Selasa, 30 April 2013

Mengiblat Politik “Wani Piro” Caleg


Mengiblat Politik “Wani Piro” Caleg
Toto Suparto  ;  Pengkaji Etika, Pegiat pada Ruang Etika
SUARA MERDEKA, 29 April 2013


"Kita perlu bersiap diri untuk memperoleh DPR 2014-2019 yang tidak berbeda jauh dari sebelumnya"

Sekitar 6.000 nama caleg sudah terdaftar di KPU. Mereka siap bertarung memperebutkan kursi di DPR.  Beragam modal bakal mereka kerahkan, salah satunya kapital ekonomi. Menurut filsuf Pierre Bourdieu, kapital ekonomi menjadi penting untuk "membeli" kepatuhan

Lebih rinci Bourdieu menjelaskan, untuk memperoleh kepatuhan pemilih maka diperlukan mekanisme objektif. Mekanisme ini dapat membuat kelompok yang didominasi secara tak sadar masuk ke lingkaran dominasi dan kemudian menjadi patuh.    

Tak ada yang gratis untuk meraih kepatuhan tersebut. Secara teori, saat mekanisme objektif belum terbangun, pelaku sosial mengerahkan segenap kapital yang dimiliki. Segala bentuk kapital, baik kapital budaya, ekonomi, sosial, dan simbolis, dimanfaatkan maksimal. Namun Bourdieu tegas menyatakan kapital ekonomi adalah bentuk yang paling mudah dikonversi ke bentuk kapital  lain. Ia hendak mengatakan kapital ekonomi sangat diperlukan dan tidak bisa ditolak.

Teori itulah melanggengkan "politik wani pira". Realitasnya, wani pira (berani berapa) caleg mengucurkan uang, sebesar itu pula peluang merebut kursi legislatif. Makin banyak, kian berpeluang. Sebaliknya, makin pelit, kian sulit.     

Berapa besarannya? Bambang Soesatyo, anggota DPR dari Partai Golkar mengungkapkan seorang caleg minimal butuh Rp 1 miliar. Uang itu  untuk membuat alat peraga, transportasi ke daerah, hingga honor saksi di TPS. AdapunTrimedya Panjaitan dari PDIP menyebut angka Rp 1,5 miliar. Beberapa anggota DPR yang lain memperkirakan angka ideal Rp 2 miliar.

Dari informasi para anggota DPR yang nyaleg lagi itu, bisa diketahui bahwa tak murah untuk memperoleh kursi legislatif. Sistem pemilihan langsung dengan suara terbanyak, dan masa kampanye yang panjang, membuat caleg kian dalam merogoh saku mereka.

Pemberian Berpengharapan

Biaya itu akan membengkak jika diperhitungkan biaya "sosialisasi" di daerah pemilihan (dapil). Pada Pemilu 2009,  penulis pernah menjadi tim sukses caleg di dapil Solo-Boyolali-Klaten. Justru biaya terbesar jatuh pada keperluan "tali asih" saat sosialisasi. Terang-terangan konstituen menanyakan. Biasanya "tali asih" itu berupa uang Rp 25.000-Rp 50.000 per orang. Bisa dibayangkan betapa besar biaya itu.

Mau tidak mau seorang caleg harus memberikan "tali asih" tersebut. Inilah pemberian berpengharapan. Pemberian itu sudah terjebak dalam logika ekonomi bahwa tak mungkin memberi tanpa mengharap kembali. Meminjam konsep filsuf Marcel Mauss, logika ekonomi semacam itu bisa dikategorikan potlach. Istilah itu bisa diartikan sebagai pemberian yang dipertukarkan. Maka, tatkala "tali asih" diterima, si penerima telah terjebak potlach alias harus mempertukarkan pemberian tersebut dalam wujud suara buat sang caleg.

Kenyataannya, banyak pula pemilih mbalela; sudah menerima "tali asih" tapi tak juga mencontreng si caleg. Ternyata hal ini tergantung wani pira memberi "tali asih" kepada pemilih. Siapa paling tinggi maka ia berpeluang dipilih. Soal uang, pemilih siap menerima dari caleg mana pun. Soal memilih, pemilih tetap mempertimbangkan wani pira tadi.

Versi Indonesia Budget Center (IBC), menyebutkan take-home pay anggota DPR (2009-2014) sekitar Rp 60 juta per bulan. Rincian terdiri atas gaji pokok Rp 4,2 juta, tunjangan suami/istri Rp 420 ribu, tunjangan anak Rp 168 ribu, tunjangan struktural Rp 9,7 juta, uang kehormatan sebagai komisi/badan/panitia Rp 3,7 juta, tunjangan PPh Rp 3 juta, uang kontrak rumah Rp 15 juta, tunjangan komunikasi intensif Rp 14,1 juta, uang paket harian Rp 2 juta, uang langganan telepon Rp 3 juta, asuransi kesehatan Rp 4 juta, dan lainnya.

Jumlah itu masih bisa bertambah karena ada gaji ke-13, uang legislasi, uang rapat, uang transpor, uang perjalanan dinas di dalam dan luar negeri, fasilitas kredit kendaraan, honor asisten dan tenaga ahli, dan fasilitas penunjang lainnya (laptop, internet, hotel bintang lima, kupon bensin, kupon bebas tol).

Konsekuensi Politik

Berpegang pada take-home pay Rp 60 juta, diperhitungkan dalam lima tahun jabatan akan memperoleh Rp 3,6 miliar. Kalkulasi ekonomi akan menorehkan "untung" Rp 600 juta. Jumlah ini dianggap tidak sepadan sehingga diupayakan memperoleh penghasilan lain. Celaka jika sudah punya asumsi itu karena legislator terjebak perilaku egois etis, yakni lebih mengacu kepada kepentingan diri sendiri. Ia akan mengabaikan kepentingan orang lain. Wakil rakyat yang egois enggan membuka diri, kurang berempati dan tidak peduli.

Sesuai konsep filsuf John Locke, memperjuangkan kepentingan rakyat adalah bagaimana menjalankan fungsi legislator sebagaimana mestinya. Menurut Locke, kekuasaan pembuat undang-undang adalah kekuasaan bersama tiap anggota masyarakat yang diberikan kepada orang atau majelis pembuat undang-undang (legislator), yang kemudian diberikan kembali kepada rakyat.

Namun harapan rakyat itu harus dipendam dalam-dalam manakala melihat realitas politik wani pira para caleg. Rasa-rasanya kita perlu bersiap diri untuk memperoleh DPR 2014-2019 yang tidak berbeda jauh dari periode sebelumnya, dan apa boleh buat, beginilah konsekuensi politik wani pira.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar