Selasa, 30 April 2013

Menuju Arah Berliku Perdagangan Bebas


Menuju Arah Berliku Perdagangan Bebas
Rene L Pattiradjawane ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 29 April 2013

  
Setelah Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Brunei pekan ini, tak banyak yang bisa diharapkan untuk menghasilkan terobosan terkait berbagai persoalan, mulai dari klaim tumpang tindih kedaulatan di Laut China Selatan sampai rumusan konkret menata Komunitas ASEAN 2015 yang akan ditopang oleh pilar komunitas politik dan keamanan, ekonomi, serta sosial-budaya.

Hal ini mungkin karena tuan rumah adalah Brunei, anggota terkecil ASEAN. Berbeda dengan Kamboja, tuan rumah sebelumnya, yang berhasil memorakporandakan tradisi ASEAN menghasilkan komunike bersama akibat tekanan dan pengaruh China, tetangga di utara yang bermanuver untuk berbagai kepentingan. Atau ini juga disebabkan ”politik mangkok bakmi” kalau kita melihat betapa ruwet dan kusutnya berbagai perjanjian perdagangan bebas yang harus ditangani organisasi ini.

Komunitas ASEAN yang harus dicapai tahun 2015 memang bukan sesuatu yang sederhana di tengah persoalan global yang semakin rumit, terutama resesi dunia akibat krisis keuangan yang berkepanjangan sejak tahun 2008. ”Politik mangkok bakmi” ASEAN akan menjadi pertaruhan untuk menguasai masa depan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial masyarakat.

Kehadiran Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) ASEAN jelas menunjukkan alternatif atas Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang dimotori Amerika Serikat. Berbagai mekanisme perdagangan multilateral menuju pasar dan perdagangan bebas, mengabaikan Kawasan Perdagangan Bebas Asia Pasifik (FTAAP) bentukan APEC, menandakan bagaimana regionalsime, multilateralisme, dan globalisme berubah drastis.

Perubahan ini menandakan adanya lanskap pasar multipolar yang ditopang perbedaan sistem ekonomi, sosial, dan politik. Para politisi, termasuk di Indonesia, bersama dengan berbagai perusahaan di setiap negara mencari serta menguasai tempatnya masing-masing dalam tatanan dunia baru. Dan, ini terjadi di tengah hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah, peningkatan nasionalisme, serta pergeseran kekuatan pada rakyat.

”Politik mangkok bakmi” di Asia Tenggara menjadi jawaban atas gagalnya Putaran Doha yang tidak mampu menyelesaikan perbedaan prinsip-prinsip perdagangan antara negara maju dan berkembang. RECP ASEAN menjadi tantangan langsung terhadap TPP yang menonjolkan eksklusivitas usang yang menihilkan persoalan penting untuk keluar dari resesi global.

Apakah ”politik mangkok bakmi” dalam multilateralisme ini mampu mengasah dan menajamkan peranan ASEAN menghadapi kebijakan poros Washington dalam melakukan perimbangan ulang di kawasan Asia-Pasifik, merupakan proses yang harus dilihat lebih jauh.

Diharapkan, ”politik mangkok bakmi” cukup besar untuk menampung semangat multilateralisme ”semua untuk satu, satu untuk semua”. Semoga apa yang dikatakan Perdana Menteri Australia Julia Gillard tentang ”dua arah ke tujuan yang sama” tidak akan mendikte kawasan ini untuk mengatur dan mengelola masalah hak buruh, standar lingkungan, reformasi BUMN, dan lain sebagainya. Ini karena arah yang ingin dicapai adalah kesejahteraan bersama.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar