Senin, 29 April 2013

Pelajaran Hidup Uje


Pelajaran Hidup Uje
Sumiati Anastasia ; Kolumnis Pembelajar Kehidupan, Warga Balikpapan
JAWA POS, 27 April 2013

  
Kita semua tentu terkejut dengan meninggalnya Ustad Jefri Al Buchori. Tasbih, takbir, dan tahmid terus menggema di rumah duka hingga jenazah dimakamkan di samping kuburan ayahnya di pemakaman Karet, Jakarta, kemarin. Uje, panggilan Ustad Jefri Al Buchori, meninggal dalam usia 40 tahun gara-gara kecelakaan tunggal. Motor yang dikendarai sang ustad menabrak pohon di Jalan Gedong Hijau Raya, Pondok Indah, Jakarta Selatan, pada pukul 02.00 Jumat (26/4). 

Ustad yang lahir pada 12 April 1973 serta meninggalkan empat anak dan satu istri itu dikenal sebagai ustad gaul. Total sudah sebelas tahun Uje berdakwah. Namun, televisi telah menahbiskannya sebagai pendakwah terkenal yang banyak disukai kaum perempuan selama tujuh tahun terakhir. 

Mengamati beragam khotbahnya, saya yakin bahwa ustad yang satu itu punya pesan yang menyejukkan tentang betapa Islam cinta damai dan adaptif dengan modernitas atau perkembangan zaman. Bukan agama kolot yang antisegala hal baru.

Saya tertarik pada peristiwa kematiannya yang begitu mendadak. Saya langsung ingat pepatah Jawa, "Urip mung mampir ngombe (Hidup sekadar singgah minum)." Itu menunjukkan betapa fana dan kecilnya manusia serta betapa singkatnya perjalanan manusia di dunia ini. 

Dalam pandangan Islam tradisional, sebagaimana dikatakan Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimension of Islam, Tuhan merupakan realitas absolut yang tak terhingga. Kalau Tuhan diibaratkan samudra tak terhingga, manusia hanyalah percikan dari samudra Ilahi tersebut (Simuh, 1985). Maka, kematian ustad tersebut bisa dipakai sebagai sarana untuk menunjukkan kebesaran-Nya.

Meski sudah dikenal sebagai selebriti, selama ini Uje tidak ikut larut dalam semangat para selebriti yang memuja hedonisme dan kenikmatan dunia. Coba simak, berapa banyak artis atau sosok terkenal yang harus berakhir tragis karena narkoba. Kesibukan mengejar popularitas dan uang menyebabkan hidup mereka kemrungsung dan jauh dari nuansa religius, meski mereka mengaku beragama.

Di tengah-tengah absurditas serta kegersangan spiritualitas, menarik bahwa beberapa hari sebelum meninggal Uje menolak didikte oleh modernitas yang diwakili motor maupun gadget yang dipakai. Menurut cerita adik almarhum, Uje mengaku bosan dengan BlackBerry dan motor Kawasaki ER-6n yang kemudian merenggut nyawanya.

Boleh jadi Uje sadar bahwa ternyata barang-barang yang menjadi simbol dari modernitas itu justru menyeret hidup manusia dalam keterasingan. Tak heran, bos Hyundai Korea yang kaya raya dan punya banyak barang mewah justru memilih jalan pintas dengan bunuh diri dari lantai atas sebuah hotel hingga akhirnya tewas. 

Uje juga mengaku sudah capek dan ingin istirahat sebagaimana tertulis dalam kicauan terakhirnya di Twitter. Padahal, popularitas, honorarium besar, serta jadwal padat ke depan sudah menunggunya.

Memang di tengah semangat zaman yang hanya memuja materi, seharusnya kita mau beristirahat. Mari menarik diri dari kerumunan dengan senantiasa mencoba menyucikan diri agar kedamaian atau ketenteraman hidup kita tidak dikorbankan.

Al Ghazali memberikan resep mengembalikan ketenteraman hidup dengan jalan membelakangi dunia. Sebab, selama masih ada dunia di tangannya, kekotoran hati dan kegelisahan akan tetap ada. Ibarat mustahil mandi madu tanpa dikerumuni lalat atau semut. Tak heran, Rasulullah SAW bergegas pulang ke rumahnya seusai salat karena mengingat masih ada potongan logam mulia yang belum tuntas disedekahkannya. 

Pencucian hati agar dapat mendatangkan ketenteraman batin amat sulit dijalani. Pertama, pengamalan maqam tobat. Tobat dalam pengertian tasawuf adalah pengalihan dari hidup yang terlena ke arah hidup yang selalu mengingat Tuhan. Terlena mengingat Tuhan adalah pangkal dari segala dosa dan kemaksiatan. Maka, laku mengingat Tuhan adalah langkah awal pembinaan budi luhur. Zikir lahir batin merupakan jalan pertama.

Kedua sesudah tobat adalah laku wara`, yakni satu laku rohani untuk menjauhi hal-hal yang syubhat (tidak jelas halal haramnya). Ketiga, laku hidup yang mencari sesuatu yang jelas halalnya. Jadi, laku itu 90 persen budi pekerti luhur. Keempat, laku zuhud, yakni menyedikitkan kebutuhan duniawi yang halal. Kelima, tawakal, yakni menyerahkan seluruh hidupnya hanya kepada Tuhan, termasuk pemeliharaannya. Keenam, laku sabar, yakni tidak mengeluh apa pun penderitaan yang ada padanya karena yakin akan adanya jaminan pemeliharaan Tuhan. Lalu, ketujuh, laku rela atau ikhlas, bahkan penderitaan dianggapnya sebagai satu "kenikmatan". 

Segala kekotoran duniawi dia singkirkan. Menyedikitkan kebutuhan duniawi mengandung arti bahwa tidak dilarang untuk mencari harta, asal halal dan diambil secukupnya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membantu orang lain. Artinya menjadi "sufi". Jadi, tidak harus mengasingkan diri dari keramaian duniawi. Orang Jawa bilang topo ngrame dan Abu Yazid Al Busthami mengatakan, "Zuhud (sufisme) adalah tidak memiliki dunia dan tidak dimiliki dunia." Artinya silakan mencari harta sebanyak-banyaknya (yang halal tentunya), namun jangan menjadi budak dunia. 

Ingat, hidup begitu fana sebagaimana telah ditunjukkan oleh Uje. Sang maut menunggu di setiap kelokan hidup. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar