Selasa, 30 April 2013

Kegalauan Wayang Kulit Semarangan


Kegalauan Wayang Kulit Semarangan
Rohman Kusriyono ;  Peminat Kajian Seni dan Budaya bergiat di Kampoeng Sastra Soeket Teki dan Surat Kabar Mahasiswa (SKM) AMANAT IAIN Walisongo Semarang
KORAN SINDO, 29 April 2013

  
Kesenian tradisional, terutama wayang kulit di daerah-daerah saat ini terancam ditinggalkan masyarakatnya. Wayang kulit sudah jarang tampil menghibur masyarakat.

Dari waktu ke waktu popularitas pertunjukan drama tradisional ini kian surut sejak munculnya berbagai hiburan baru seperti orkes/grup musik dangdut, musik gambus, maupun grup-grup musik pop. Peran wayang kulit yang biasanya dipakai untuk melipur masyarakat akhirnya terampas oleh grup-grup musik itu.

Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi yang makin canggih, grup-grup musik mampu memanfaatkan teknologi untuk mengembangkan kreativitas seni musik mereka masing-masing. Alhasil, mereka berkembang menjadi lebih menarik, kian eksis lantaran sukses mengambil hati masyarakat. Jasa hiburan mereka banyak digunakan masyarakat dalam berbagai acara atau hajatan, resepsi, selamatan, upacara perayaan, dan sebagainya. Kondisi ini membuat grup-grup musik baru terus bermunculan.

Para kawula muda antusias belajar dan menekuninya karena dipandang menjanjikan untuk karier di masa depan. Regenerasi untuk jenis hiburan ini pun tidak mengalami kesulitan. Melihat fenomena itu, barangkali merupakan sebuah kemajuan untuk kesenian terutama seni musik.

Namun, di sisi lain, pesatnya perkembangan serta pertumbuhan grup-grup musik di daerah-daerah itu meredupkan kesenian tradisional seperti wayang kulit. Dahulu pertunjukan kesenian tradisional ini biasa dipentaskan dalam seminggu atau sebulan sekali berkenaan pelaksanaan hajatan.

Yang terjadi sekarang, pertunjukan itu makin sulit ditemui. Jika pun ada, pementasan wayang lebih banyak bertempat di gedung- gedung kesenian. Orang yang belajar mendalang atau generasi dalang tidak lagi terisi karena profesi dalang bukan jaminan untuk karier di masa depan.

Sarat Nilai Kehidupan 

Patut disayangkan, wayang kulit bagi masyarakat Jawa tidak sekadar kesenian. Wayang merupakan karya seni rupa yang mempunyai makna atau merupakan lambang, simbol bagi falsafah hidup anggota-anggota masyarakat pendukungnya (Sunarto: 1989). Wayang juga mengandung piweling dan piwulang (nasihat dan ajaran) yang memuat banyak nilai-nilai kehidupan.

Contohnya, nilai yang terdapat pada salah satu tokoh punakawan Semar. Wayang adalah jati diri orang Jawa. Merupakan rekam jejak pola pikir orang Jawa. Jika ingin mengenal orang Jawa, maka apa yang terdapat pada wayang kulit itulah orang Jawa.

Jika jati diri mulai ditinggalkan, ini berarti orang-orang Jawa bakal kehilangan jati diri. Masalah yang kini dihadapi, wayang kulit mengalami stagnasi. Yang melatarbelakangi di antaranya pakem pertunjukan wayang. Bentuk wayang tak banyak berubah. Bahasa yang digunakan juga sulit dipahami anak muda sekarang.

Untuk mengetahui isi dan pesan yang terkandung dalam pertunjukan wayang tidaklah gampang. Selain itu, pertunjukan wayang kulit yang dilakukan semalam suntuk dirasa masyarakat tidak efektif dan membosankan, terutama kawula muda. Anak muda yang seharusnya menjadi pewaris kebudayaan akhirnya tidak tertarik bergiat dalam kesenian ini.

 Inovasi 
Untuk tetap hidup, kesenian wayang kulit perlu hadir dengan inovasi yang sesuai perkembangan zaman. Tidakterpaku pada pakem yang sudah ada. Jika menilik sejarah, wayang kulit telah mengalami berbagai perubahan. Mulai dari awal muncul yaitu menceritakan mengenai cerita epos Hindu, ketika kedatangan Islam oleh Walisongo, cerita tokohtokoh wayang disadur ke nuansa Islam, termasuk cerita-cerita dan visualisasi para tokohnya.

Setelah masa itu, kondisi wayang kulit terutama yang ada di Semarang, Demak, Jepara, maupun Kudus masih sama seperti dulu: menganut pakem dari para pendahulu dan belum ada kreativitas yang dimunculkan. Berbeda dengan yang terjadi di beberapa daerah lain. Kesenian wayang sudah mulai terasa dinamis.

Seperti munculnya wayang sandosa dari Solo, wayang listrik dari Bali, dan wayang tavip di Yogyakarta. Mereka banyak melakukan inovasi terhadap kesenian yang berada di daerah itu. Salah satunya dengan jalan berani keluar dari pakem wayang kulit itu sendiri. Sehingga muncul hal-hal kreatif dan menarik bagi konteks masyarakat saat ini: wayang yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.

Layak untuk wayang yang berada di Semarang-an, jika ingin tetap eksis di era yang terus berkembang ini, mereka bisa belajar dari keadaan itu. Dalam artian, harus mau keluar dari zona kepakeman. Melakukan inovasi terhadap bidang kesenian yang telah digeluti. Dalam persoalan ini, pemerintah daerah (pemda) juga berkewajiban mendukung pelestarian kesenian tradisional dengan melakukan beberapa langkah strategis.

Di antaranya meningkatkan dari segi kuantitas maupun integritas para seniman wayang kulit, termasuk kaderisasinya. Pemda bisa melakukan itu dengan cara mendirikan institut seni ataupun menawarkan ke lembaga pendidikan tinggi atau kampus di daerah yang tak memiliki jurusan kesenian agar membuka prodi kesenian. Ini sebagai upaya mengatasi kelangkaan profesi seniman wayang sehingga dapat terisi kembali.

Karena di Semarang, Demak, Jepara, maupun Kudus saat ini, kampus atau institut pendidikan yang benarbenar fokus ke bidang kesenian wayang kulit belum ada. Universitas Negeri Semarang memiliki Jurusan Bahasa dan Seni, tetapi keberadaannya tidak spesifik ke profesi pendalangan wayang. Lain halnya dengan daerah Yogyakarta, Solo, dan Bali, institut seni telah didirikan di daerah itu.

Bagaimanapun, kesenian harus terus dikembangkan agar mampu bersaing dengan berbagai grup hiburan saat sekarang dan ke depannya. Pengembangan kesenian inilah yang dibutuhkan agar kebudayaan tetap hidup dan fleksibel sesuai dengan kebutuhan zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar