Senin, 29 April 2013

Politisi Tumpuan Harapan


Politisi Tumpuan Harapan
Toeti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 26 April 2013

  
Drama koruptor besar merebak di sejumlah partai politik, merusak suasana kehidupan politik dan berimbas ke citra lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif, dan terutama lembaga legislatif. Apakah karena penegakan hukum lemah atau moral segolongan politisi yang perlu dipertanyakan? Maka kita berharap 1-2 tahun ke depan menjadi masa pembersihan dengan cara menjaring tokoh-tokoh bersih dan berkemampuan untuk ketiga lembaga tersebut.

Situasi karut-marut memang perlu diubah. Yang diharapkan membawa perubahan tentunya kalangan politisi. Komentar seorang pengamat, jangan malahan politisi bersikap seperti usaha asuransi yang hanya cermat memunguti, tetapi terkesan tak rela memberi ketika dibutuhkan.

Karena partai-partai politik menjadi sarana penting untuk menciptakan pemerintahan demokratis, sarjana-sarjana kemasyarakatan beranggapan partai-partai politik perlu selalu diamati dan diawasi semua pihak, termasuk oleh kalangan politisi sendiri. Dengan demikian, para pemimpin dan kader masing-masing akan menjalankan fungsi dengan hati nurani.

Sikap para pemimpin perlu terus-menerus dievaluasi; meliputi tentang bagaimana para pemimpin itu mengambil keputusan, bagaimana para kader direkrut dan apa latar belakang mereka, serta dari mana sumber dana individu maupun partai; begitu juga kecenderungan sikap partai dalam kebijakan politik dan ekonomi maupun falsafah bangsa yang akan berpengaruh terhadap kebijaksanaan dalam hal agama, kesukuan/ etnik, dan ekonomi.

Untuk masyarakat yang meyakini pluralisme, ada kesadaran bahwa dalam proses politik terdapat give and take yang mewajibkan kalangan politisi bersedia memberi kelonggaran kepada pihak lain, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar yang mereka taati. Untuk itu, diperlukan politisi yang tidak hanya berkemampuan, tetapi juga berhati nurani dan bijak dalam tindakan.

Menghindari Kegagalan

Hidup-matinya suatu ideologi bergantung pada kemampuan kalangan politisi untuk membaca suasana; selain keberanian mereka untuk menerobos tentangan dan menghadapi tantangan. Untuk itulah diperlukan jajaran pemimpin yang bisa menginterpretasikan sejarah supaya program yang dijalankan sesuai dengan kepercayaan dan tradisi masyarakat. Identitas program yang jelas mungkin kedengaran tidak praktis dan terlalu idealistis, apalagi bila program semacam itu membutuhkan gerakan perubahan yang bisa mengganggu keselarasan kebiasaan yang ada.

Why Nations Fail (1912), buku yang ditulis bersama oleh Prof Daron Acemoglu dan Prof James A Robinson, masing-masing ahli ekonomi dari MIT dan ahli pemerintahan dari Universitas Harvard, menegaskan bahwa yang menjadi akar ketidakpuasan masyarakat terutama masalah kemiskinan. Karya tulis itu disusun berdasarkan riset 15 tahun dengan mengadakan studi komparatif kesejahteraan di antara berbagai negara. Kesimpulannya antara lain: kegagalan suatu negara pada dasarnya disebabkan sehat-tidaknya institusi-institusi yang ada di negara tersebut, yang pengelolaannya dipimpin orang-orang dari kalangan politisi sendiri, atau orang-orang yang mereka pilih dan/atau tentukan.

Institusi-institusi itulah yang memungkinkan bergulirnya pembaruan, perluasan ekonomi, kesejahteraan yang meluas, dan ketertiban yang damai. Siapa yang memelopori gerakan tersebut?
Sesuai dengan fungsi dan kesempatannya, siapa lagi kalau bukan kalangan politisi.

Politisi Menentukan

Selama ini ada asumsi-asumsi yang kebenarannya dipertanyakan kedua penulis. Salah satunya berkisar pada dalih bahwa yang menentukan tinggi-rendahnya kesejahteraan rakyat suatu negara ialah letak geografisnya. Bahkan sejak ak hir abad ke-18, ahli falsafah politik Prancis Montesquieu mengutarakan masyarakat yang tinggal di ne gara-negara tropis cenderung malas dan tidak memiliki rasa ingin tahu. Mungkin karena kemudahan hidup di negara tropis. Sebaliknya, masyarakat yang hidup di negara empat musim tidak menjadi miskin karena mereka harus bekerja dan berpikir lebih keras demi kelangsungan hidup. Kedua penulis membantah hipotesis itu karena kesejahteraan Singapura, Malaysia, dan Botswana sepadan dengan kesejahteraan rakyat yang tinggal di negara-negara empat musim.

Dalih bahwa kultur yang menentukan juga mereka pertanyakan. Sosiolog terkemuka Jerman, Max Weber, berargumentasi bahwa reformasi Protestan, dan etika Protestan sebagai kelanjutannya, telah memainkan peran penting bagi kebangkitan masyarakat industri di Eropa Barat. Namun, agama kemudian bukan lagi satu-satunya yang disebut kultur, melainkan juga keyakin an-keyakinan, nilai-nilai, dan etika lain.

Asumsi yang juga banyak dipercaya, khususnya oleh ahli-ahli ekonomi, ialah para penguasa di negara-negara miskin tidak tahu cara membuat negara mereka kaya. Ketidaktahuan sering menjadi kambing hitam untuk salah urus perekonomian di suatu negara. Akibatnya, mereka sering diberi petunjuk atau saran oleh lembaga-lembaga keuangan dunia tentang cara melakukannya. Padahal, menurut dua penulis itu, yang diperlukan bukan itu, melainkan mengubah jenis insentif ataupun pembatasan-pembatasan oleh institusi-institusi politik dan ekonomi.

Kesimpulannya, terjadi ketimpangan antara negara-negara kaya dan miskin karena ada perbedaan pengorganisasian berbagai institusi. Pengorganisasian yang efisien akan memajukan kesejahteraan, yang tidak efisien akan menjatuhkannya. Dengan kata lain, institusi-institusilah yang menentukan, sedangkan mereka ada dalam lingkup pengelolaan kalangan politisi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar