Jumat, 26 April 2013

Perempuan dan Politik Gincu


Perempuan dan Politik Gincu
Umbu TW Pariangu ;  Dosen Fisipol Undana, Kupang
MEDIA INDONESIA, 25 April 2013

  
Perempuan kembali menuai perhatian. Kali ini oleh elite-elite partai politik yang memiliki kewajiban memenuhi kuota 30% perempuan dalam penyusunan daftar calon anggota legislatif sementara (DCS) untuk masa pengabdian 2014-2019 yang telah diserahkan ke KPU. PKS dan Golkar, misalnya, memberikan porsi 36% untuk kaum perempuan dalam DCS mereka, Demokrat 37%, atau Hanura 36%. Bahkan partai baru, NasDem, memiliki 235 bakal calon anggota legislatif (bacaleg) perempuan (39,5%) dari total keseluruhan bacaleg tingkat pusat (Media Indonesia, 22/4).

Yang menjadi pertanyaan, apakah benar keterwakilan perempuan yang memenuhi kuota 30 % benar-benar mencerminkan kualitas dan nilai-nilai perubahan atau malah sebaliknya, sekadar instrumen simbolis-politik partai memenuhi persyaratan pemilu?

Sebagaimana diketahui, keterwakilan perempuan diatur dalam Peraturan KPU No 7 Tahun 2013, yang mensyaratkan jumlah dan persentase keterwakilan perempuan paling sedikit 30% untuk setiap daerah pemilihan. Kemudian, penempatan sekurang-kurangnya satu bakal calon perempuan dari setiap tiga bakal calon. Peraturan itu juga menegaskan KPU tidak akan menerbitkan daftar caleg tetap untuk parpol yang gagal memenuhi syarat keterwakilan perempuan di suatu dapil.

Selain itu, kuota gender ditetapkan sebesar 30% oleh UU No 10 Tahun 2008. Dasar legalnya mengacu, antara lain, ke amendemen UUD 1945 Pasal 28 pada beberapa butir tentang hak perempuan dan politik, UU No 7 Tahun 1984 mengenai segala bentuk penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, UU No 39 Tahun 1999 Pasal 46 tentang Hak Keterwakilan Perempuan di Lembaga Tinggi Negara, dan Inpres Nomor 9 Tahun 2000 mengenai Pengarusutamaan Gender. 

Lemah

Aturan tersebut sangat penting untuk mewujudkan demokratisasi perwakilan warga perempuan dalam menentukan nasib di dalam proses politik pengambilan kebijakan, khususnya legislatif. Dalam kenyataannya, perempuan masih dibayangbayangi persoalan klasik, mulai aspek kesehatan reproduksi, pendidikan, rasa aman, hingga lemahnya posisi tawar perempuan dalam aspek sosial, budaya, l ataupun ekonomi di internal a keluarga dan eksternal.

Angka putus sekolah anak perempuan di tingkat SD, SMP, dan SMA sangat besar jika dibandingkan dengan laki-laki. Dari sekitar 9,7 juta penduduk buta huruf di Indonesia, 64% justru kaum perempuan. Angka kematian ibu bahkan masih sekitar 228/100 ribu kelahiran. Semua persoalan itu tentu harus memperoleh perhatian dan jawaban, terutama dari pihak perempuan. 
Dengan begitu, kepesertaan perempuan dalam politik memung kinkan terciptanya dukungan dan pembelaannya terhadap masalah kualitas hidup dan kesejahteraan yang selama ini mengimpitnya.

Sayangnya, kerumitan persoalan kaum perempuan tersebut kurang begitu direspons partai-partai politik sebagai wadah politik perem politik perempuan berkarya dan memperjuangkan hak-haknya. Itu dibuktikan dengan kegelisahan sebagian besar partai politik menjelang ba tas akhir pengajuan caleg yang berujung pada nada sama, yakni kesulitan mencari kader-kader perempuan yang layak dicalonkan sebagai caleg.

Hal tersebut seperti mengulang kaset usang kepesertaan perempuan dalam lembaga perwakilan di pemilu sebelumnya. Dalam catatan Ansipol pada Pemilu 2009, perolehan suara perempuan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan laki-laki. Di daerahd-aerah seperti Sumatra, perolehan suara perempuan di DPRD provinsi sebesar 14%, sedangkan di DPRD kabupaten-kota hanya 9%. Di Bali dan Nusa Tenggara, perolehan suara perempuan di DPRD provinsi sebesar 7,8% dan di DPRD kabupaten/kota hanya 6,8%. Keterwakilan perempuan di DPR RI 2009-2014 hanya diisi hanya diis sekitar 101 orang dari 560 anggota atau sekitar 18,03%.

Kita sulit mengetahui pasti apakah persoalan defisit kader perempuan benar-benar sebuah realitas atau justru sekadar kamuflase partai politik untuk menyembunyikan kepentingan-kepentingan lain. Kalau benar partai kesulitan mendapatkan stok kader perempuan berkualitas, tetap saja tidak adil jika persoalan tersebut ditimpakan menjadi kesalahan perempuan semata.
Dengan jumlah penduduk perempuan separuh lebih dari total 230 juta penduduk Indonesia, kepentingan dan kebutuhan perempuan harusnya lebih efektif mendapat perhatian dan agenda khusus dari partai politik lewat program rekrutmen dan pelatihan kaderisasi.

Bukankah di partai politik selama ini juga telah ada divisi perempuan seperti PDIP dengan Departemen Urusan Pemberdayaan Perempuan, Golkar dengan Kesatuan Perempuan Partai Golkar, Partai Amanat Nasional dengan Perempuan Amanat Nasional, dan PKB dengan Perempuan Kebangkitan Bangsa? Wadah-wadah itu semestinya sudah cukup prospektif bagi partai sebagai kawah candradimuka kader-kader perempuan untuk mengasah wawasan, skill, serta keterampilan pengorganisasian diri dalam memetakan dan memperjuangkan gagasan-gagasan transformatif keperempuanan.

Kegagalan Partai

Maka, kesulitan partai merekrut caleg perempuan lebih dimaknai sebagai refleksi kegagalan partai poli tik menjalankan tugas-tugas pokok sebagai wadah edukasi dan kaderisasi politik. Potret kinerja politik. Potret kinerja partai dan wakil rakyat yang cenderung korup telah membuat rakyat, khususnya kaum perempuan, antipati terhadap politik. Partai politik membutuhkan suatu perspektif baru untuk memberikan kinerja dan teladan yang positif bagi rakyat sehingga kaum perempuan di mana pun berada dapat terinspirasi dan mau melibatkan diri di kancah politik yang selama ini telanjur dianggap kotor dan menjijikkan.

Di sisi lain, sebagian kaum perempuan yang tengah mencalonkan diri sebagai caleg diharapkan telah melalui perenungan yang mendalam dan substantif. Mereka yang kebetulan dari latar belakang artis pasti sudah tahu bahwa kerja politik atau mengurus negara tidak mungkin hanya bersandar pada modal sosial popularitas semata. Tak sedikit yang bilang modal sosial yang dimiliki artis itu bukanlah diperoleh dengan gampang. Keterkenalan diri mereka oleh publik melalui layar kaca sudah direngkuh jauh sebelum partai politik bekerja sehingga mereka pun layak memenuhi kriteria `kapasitas' dan `kompetensi'.

Namun, pernyataan itu terkesan dipaksakan karena dunia selebritas atau keartisan berbeda habitat kompetensi dengan dunia politik. Politik memerlukan penguasaan wawasan kenegaraan yang komprehensif, kemampuan menggalang lobi dan dukungan atas sebuah ide/gagasan yang tentu tidak pernah terjadi dan didapatkan di dunia keartisan.

Meski semua warga negara berhak sama terjun dalam dunia politik, tidak berarti pula setiap orang berhak dan merasa bisa berkontribusi terhadap sebuah penciptaan perubahan sekalipun tak memiliki persyaratan khusus untuk itu. Dunia politik membutuhkan kompleksitas ide-ide autentik dari seorang politikus sejati; dengan kontestasi gagasan yang selalu menjadi kawannya sehari-hari, bukan keglamoran, gincu, lipstik, atau tebar pesona!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar