Selasa, 30 April 2013

Publik dan Demonstrasi


Publik dan Demonstrasi
M Ichlas El Qudsi  ;  Anggota DPR RI Fraksi PAN 
REPUBLIKA, 29 April 2013


Menyambut May Day, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengungkapkan bahwa demonstrasi diperbolehkan, asalkan tidak mengganggu produksi perusahaan dan jalan saat jam kerja. Pernyataan Hatta ini harus dibaca sebagai sindiran sekaligus teguran bagi buruh. Sebab, aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan setiap 1 Mei lebih terlihat sebagai kegiatan rutin "pemutus kewajiban" ketimbang sebagai sikap protes yang perlu penanganan serius.

Kalimat Hatta tidak berasal dari data fiktif, sebab setiap 1 Mei jalan-jalan di jantung Kota Jakarta mengalami kemacetan melebihi hari-hari biasa dan aksi-aksi demonstrasi sudah sering meng undang kritik masyarakat. Karena itu, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap berbagai masalah yang dihadapi buruh, sudah saatnya buruh melakukan reformulasi model aksi dengan meli- batkan publik di dalamnya. 

Publik yang dimaksud adalah masyarakat umum yang tidak terlibat dalam unjuk rasa, tetapi merasakan dampak dari demonstrasi. Publik adalah mereka yang memiliki sejumlah kegiatan, tapi terhalang oleh demonstrasi. Area yang biasanya digunakan publik beralih fungsi menjadi panggung demonstran, akibatnya aktivitas publik terganggu. 

Coba lakukan survei kecil-kecilan kepada pengendara, pengemudi, atau penumpang angkutan umum di Jakarta, bagaimana pendapat mereka terhadap demonstrasi yang menggunakan jalan sebagai tempat aksi. Umumnya kecewa, bahkan tidak sedikit yang marah, karena aktivitas mereka menjadi terhambat.
Lakukan survei yang sama terhadap demonstran yang menggunakan fasilitas umum sebagai tempat menyatakan pendapat. Di antara alasan yang mereka ungkapkan, salah satunya adalah agar protes mereka didengar maka perlu menggunakan jalan raya sebagai media penyampai pesan. Argumen ini tak lepas dari pendapat bahwa kemacetan harus diciptakan agar dampaknya dirasakan publik dan dengan demikian muncul dukungan. Sayangnya, dugaan tersebut sering meleset. 

Demonstrasi bagi sejumlah pengguna jalan di Jakarta adalah gangguan lalu lintas, kepadatan jalan, dan tersendatnya laju kendaraan. Keluhan ini harus menjadi perhatian para demonstran, sebab dalam prinsip demonstrasi, semakin banyak khalayak yang terpengaruh dengan isu atau tuntutan yang diusung oleh demonstran, maka semakin baik demonstrasi tersebut. Ini artinya kepedulian terhadap suatu masalah bisa ditularkan menjadi masalah kolektif. Untuk itu, pelibatan masyarakat sebagai aktor demonstrasi mutlak diperlukan. Memisahkan diri dengan publik akan berdampak buruk bagi demonstran dan dalam jangka panjang hal ini berimplikasi negatif bagi demokrasi. Sebab, demokrasi menjadikan demonstrasi sebagai salah satu alat mencapai kesempurnaannya. 

Demokrasi mensyaratkan sikap terbuka, menerima kritik dan masukan, serta menjunjung penghormatan terhadap semua lapisan masyarakat. Demokrasi berkehendak agar suara sekecil apa pun bisa didengar. Jika demonstrasi dan publik berlawanan, maka niat dan keinginan menyampaikan pendapat atau protes tidak akan berjalan lancar.

Padahal sebagai penganut demokrasi, Indonesia juga melindungi suara demonstran. Demonstrasi di negara kita bukan peristiwa baru. Intensitasnya meningkat sejak reformasi digulirkan. Bahkan, demonstrasi dibekingi dengan peraturan perundang-undangan agar siapa pun termasuk penegak hukum tidak dapat melarangnya tanpa alasan yang jelas.

Demonstrasi diatur guna memberi kepastian dan keamanan bagi pengunjuk rasa. UU Nomor 9 Tahun 1998 Pasal 4 menyebutkan bahwa tujuan pengaturan ten tang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah: (a) mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; (b) mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat; (c) mewujudkan iklim yang konduksif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi; (d) menempatkan tang gung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.

Perlindungan terhadap demonstrasi diberikan sebelum, saat, dan sesudah dilakukannya. Karena itu, muatan demonstrasi harus mencerminkan kesungguhan bukan sekadar kerumunan. Demonstrasi merupakan salah satu cara untuk mengekspresikan kekecewaaan atau penolakan terhadap suatu kebijakan yang tidak disukai atau disetujui oleh sejumlah masyarakat. Demonstrasi juga alat penyampai pesan atau tuntutan terhadap suatu masalah kepada pihak-pihak atau instansi tertentu yang terlibat dengan masalah yang dituntut oleh para demonstran. Demonstrasi umumnya melibatkan massa dalam jumlah yang besar, meskipun demonstrasi bisa juga dilakukan sendiri-sendiri.

Harus diakui bahwa demonstrasi dari massa ke massa mengalami perbaikan dari sisi cara dan perilaku. Meski pun, cara-cara liar dalam mengungkapkan suatu ma salah masih juga kita jumpai. Di daerah-daerah (luar Jakarta) sering terjadi bentrok antara demonstran dan polisi. Hal ini bisa jadi karena sensitivitas instansi yang dituju kurang responsif terhadap tuntutan demonstran, atau tingkat kecerdasan demonstrannya kurang memadai untuk menuntut atau menyampaikan suatu masalah sehingga pendekatan fisik didahulukan dari dialog. Bisa juga aparat kurang sabar menghadapi demonstran sehingga bentrokan tidak bisa dihindari. 

Untuk meminimalisasi segala kemungkinan, sudah saatnya demonstrasi melibatkan publik, dalam arti memberi kelancaran bagi aktivitas publik sambil mengajak mereka untuk berpartisipasi. Sinergi antara demonstran dan publik harus dilakukan agar kepedulian terhadap tuntutan (masalah) yang diperjuangkan demonstran didukung oleh publik. Publik harus menjadi mitra strategis bagi demonstran. Keterlibatan publik tidak sebatas sebagai penonton, tapi juga sebagai aktor dalam lakon yang sedang diperagakan demonstran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar