Minggu, 28 April 2013

Rencana Sistem Dua Harga Bahan Bakar Minyak


Rencana Sistem Dua Harga Bahan Bakar Minyak
Tulus Abadi ;  Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
KORAN TEMPO, 26 April 2013

  
Tampaknya Presiden Yudhoyono mulai gerah dengan alokasi subsidi bahan bakar minyak yang terus melambung, lebih dari Rp 310 triliun. Dan jika dibiarkan, kuota bahan bakar minyak bersubsidi pun akan jebol, jauh di atas pagu 46 juta kiloliter pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013. Namun, di tengah kegerahan itu, pemerintah tampaknya belum punya solusi politik yang lebih konkret. Terbukti, instrumen kebijakan yang akan digulirkan pun tampak "banci" alias sulit diimplementasikan dan nyaris tak memungkinkan dalam pengawasan. 
Pemerintah, via Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ingin menerapkan "sistem dua harga" pada bahan bakar minyak bersubsidi. Dua harga itu adalah, sepeda motor dan kendaraan umum boleh menggunakan bahan bakar minyak bersubsidi dengan harga Rp 4.500 per liter, sedangkan kendaraan bermotor pribadi roda empat juga boleh menggunakan Premium tapi dengan harga Rp 6.500-7.000 per liter. Jika tak ada aral, kebijakan dimaksud akan diberlakukan pada awal Mei 2013. Sebuah wacana yang sejatinya sangat usang. 
Dengan kebijakan yang semacam itu, pemerintah masih ambigu; karena sejatinya pemerintah tidak ingin membatasi konsumsi BBM, apalagi menaikkan harganya. Kepentingan politik jangka pendek (pemilu 2014) menjadi latar belakang yang sangat jelas. Tidak menaikkan harga bahan bakar minyak jelas langkah yang sangat populis, khususnya untuk masyarakat menengah perkotaan. Namun, jika bahan bakar minyak tetap bertengger pada Rp 4.500 per liter, APBN bisa bleeding. Maka, dipilihlah kebijakan dua harga, yakni tidak menaikkan harga bahan bakar minyak untuk sepeda motor, yang juga pasti populis. Apalagi, dari sisi kuota, sepeda motor menyedot 40 persen dari total penggunaan bahan bakar minyak bersubsidi. Sementara angkutan umum, porsinya sangat kecil, karena hanya mengkonsumsi 6 persennya.
Dalam konteks operasional di lapangan, apakah sistem dua harga ini cukup efisien menekan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi? Jelas tidak! Pertama, kebijakan dua harga untuk bahan bakar minyak bersubsidi adalah melanggar hak-hak publik untuk mendapatkan bahan bakar. Publik sebagai konsumen akan kesulitan mendapatkan bahan bakar minyak, karena hanya stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) tertentu yang menyediakan bahan bakar minyak dengan kategori harga tertentu. Maka, tidak mengherankan jika mantan wakil presiden Jusuf Kalla secara ekstrem menyebutkan bahwa sistem dua harga justru menimbulkan chaos. 
Kedua, sistem dua harga secara praktis juga sangat sulit dalam pengawasan, sekalipun konon akan diimbangi dengan teknologi tinggi. Sulitnya pengawasan ini pada akhirnya hanya akan mengakibatkan distorsi sosial-ekonomi yang lebih luas: penyalahgunaan, penyelundupan, dan penggelapan. Boleh jadi angkutan umum akan berhenti beroperasi menarik penumpang, dan berganti profesi berdagang bahan bakar minyak. Sebab, lebih menguntungkan berdagang bahan bakar daripada mengangkut penumpang, yang jumlahnya kian merosot. Tukang ojek, yang kini bak jamur di musim hujan, pun akan berganti profesi menjadi "tukang ojek bensin". 
Selanjutnya, yang ketiga, keterlibatan polisi dalam pengawalan transaksi di SPBU. Pak polisi tentu akan lebih asyik menjaga SPBU, karena mendapat pemasukan tambahan yang lebih ciamik, daripada berpanas-panas mengatur lalu lintas. Efek sampingnya, apa lagi kalau bukan meningkatnya angka kriminalitas, karena fokus polisi tersedot menjaga SPBU. Lagi pula, ini ironis, mana ada negara di dunia yang penduduknya, hanya untuk membeli bahan bakar minyak, harus dikawal polisi? Apakah negara ini sedang perang?
Benar, sudah terlalu lama masyarakat "terlena" oleh harga BBM yang disubsidi, bahkan sejak zaman Orde Baru. Rezim Orde Baru menjadikan subsidi bahan bakar minyak sebagai instrumen stabilitas politik. Jadi, sangat aneh dan ironis jika presiden yang mengaku lahir dari rahim reformasi (setelah Orde Baru tumbang) masih asyik berkelon dengan subsidi bahan bakar minyak, yang juga dijadikan komoditas politik. Lalu, apa bedanya Pak Harto dengan para presiden era reformasi, termasuk Presiden Yudhoyono? 
Karena itu, siapa pun presidennya, sebaiknya jangan lagi bermain api dengan kebijakan subsidi bahan bakar minyak. Pemerintah harus berani mengambil kebijakan yang lebih rasional dan tegas walaupun itu pahit. Menaikkan harga BBM secara merata dengan besaran yang terukur adalah pilihan kebijakan yang paling konkret. Ngotot dengan kebijakan disparitas harga justru mengakibatkan distorsi sosial-ekonomi yang lebih "berdarah". Menaikkan harga bahan bakar minyak adalah pilihan rasional; tetapi harus diimbangi dengan pengembangan sarana transportasi publik yang terintegrasi dan manusiawi. Pencabutan subsidi bahan bakar minyak harus langsung dialihkan untuk sektor transportasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar