 persen untuk penyegaran legislatif.

Cukup memprihatinkan menyaksikan sebagian partai memasang iklan perekrutan caleg. Lebih memprihatinkan lagi, masih ada partai yang mengandalkan artis/selebritas sebagai pemikat.
Pendek kata, apa yang dikerjakan partai semakin mengisolasi rakyat dari proses demokrasi yang sehat menuju Pemilu-Pilpres 2014. Semoga masih ada waktu bagi partai mengoreksi diri sebelum melangkah ke penyerahan daftar calon tetap.

Tampaknya rakyat memasuki masa kritis yang pernah terjadi dalam sejarah kita: stagnasi politik. Kita memasuki tahap itu sekitar 15 tahun sejak reformasi, kondisinya mirip dengan 15 tahun setelah merdeka dan 2 x 15 tahun pasca-Orde Baru.

Pada 15 tahun setelah merdeka, Bung Karno mengakhiri stagnasi dengan Dekret 5 Juli 1959 yang mencengkeram kebebasan. Pak Harto mengakhiri demokrasi pasca-1967 hingga lengser ing keprabon setelah berkuasa 2 x 15 tahun, pada 1998.

Masa kritis 15 tahunan Orde Reformasi terjadi tahun ini sampai 2014. Selama sekitar 15 tahunan itu kita disiksa musuh utama: korupsi.

Selama masa penyiksaan tersebut, rakyat lebih banyak kecewa dengan pemberantasan korupsi. Apa yang dilakukan sekadar tebang pilih, menunda-nunda, berpolitik, atau ”playing God”.
Kondisi psikologis rakyat sekarang ini ingin segera memutuskan tali yang mengikat kita dengan elite kekuasaan selama 15 tahun terakhir. Satu-satunya cara memutuskan tali itu dengan menolak menyerahkan mandat kepada politisi/partai.

Rakyat mencari jalan masing-masing dengan menebak-nebak saja siapa yang layak memimpin. Capres/cawapres/partai/politisi ikut menebak-nebak apakah mereka punya elektabilitas atau tidak.
Sejumlah lembaga survei/jajak pendapat ketularan menebak-nebak capres/cawapres/partai terfavorit. Kita, rakyat, bukan dalam posisi ”memilih”, tetapi sedang ”mencari”.

Kita tak bisa ”memilih” karena menu yang tersedia sudah terlalu membosankan. Kita masih terus ”mencari”, tetapi belum menemukan. Ya, kita menunggu menu baru. Sambil menunggu itu, kita terpaksa menghitung bunyi tokek dulu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar