Senin, 29 April 2013

Menolak Caleg Bermasalah


Menolak Caleg Bermasalah
Hizdzil Alim ;  Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM,
Ketua Bidang Nonlitigasi LPBH PWNU DIY
SUARA MERDEKA, 27 April 2013



MUSIM pendaftaran calon legislatif telah tiba. Partai politik ramai-ramai mengajukan daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif untuk bertarung dalam Pemilu 2014. Ha­rapannya, partai akan mendulang banyak suara demi memuluskan jalan representasi pada periode demokrasi mendatang.

Parpol tentu mengalokasikan waktu, strategi, dan pertimbangan keterkenalan calon legislator supaya tak kalah dalam pentas lima tahun­an rakyat. Hanya, beberapa partai masih mengajukan orang ”bermasalah” sebagai calon le­gislator. Mengapa bisa demikian? Bukankah orang bermasalah justru akan mengiris suara para pemilih sehingga menyebabkan kekalahan dalam kontestasi politik?

Tengok saja nama seperti M Nazaruddin dan M Nasir dari Partai Demokrat, juga I Wayan Koster dari PDIP (SM, 22/4/13) yang diduga terkait dengan kasus korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games XXVI di Palembang dan Hambalang di Sentul Bogor kembali mencari peruntungan menjadi wakil rakyat. Dalam kacamata orang awam, calon legislator yang terjerat dugaan tindak pidana korupsi kemungkinan besar tak akan terpilih. Lalu, kenapa partai masih mau memasukkan mereka ke DCS?

Sepertinya ada dua alasan yang membuat partai mau ambil kebijakan tidak populer dengan caleg bermasalah. Pertama; putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009. Berdasarkan putusan MK, bekas narapidana dapat maju sebagai calon legislatif apabila ia telah lima tahun sesudah menjalani masa hukuman terakhirnya, atau ia mengumumkan kepada publik mengenai statusnya sebagai bekas napi. Di samping itu, ia tak melakukan kejahatan secara berulang-ulang.

Putusan MK memiliki arti, orang ber­masalah dalam tipikor pun juga dapat di­calonkan sebagai wakil rakyat sepanjang sudah selesai menjalani masa hukuman lima tahun sesudah menjalani pidana. Tapi untuk Naza­ruddin misalnya, jika majelis hakim pengadilan tingkat banding menjatuhkan pidana 4 tahun 10 bulan pada Agustus 2012 maka ia harus menjalani hukuman mungkin hingga 2016.

Lima tahun setelah masa pidana itu adalah 2021. Jadi, ia kemungkinan baru bisa mendaftar sebagai calon anggota parlemen pada 2021. Dengan ketentuan dalam putusan MK, seharusnya mustahil Nazaruddin bisa masuk dalam DCS.

Bagaimana dengan Mirwan Amir dan I Wayan Koster, mereka berdua masih bersih belum dijatuhi pidana yang berarti boleh dimasukkan dalam DCS? Parpol sebenarnya sedang berjudi. Jika hasil pemeriksaan aparat penegak hukum dalam dugaan ka­sus korupsi ternyata me­nyeret mereka ke ranah hukum, bukankah partai akan merugi? Secara politik, jawabannya tidak. Pasalnya, ada mekanisme pergantian antarwaktu (PAW) sehingga calon urutan berikutnya yang memenangkan suara dari partai terkait akan mengganti mereka di parlemen. Artinya, perjudian partai tetap membawa hasil.

Menjadi Pewahyu

Alasan kedua bagi partai menetapkan caleg bermasalah dalam DCS boleh jadi karena para caleg memiliki rahasia hitam dari partai dimaksud. Untuk mencegah persebaran informasi tentang busuknya partai agar tak keluar ke pu­blik, salah satu cara ampuh adalah dengan mengikat para ”informan” itu dalam posisi yang menggiurkan di tubuh partai. Memfa­silitasi mereka dalam DCS adalah satu usaha yang tidak melanggar hukum, dan sepertinya menguntungkan partai politik agar boroknya tak meluber ke mana-mana.

Dengan kata lain, kita sebenarnya sedang disuguhi calon yang berisiko menimbulkan kerusakan. Kalau sudah begini, bagaimana cara kita menolak caleg bermasalah supaya kerusakan politik dan hukum tak terjadi? Tahun lalu di koran ini saya mengusulkan, agar partai memfilter dan tidak menerima caleg bermasalah (SM, 3/2/12). Dengan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008, parpol harus berlaku sebagai penjaga keras supaya caleg bermasalah tak ikut dalam pemilu.

Namun, tampaknya partai sedang lupa dengan kewajiban dan kewenangannya. Kewajiban dan kewenangan untuk menyediakan orang bersih demi menciptakan sistem dan parlemen yang bersih tak dipatuhi. Partai lebih memikirkan dirinya dan melupakan amanat nurani rakyat. Dengan demikian, sudah bukan waktunya lagi mengharapkan partai ber­laku baik seperti pewahyu yang me­nyampaikan kalam. Kita, para pemilih, yang harus bergerak meng­hukum caleg bermasalah. Jangan ada satu suara pun kita berikan kepada caleg bermasalah. Kita harus me­nolak caleg bermasalah duduk di parlemen agar lembaga perwakilan ber­fungsi menjadi pewahyu yang membawa ka­lam rakyat demi masa depan yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar