Senin, 29 April 2013

Kemeriuhan Ricuh Eksekusi Susno


Kemeriuhan Ricuh Eksekusi Susno
Mahmudi Asyari ;  Peneliti dari ICIS Jakarta
SUARA MERDEKA, 27 April 2013



"Kita menunggu realisasi janji Kapolri yang menyatakan siap membantu jaksa mengeksekusi Susno"
Berkait dengan kericuhan eksekusi Komjen (Purn) Susno Duadji, mantan Kabareskrim Mabes Polri, satu hal yang tak bisa ditampik adalah ketidaksejalanan jiwa orang-orang yang menurut mantan hakim agung Bis­mar Siregar --digelari predikat ”wakil Tuhan”-- tidak berjalan sesuai dengan sifat-sifat ketuhanan meskipun tiap putusan selalu mengatasnamakan Zat Yang Agung itu.

Peradilan yang semestinya menjadi pemutus seng­keta malah tak ubahnya ajang silat lidah para pakar. Hal mudah menjadi sukar karena melalui corak kontinental sebuah putusan kasasi sangat singkat namun masih dihinggapi sifat malas menuliskan putusan tegas.

Saya tidak hendak bersuuzan tapi itu biasanya terjadi lantaran dua hal. Pertama; kertas untuk menulis kalimat putusan begitu licin lantaran lembarnya berwarna merah, atau bantalan palu sang pengadil berlapiskan lembar kertas merah sehingga meskipun palu dipukulkan kuat tidak bakal terdengar bunyi.

Bila ”wakil Tuhan” itu mencermati sistem hukum di Indonesia sesuai asas  kontinental, semestinya tidak muncul putusan yang tidak berkelamin. Sesuai asas legalistik semua harus tertulis, dan ketika sebuah persoalan, termasuk diktum, tidak tertulis akan dianggap tak berlaku meskipun masih debatable. Terlebih dalam KUHAP persoalan hukuman dan penahanan termasuk sesuatu yang tak boleh ditinggalkan.
Itulah sebabnya, meskipun MK telah menegaskan bahwa jika ada putusan seperti dialami Susno,  berlaku putusan pengadilan tingkat di bawahnya, kontroversi tetap terjadi, sebagaimana dipertontonkan Susno. Hal ini, lantaran putusan MK berlawanan dengan asas kontinental yang berlaku di Indonesia, yakni aturan harus tertulis dan ketika tidak tertulis akan dianggap wacana semata.

Dari sisi keadilan, apa yang dilakukan Susno bisa di­katakan akrobat guna menyiasati hukum, dan itu me­mang jurus terpidana untuk berkelit. Sebagai mantan Ka­bareskrim, ditambah dibemperi Prof Yusril Ihza Ma­hendra, mantan menkumham yang sedikitnya sudah kali keenam mengalahkan pemerintah, Susno tentu sangat paham kelemahan putusan Mahkamah Agung (MA).

Celah itu makin lebar terbuka ketika lembaga tempat berkumpul ”wakil Tuhan” tersebut hanya mencantum­kan hukuman denda. Tentu selain celah itu sudah lebar dengan bisunya para hakim terkait apakah Susno perlu ditahan atau tidak, dan seterusnya. Bagi Susno itulah putusan final sehingga ia merasa bebas dari ancaman kurungan. Realitasnya, seperti yang kita lihat pada 24 April 2013, Susno mbalela, dan Polri tampak jelas ikut menghambat proses eksekusi. 

Dengan kata lain, meskipun menurut MK pengertian dihukum berarti pemenjaraan, majelis hakim yang menangani kasasi Susno telah melakukan kelalaian. Lalai karena mereka tidak taat  asas legalitas. Yang terpenting, perlu menegaskan bahwa para hakim tersebut tidak amanah terhadap tanggung jawabnya, yang semestinya bisa menjadi pemutus, bukan menciptakan kontroversi.

Juga layak menyematkan predikat pemalas kepada mereka, mengingat dari kacamata agama kita bisa mendapat gambaran bahwa jiwa dan pikiran mereka sudah diliputi sifat hubbun dunya (cinta dunia). Akibatnya, mereka malas meskipun hanya menulis putusan yang cukup dalam beberapa lembar. Bisa kita bayangkan bila mereka harus menulis putusan seperti pada sistem Anglo Saxon, yang selain merujuk pada referensi karya pendekar hukum, harus menuliskan analisis mendalam.

Kita bisa melihat putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat berkait dengan sengketa pilpres antara Al Gore melawan George Bush, yang setebal lebih dari 500 halaman. Bandingkan pula dengan disertasi doktor pada umumnya yang setebal 250-400 halaman.

Integritas Hakim

Putusan MA AS itu pun menyertakan analisis sangat mendalam, disertai pendapat para ahli hukum kenama­an. Itu sebabnya, putusan MA di negara yang menganut hukum Anglo Saxon bisa menjadi binding precedent jurisprudence, artinya menjadi hukum bagai peradilan sesudahnya, lantaran selain jadi penggali hukum, peradilan juga memanfaatkan fungsi diskresi demi rasa keadilan.

Berkaitan hal itu, jika dibandingkan dengan negara penganut Anglo Saxon yang para hakim harus berjihad demi keadilan, dan itu mereka buktikan lewat analisis tajam yang ditulis dalam berlembar-lembar putusan, ”wakil Tuhan” di MA negara kita semestinya harus malu. Mereka seharusnya tidak malas menuliskan sesuatu supaya tidak terjadi ricuh seperti kasus Susno.

Hal itu bisa terwujud bila mereka mencermati bahwa keadilan digantungkan pada integritas para hakim sebagaimana Zat Tuhan, bukan seperti yang sering dipelesetkan sebagian masyarakat, yaitu ”hubungi aku jika ingin memang” lantaran banyak oknum berperilaku tercela menjadi hakim.

Saya berharap kemalasan hakim pemutus kasus Susno adalah kali terakhir. Saya juga berharap mengingat negeri ini menganut asas legalistik formal, jangan berdalih hakim bisa memutus seperti  pada kasus Susno, karena sesuai asas tersebut yang menjadi pegangan adalah yang ada dalam putusan. Memang sudah menjadi jurus terpidana untuk berkelit dari pemidanaan sehingga mereka menempuh lewat semua dalih. Itulah sebabnya hakim harus berjalan dengan sifat-sifat asali Tuhan, bukan menggadaikan nama-Nya pada tiap mengucap awal amar putusan. Terlepas dari kontroversi itu, Susno harus dipenjara. Jika tetap mbalela, Presiden SBY harus kembali turun tangan seperti dalam kasus simulator SIM. Kita juga menunggu janji Kapolri Jenderal Timur Pradopo (SM, 26/4/13, yang setelah bertemu Jaksa Agung Basrief Arief, menyatakan siap membantu jaksa mengeksekusi Susno. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar