Selasa, 30 April 2013

Rumah Guru Indonesia


Rumah Guru Indonesia
Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 29 April 2013


Jika ingin melihat hasil dari sebuah proses pendidikan, lihatlah bagaimana sikap dan watak anak-anak kita 25 tahun ke depan.

Jika sikap dan watak ratarata anak Indonesia baik dan jujur yang ditandai dengan minimnya kasus-kasus korupsi dan perbuatan asusila lainnya, itu berarti buah dari proses pendidikan yang benar. Jika masa depan Indonesia jauh lebih buruk daripada kondisi saat ini, itu berarti ada yang salah dalam standar proses pendidikan kita.

Saya lebih memercayai standar proses dari standar lainnya. Standar proses memerlukan guru-guru dengan standar norma dan perilaku yang tak bisa dibeli, yaitu kejujuran dan keikhlasan. Ada ratusan bahkan ribuan sekolah, madrasah, dan pesantren tutup ditinggalkan banyak peminatnya lantaran dalam mengelola institusi, mereka tak memercayai dua hal, yaitu standar proses pengajaran yang benar serta standar norma dan perilaku jujur dan ikhlas. Itu artinya faktor guru sangat penting dan dominan dalam sebuah proses pendidikan.

Mari kita belajar mengapa misalnya Finlandia selalu menjadi rujukan siapa saja yang tertarik dengan pengembangan sistem pendidikan. Sahlberg (2011: 58) mengatakan titik singgung keberhasilan sistem pendidikan di Finlandia terletak pada kesadaran yang sama antara pemerintah dan masyarakatnya terhadap pen tingnya menegakkan keadilan sosial. Kesadaran semacam itulah yang membuat proses pendidikan menjadi seimbang, tanpa perlu disusupi embelembel moralitas palsu.

Kesadaran tentang keadilan sosial (social justice) merupakan simbol perlindungan bagi siapa saja yang berada dalam radius sistem pendidikan yang berlaku. Ibarat rumah, social justice kemudian melahirkan guru-guru dan anak-anak yang percaya setiap usaha untuk mengembangkan pendidikan selalu bermula dari kesadaran bahwa persamaan (equity) dan distribusi sumber daya yang seimbang (equitable distribution of resources) merupakan dua kata kunci implementatif dari keadilan sosial.

Dalam konteks tersebut, lagilagi itu dilihat sebagai sebuah proses tak berujung, bukan sekedar menumbuhkan kompetisi tak sehat di kalangan siswa dan guru seperti yang terjadi pada kasus UN di Indonesia. Kesadaran moralitas itu penting untuk dipikirkan secara implementatif dalam setiap proses rekrutmen guru dan siswa. Merekrut guru tak sekadar proses menemukan seseorang yang bisa mengajar, tetapi menempatkan posisi psikologis mereka ke dalam rumah guru Indonesia yang memercayai keadilan sosial menjadi jauh lebih penting.

Jika rumah guru Indonesia ditempati para guru yang memiliki kesadaran kolektif luar biasa itu, empat prinsip dasar dalam proses pendidikan pasti akan terjadi, yaitu pertama, para guru akan memiliki kesadaran untuk terus belajar daripada mengajar (teach less, learn more). Bayangkan, jika sekolah kita dihuni guru dengan jenis seperti itu, jangankan ujian nasional, ujian akhirat pun akan sanggup diatasi terutama dalam melahirkan anak-anak yang memiliki sikap moral yang baik dan bertanggung jawab. Kedua, para guru akan melakukan proses belajar-mengajar di kelas dengan penuh sukacita karena tidak dihantui setumpuk tes yang membebani pikiran mereka beserta anak didik. Prinsip test less, learn better juga harus menjadi katalisator efektif dalam membuat skema pembelajaran yang menyenangkan sepanjang hayat.

Selain itu, saya membayangkan prinsip keadilan sosial dalam pendidikan akan melahirkan kebijakan yang memandang manusia secara sejajar serta melihat perbedaan yang terjadi di dalam masyarakat sebagai aset komunitas yang harus terus dikelola dengan benar. Kita sudah memilikinya dalam dasar negara Pancasila, tetapi lemah dalam aspek implementasinya. Persamaan (equity) dalam proses pendidikan berarti kita harus memberi perhatian lebih kepada kebutuhan siswa (student need) dan mengembangkan program berdasarkan kebutuhan tersebut.

Karena itu, menjadi penting bagi kita semua untuk mulai mereformasi dunia pendidikan kita dari dalam sekolah, bukan dari luar. Segala bentuk intervensi yang mengatasnamakan reformasi, apalagi bersifat politis, hanya akan menambah panjang penderitaan anak-anak kita.

Memperbaiki kualitas guru menjadi lebih baik, lebih kritis, lebih menghargai perbedaan, serta lebih memiliki keinginan untuk terus belajar juga agenda terbesar sekolah, bukan pemerintah tingkat pusat. Mungkin itu yang dimaksud Wakil Presiden Boediono, bahwa jangan-jangan UN, misalnya, lebih baik didesentralisasi.

Saya mengartikan desentralisasi itu, secara domestik, ialah tanggung jawab sekolah beserta masyarakat sekitar yang anak-anaknya bersekolah di situ, bukan desentralisasi yang dikelola pemerintah daerah yang tak paham dan sama sekali tak mengerti hakikat pendidikan. Itu artinya proses membuat rumah guru Indonesia harus dimulai di tingkat sekolah, dengan cara memetakan problem yang muncul menyangkut kompetensi guru, kepala sekolah, dan orangtua.

Saya kira saran dari Sahlberg (2011) cocok untuk memulai langkah kecil perubahan sistem pendidikan kita, seperti selalu berpikir ke depan (thinking ahead) secara visioner untuk membuat sekolah-sekolah menjadi lebih baik. Kemudian, perubahan itu harus dimulai dari kondisi internal sekolah (delivering within the school), bukan tempat yang lain, bukan kantor Kemendikbud atau pemda.

Yang terakhir, sekolah harus memiliki program yang memberdayakan sekolah lainnya (leading across) sehingga para guru, kepala sekolah, dan siswa memiliki kesempatan untuk belajar dari sekolah lainnya.
Akhirnya, rumah guru Indonesia ialah kesadaran panjang tentang pentingnya memercayai prinsip keadilan sosial (social justice) sebagai basis filosofis proses, praktik, dan program pendidikan yang bermuasal dari tiap sekolah. Di dalam sekolah biasanya muncul ide dan konsep-konsep menarik tentang masa depan secara generic dan genuine, terutama dari guru, kepala sekolah, dan siswa yang selalu memaknai belajar sebagai kebutuhan sepanjang hayat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar