Senin, 29 April 2013

Kerukunan Umat Beragama dalam Wacana Berbangsa


Kerukunan Umat Beragama
dalam Wacana Berbangsa
Ahmad Syafi’i Mufid ;  Peneliti Utama Balitbang Kemenag RI, Ketua FKUB DKI Jakarta 
MEDIA INDONESIA, 26 April 2013


Salah satu hasil reformasi di Indonesia adalah terbukanya wa cana kerukunan umat beragama di ruang publik. Masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) yang pada masa Orde Baru tabu untuk diwacanakan, sekarang menjadi perbincangan seharihari. Wacana dan praktik kebebasan, perlindungan, pemahaman, dan ekspresi keagamaan di Indonesia juga menjadi topik yang selalu diangkat dalam setiap laporan tahunan yang dikeluarkan, baik oleh LSM maupun pemerintah.

Tentu saja setiap penulis laporan memiliki agenda dan tujuan sesuai dengan visi dan misi institusi. Meskipun demikian, jika ditelaah secara saksama, pesan yang disampaikan melalui laporan tersebut ada banyak kesamaan, yaitu keprihatinan mengapa di era kebebasan seperti ini masih terjadi kasus-kasus penghambat kerukunan umat beragama seperti kesulitan membangun rumah ibadah, pelarangan aktivitas keagamaan kelompok minoritas, serta kekerasan mengatasnamakan agama.

Perbedaan Sudut Pandang

Wacana yang berkembang dalam kasus-kasus kerukunan adalah adanya perbedaan sudut pandang antara LSM dan pemerintah. LSM sering kali melihat kasus-kasus kehidupan dan kerukunan beragama sebagai pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 29 UUD 1945 dan UU lainnya. Berdasarkan konstitusi dan UU tersebut, pemerintah sering dianggap lalai atau membiarkan praktik-praktik pelanggaran pemenuhan hak asasi manusia yang berhubungan dengan kebebasan beragama.

Persepsi menarik dikemukakan Victor Silaen, dosen Universitas Pelita Harapan (Koran Tempo, 11/4) yang mencatat perusakan gereja dari masa ke masa. Menurutnya, pada masa Soekarno ada 2 gereja yang dirusak, masa HM Soeharto menjadi 456 gereja dirusak, era Habibie ada 156 gereja yang dirusak, pada masa pemerintahan Gus Dur ada 232 gereja yang dirusak, era kepresidenan Megawati 92 buah gereja yang dirusak, dan pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai dengan 2010 terdapat 2.442 gereja yang dirusak.

Data di atas menunjukkan jika kerusuhan sosial karena perbedaan agama, penyiaran agama, atau pendirian rumah ibadah suatu agama tidak hanya terjadi pada reformasi. Kasus-kasus kerusuhan atas latar belakang masalah keagamaan terjadi beberapa dasawarsa yang lalu. Jika dilihat dari sejarah perjalanan sebuah bangsa, peristiwa tersebut memang gejala yang terkait dengan masalah politik. Situasi politik sejak era Soekarno hingga saat ini selalu mampu memicu soalsoal yang berkaitan dengan masalah kerukunan hidup beragama.

Tetapi, laporan maupun opini yang dibangun kelom pok LSM maupun akademisi didasarkan atas pembacaan situasi sosial yang terjadi pada s masyarakat tertentu dan dam lam waktu tertentu, seolah peristiwa tersebut tidak terkait antara satu dengan yang lain. Padahal tidak ada satu pun peristiwa sosial yang terjadi hanya karena satu sebab. Sementara media-media yang dikelola kelompok muslim seperti Sabili, Al Wa'i, Suara Hidayatullah dan Suara Islam menyuarakan opini bahwa pemerintah kurang tegas menindak lembaga-lembaga dan individu yang melakukan penyiaran agama dan pemurtadan.

Jika ditengok ke belakang, persoalan bermuasal dari diterbitkannya SKB No 1 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya. Dalam SKB ini diatur tentang tata cara pendirian rumah ibadah yang harus mendapatkan izin dari warga setempat.
Ketentuan ini oleh beberapa pegiat HAM dianggap pemerintah mencampuri urusan agama yang dija min kebebasannya menurut konstitusi dan UU. SKB ini kemudian diperbaharui menjadi No 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.

Pemerintah terus melakukan sejumlah upaya untuk melakukan `pembinaan' kerukunan umat beragama. SKB ini oleh beberapa pengamat dan aktivis lembaga sosial lagi-lagi dianggap mencampuri urusan agama yang mestinya negara harus netral. Pada 2004 hingga awal 2005 muncul kembali tuntutan pencabutan SKB. Ada juga kelompok masyarakat yang meminta agar SKB dipertahankan dan bila memungkinkan ditingkatkan menjadi UU. Akhirnya pemerintah, melalui Kementerian Agama, melakukan kajian ulang terhadap SKB tersebut dan hasilnya menyimpulkan bahwa keberadaan SKB masih relevan karena masalah pendirian rumah ibadah menjadi salah satu sebab yang dapat mengganggu hubungan antarumat beragama.

Ada Peningkatan

Menarik untuk dicermati, ternyata jumlah rumah ibadah semua kelompok agama yang ada di Indonesia setelah keluarnya SKB Nomor 1 Tahun 1969 meningkat tajam. Jika dibandingkan data keagamaan 1977 dan 2004, ternyata jumlah rumah ibadah Islam bertambah jumlahnya dari 392.004 berkembang menjadi 643.834 (naik 64%). Rumah ibadah Kristen bertambah jumlahnya dari 18.977 berkembang menjadi 43.909 (naik 131%), rumah ibadah Katolik dari 4.934 menjadi 12.474 (naik 153%), rumah ibadah Buddha bertambah dari 1.523 menjadi 7.129 (naik 368%).

Data ini menunjukkan bahwa pengaturan pendirian rumah ibadah tidak menjadi sebab terhambatnya pertumbuhan rumah ibadah. Mengapa rumah ibadah kelompok minoritas selalu dipermasalahkan kelompok mayoritas? Relasi sosial antarumat beragama dalam sebuah lingkungan mesti memperhatikan tempat (place). Seperti kata pepatah “di mana bumi di pijak, di situ langit dijunjung“ artinya kita harus menghormati kultur setempat. Para pendatang mesti mempertimbangkan strategi adaptasi. Kegagalan beradaptasi akan melahirkan prasangka dan stereotipe. Melepas hewan piaraan seperti anjing atau babi di lingkungan masyarakat yang menganggap kotor (najis) binatang tersebut tentu akan mengundang perselisihan.
Relasi sosial yang asimetris itu akan melahirkan persaingan dan pertentangan.
Inilah sebenarnya yang menjadi akar masalah kerukunan umat beragama di banyak wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, penanganan masalah kerukunan tidak cukup hanya dengan pendekatan yuridis formal. Pendekatan budaya perlu dipertimbangkan agar prinsip dasar ke dua dalam bernegara, “Kemanusiaan yang adil dan beradab“ dapat menjadi dasar `pembinaan' kerukunan hidup beragama versi pemerintah maupun `pembelaan' atau advokasi dalam perspektif pegiat HAM dan LSM.

Apakah pemerintah dengan regulasi yang dibuatnya bermaksud melanggar HAM atau melakukan pembiaran terhadap diskriminasi yang dialami sebagian warganya? Apakah advokasi terhadap kelompok yang menjadi korban diskriminasi tidak membawa manfaat dan menyelesaikan masalah? Tidak ada yang salah dalam pemilihan strategi rekayasa sosial untuk perdamaian dan berkeadaban. Kekeliruannya adalah mempertentangkan keduanya. Pemerintah memilih pendekatan konflik, melalui manajemen dan resolusi konflik dalam rangka memelihara kerukunan dan menangani konflik. Di lain pihak, pegiat HAM dan aktivis LSM melakukan advokasi terhadap korban diskriminasi dan kelompok minoritas sehingga hak-hak mereka dapat dihormati dan dipenuhi.

Mempertentangkan kedua pilihan strategi penanganan dan resolusi konflik versus advokasi justru merugikan masyarakat bangsa. Masyarakat demokratis yang diharapkan dapat diwujudkan jika hubungan antara penyelenggara negara, organisasi masyarakat sipil, dan pelaku ekonomi (pasar) dapat kembali kepada prinsip dasar bernegara yang keempat yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan“.

Dalam kerangka ini sudah saatnya kita memperkuat institusi dan peranan Forum Kerukunan Umat Beragama yang sudah terbentuk di hampir semua provinsi, kabupaten, dan kota menjadi lembaga sosial yang menjadi tempat berkumpulnya tokoh dan pemuka agama untuk bermusyawarah menyelesaikan perselisihan dan pertentangan yang ada dalam masyarakat. Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil dapat berbagi peran dalam mewujudkan prinsip dasar berbangsa dan bernegara yang ketiga, yaitu “Persatuan Indonesia.“ Bagaimana?  

1 komentar: