Senin, 29 April 2013

Perlu Enggak Sih GBHN?


Perlu Enggak Sih GBHN?
Wijaya Kusuma Subroto ; Vice President di SindoTV dan Corporate Secretary MNCTV, Pengamat Keselamatan Transportasi
KORAN SINDO, 27 April 2013
  

Sejak Undang-Undang Dasar 1945 diamendemen, rakyat Indonesia sepertinya tidak mempunyai perencanaan yang matang mengenai cara atau tahapan membangun bangsa, tidak terpikir oleh pemerintah mengenai bagaimana mengelola bangsa yang besar dengan penduduk hampir 250 juta jiwa. 

Pengelolaan sumber daya alam yang luar biasa tidak terkelola dengan baik. Tidak ada lagi persepsi tentang tujuan bernegara. Masyarakat dibuat skeptis, memikirkan diri sendiri, dan ini seperti virus yang dengan cepat menular mulai dari tingkat RT hingga tingkat eksekutif sekalipun. Coba kita lihat, bupati tidak lagi tunduk kepada gubernur karena bupati merasa ditunjuk langsung oleh masyarakat dalam pilkada. Tidak ada hierarki kekuasaan yang tegas sehingga pengelolaan pendapatan asli daerah tidak direncanakan apalagi dikontrol yang baik. Tidak ada lagi prioritas dalam pembangunan di masing-masing daerah baik tingkat II maupun tingkat I. 

Contoh nyata bisa dilihat dari buruknya jalan kelas II di masing-masing provinsi, demikian pula buruknya jalan antarprovinsi atau jalan kelas I. Jalan antara Jakarta dan Cirebon misalnya selalu saja tiap tahun diperbaiki dan tidak pernah selesai. Jalanan rusak, tapi kendaraan bertumbuh luar biasa. Moda transportasi umum justru ditinggalkan. Kita tengok 10 tahun lalu, dulu banyak sekali bus antarkota antarprovinsi (AKAP) dengan kualitas setara pesawat terbang. 

Mereka mengistilahkan bus VVIP dan ada yang super- VVIP, ada yang namanya Raseko, OBL Safari Dharmaraya, Parahiyangan, Lorena, Karina, dan sebagainya. Ke mana mereka sekarang, sedikit demi sedikit lenyap tak berbekas karena biaya perbaikan kendaraan alias biaya operasional lebih besar dari keuntungan yang didapat dari tiket penumpang. Kerusakan kendaraan menjadi sangat cepat karena rusaknya jalan antarprovinsi, sementara waktu tempuh semakin lama. Ada yang salah dari negeri ini, pengelolaan pajak yang disalurkan dalam bentuk APBN dan APBD banyak yang dijadikan bancakan alias korupsi berjamaah. 

Bayangkan saja yang menjadi tersangka korupsi sebanyak 597 di medio 2012 dan sebagian besar justru para eksekutif pelaksana anggaran. Sektor infrastruktur menurut data ICW menempati tempat tertinggi dengan 87 Kasus 9 (Fajar, 2012). Ini bukti lemahnya sistem dan pengawasan atas pelaksanaan anggaran. Tidak ada arahan kebijakan pembangunan yang jelas, tidak ada SOP bagaimana pengaturan kebijakan pembangunan mikro maupun makro. Pemerintah daerah terkesan mengatur dirinya sendiri dan tidak terkoordinasi dengan pemerintah pusat. 

Akhirnya hal ini tentu berdampak pada perkembangan bangsa yang sporadis dan tidak mempunyai arah karena tidak ada kebijakan ekonomi makro yang terencana, Di tingkat pusat, menggelembungnya subsidi BBM yakni bensin 45, 47 juta barel selama 2012 yang terdiri atas premium 28,34 juta Kl, minyak tanah 1,20 juta KL, dan solar 15,73 juta KL mengakibatkan tabungan negara atau devisa negara menjadi sangat menipis. Negara harus menanggung beban subsidi BBM yang sangat tidak produktif. Bayangkan, subsidi BBM dan listrik saja besarnya Rp305,9 triliun. 

Menteri ESDM seakan tak berdaya pada keadaan ini, kebijakan bingung alias tidak tegasnya pemerintah terlihat pada penerapan aturan yang terkesan asal buat. Uji coba aturan yang tidak jelas terlihat seperti aturan mengenai kendaraan dinas yang dilarang menggunakan BBM bersubsidi. Rencana mengenai pembatasan penggunaan BBM. Ya, semua hanya rencana tanpa kajian dan akhirnya tidak bisa diterapkan. Sekarang malah rencana penerapan dua tarif kenaikan BBM yang berbeda. 

Sementara pemerintah masih menggodok rencana kenaikan BBM, di daerah kelangkaan BBM makin menggila. Pembatasan kuota BBM di beberapa daerah terpaksa diberlakukan karena langkanya BBM. Semisal di Kalimantan terjadi pembatasan pembelian BBM dan hanya boleh membeli Rp100.000. Sungguh ironis, padahal Kalimantan dulunya penghasil minyak, tapi kenyataannya justru BBM dibatasi. Pemerintah sepertinya takut tidak menjadi populer bila bahan bakar disesuaikan dengan harga pasaran dunia. Padahal coba tengok negara tetangga, Singapura, Malaysia, Hong Kong. 

Mereka menerapkan harga BBM dunia. Ini artinya subsidi dialihkan kepada transportasi yang berpihak kepada masyarakat. Tentang subsidi BBM, kalau kita boleh berandai-andai, dana Rp306 triliun itu dapat untuk bangun rel berapa panjang. Dari data BPK, alokasi rel ganda hanya Rp10 triliun untuk membangun rel dari Jakarta ke Surabaya (meneruskan rel ganda dari Cirebon) dengan jarak 400 KM. Berarti, kalau kita bangun dengan dana Rp306 triliun, 12.240 km bisa terbangun atau ini sama dengan dua kali Sabang sampai Merauke yang panjangnya 5.251 km. 

Banyak sekali persoalan bangsa karena perubahan yang cepat sehingga diperlukan acuan bersama terhadap arah tujuan negara. Kita bangsa yang besar, namun tidak mempunyai arah yang jelas sehingga bangsa yang besar harus diarahkan dengan benar agar menjadi negara adidaya yang disegani di wilayah Asia. Kembali lagi, perencanaan yang baik, penentuan skala prioritas pembangunan sangat diperlukan agar kita kembali menjadi bangsa yang disegani seperti era Bung Karno dahulu. 

Hasil Pemilu 2009 belum mampu menghasilkan pemerintahan, legislatif, dan partai politik yang tidak koruptif. Pembangunan yang bermuara terhadap terwujudnya keadilan, kesejahteraan, pemerintahan yang bersih, dan stabilitas politik serta keamanan nasional juga belum terwujud. Ini memang suatu konsekuensi perubahan peta politik pada 1999 dari semula hanya tiga partai berubah menjadi 48 partai. Keberagaman dan perbedaan visi justru menimbulkan politik Laskar Pelangi dalam pemerintahan. Menteri lebih membela atau memikirkan kepentingan partainya ketimbang mengikuti arahan Presiden. 

Seharusnya saat menjabat sebagai eksekutif semua menteri dan presiden harus meletakkan jabatannya di partai, pengaruh partai harus dibuang. Mereka itu memimpin bangsa Indonesia dan milik masyarakat Indonesia kok dan bukan perwakilan partai. Karena itu, pemimpin bangsa harus menanggalkan kepentingan partai, kepentingan golongan demi kepentingan yang lebih besar yakni kepentingan bangsa. Perencanaan atas ekonomi makro perlu dipikirkan matang. 

Karena itu, di tengah masyarakat, termasuk saya, ada kerinduan akan perlunya GBHN. Hal ini disadari dari pengalaman yang terjadi sejak Era Reformasi di mana permasalahan semakin banyak dan semakin membesar karena realitas kehidupan semakin kompleks. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar