Senin, 29 April 2013

Logika Sederhana Penganggaran Negara


Logika Sederhana Penganggaran Negara
Baharuddin Aritonang ;  Anggota BPK 2004-2009
MEDIA INDONESIA, 27 April 2013
  

Banyak sekali penganggaran negara yang terasa jauh dari logika, termasuk yang paling sederhana sekalipun. Misalnya peran Presiden AS Barack Obama yang langsung menegosiasikan anggaran negara dengan pimpinan DPR dan Kongres yang dikuasai Partai Republik. Persoalannya terletak pada perbedaan antara penerimaan pajak dan penghematan anggaran, khususnya yang menyangkut jaminan kesehatan bagi kelompok miskin dan orangtua.

Di dalam negeri sendiri, kita tidak pernah melihat peran Presiden RI yang melakukan negosiasi semacam itu. Padahal, persoalan anggaran negara cukup banyak dan membutuhkan peran langsung dari presiden. Misalnya subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang seolah maju-mundur dan tidak pernah selesai. Kalaupun persoalan BBM akhir-akhir ini mencuat, yang memberi keterangan dari kalangan pemerintah ialah Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian.

Anehnya, Menko Perekonomian pun merangkap sebagai Menteri Keuangan. Apa presiden merasa cukup mendelegasikan tugas itu, sebagaimana sikap pemerintah terhadap ujian nasional (UN)? Atau karena topik ini akan mengganggu pencitraan?

Belum lagi membahas pembengkakan utang negara, presiden pun malah sempat mengeluhkannya. Padahal, semestinya, jika tidak didelegasikan kepada Menteri Keuangan, presiden sendirilah yang harus menjelaskannya.

Untuk apa sesungguhnya kebutuhan utang itu? Apakah pembiayaan APBN tidak mencukupi dari penerimaan negara? Bahkan lebih jauh lagi, bagaimana sesungguhnya proporsi APBN sehingga perlu tambahan utang? Tentu dengan penjelasan yang sederhana, yang mudah dipahami semua komponen bangsa.

Samalah penjelasan Jusuf Kalla di sebuah jaringan televisi (23/4) malam tentang perlunya UN diteruskan. Intinya untuk membangun standardisasi di kalangan murid di Tanah Air. Standardisasi itu perlu diujikan. Akan tetapi, untuk melaksanakannya, perlu kerja keras agar pelaksanaannya dapat berjalan baik sehingga tidak ada kekacauan di dalam pelaksa naannya sebagaimana yang terjadi pada UN 2013 ini. Anehnya, yang memberi keterangan ialah mantan wakil presiden. Kenapa bukan Presiden RI atau Wakil Presiden RI, atau Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sendiri?

Agar Tidak Menyimpang

Dengan kerangka berpikir yang disertai logika-logika sederhana semacam itulah kita me lihat persoalan-persoalan mendasar di dalam penganggaran negara. Jika Presiden RI atau Wakil Presiden RI langsung ikut menata penganggaran negara (khususnya melalui APBN), tentulah pengelolaan anggaran di setiap kementerian/lembaga akan berjalan dengan baik. Apalagi kalau presiden/wakil presiden juga berkoordinasi dengan pimpinan DPR dan lembaga negara lain agar di dalam pembahasan anggaran tidak terjadi penyimpangan.

Padahal, itulah yang terjadi di dalam pelaksanaan proyek Hambalang, Wisma Atlet, atau kasus simulator surat izin mengemudi, dan banyak proyek pemerintah lainnya. Demikian juga pembahasan yang menyeluruh di dalam pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Jika ada pembahasan yang intensif dengan pihak BPK (yang memeriksa keuangan negara), titik lemah dalam pengelolaan keuangan negara akan dapat diketahui sehingga pengawasannya pada tahun-tahun berikutnya akan berjalan dengan baik.

Uraian tersebut baru bersifat umum, tentu masih perlu dilanjutkan dengan persoalan-persoalan yang lebih sektoral dan teknis. Lihatlah contoh-contoh berikut ini. Ketika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dibentuk, tentu saja anggaran pengawasan di lingkungan Bank Indonesia (BI) akan seluruhnya beralih ke OJK.

Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Samalah persoalan lama yang saya lihat dalam pemekaran daerah. Jika sebuah daerah dimekarkan, tentu saja anggaran daerah induk akan berkurang karena beralih ke daerah otonom baru.

Sayangnya, pada kenyataannya, meski sebuah daerah dimekarkan, anggaran daerah induk tidak pernah berkurang, bahkan cenderung meningkat. Demikian pula dalam pembentukan lembaga pemerintah yang baru. Mestinya anggaran lembaga induknya akan mengalami penurunan karena sudah beralih ke birokrasi dan program di lembaga yang baru.

Perlu Pembenahan

Keadaan itulah yang menyebabkan munculnya usulan saya kepada Presiden RI yang baru nanti untuk memulai tugas dengan mengevaluasi seluruh kelembagaan di lingkungan pemerintah. Jika ada yang tumpang tindih, termasuk dalam penganggarannya, perlu lebih dulu dibenahi. Sama halnya dengan daerah-daerah di seluruh Indonesia karena kelak akan terkait dengan DAU (dana alokasi umum), DAK (dana alokasi khusus), DBH (dana bagi hasil), dan dana-dana pusat lainnya yang disalurkan ke daerah. Bukankah keadaan seperti itu tidak hanya tugas Mendagri dan Menkeu semata, tetapi juga tugas dan tanggung jawab Presiden RI?

Sebagai presiden dan bukan raja, ia akan menjadi penanggung jawab pemerintahan secara keseluruhan, termasuk pelaksanaan APBN walau dalam UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, anggaran negara itu dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga serta diserahkan kepada daerah. Artinya presiden dan wakil presiden masih memiliki tanggung jawab terhadap pelaksanaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Belum lagi ulasan terhadap penerimaan negara berupa pajak dan bukan pajak. Atau, efisiensi dalam pengelolaan APBN. Jika ada BUMN yang terus merugi, dan terus-terusan disubsidi pemerintah, untuk apa dipertahankan? Anehnya, kenyataan itu masih terjadi. Padahal jika langkah semacam itu ditempuh, akan terjadi banyak penghematan keuangan negara. Dengan demikian utang pun kian tidak dibutuhkan lagi.
Tentu saja uraian ini amat singkat. Tapi setidaknya untuk memberi perhatian bahwa banyak sekali logika-logika yang tidak berjalan di dalam penganggaran negara itu, termasuk logika yang paling sederhana sekalipun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar