Senin, 29 April 2013

Tafsir Semena-mena CSR dan TJSL


Tafsir Semena-mena CSR dan TJSL
Katamsi Ginano ; Penikmat Buku dan Praktisi CSR
KORAN TEMPO, 27 April 2013
  

Kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) tidaklah sama dengan konsep corporate social responsibility (CSR). Pernyataan ini, yang ditulis aktivis Lingkar Studi CSR, Jalal, di Koran Tempo ("Tak Perlu Bingung Ihwal CSR", Jumat, 19 April 2013) sebagai tanggapan atas artikel saya ("Bingung Ihwal Tanggung Jawab Sosial Perusahaan", Rabu, 17 April 2013), sebagian benar dan selebihnya menambah keruh duduk persoalan.
Benar bahwa salah satu substansi konsep (dan komitmen serta implementasi) CSR adalah keberlanjutan. Betul belaka TJSL sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang penjabarannya dituangkan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Perseroan Terbatas, tampaknya sangat diwarnai tujuan terbangunnya hubungan harmonis antara dunia usaha dan pemangku kepentingannya.
Namun, apakah definisi dan tafsir "tanggung jawab sosial" dalam TJSL perusahaan di Indonesia sama sekali berbeda dengan "tanggung jawab sosial" sesuai dengan konsep CSR? Di manakah orang banyak yang awam dan kebingungan merujuk definisi yang dikandung TJSL kalau bukan, misalnya, dari ISO 26000 Guidance on Social Responsibility dan aneka definisi lain yang sejalan? Faktanya, UU Nomor 40/2007 dan PP Nomor 47/2012 memang ditafsir dan identik sebagai kewajiban CSR di Indonesia.
Menyimpulkan TJSL bukan CSR karena titik-beratnya pada hubungan harmonis antara dunia usaha dan pemangku kepentingannya adalah pikiran semena-mena. Jalal mengabaikan maklumatnya sendiri bahwa TJSL terkait dengan undang-undang, peraturan pemerintah, dan aturan-aturan hukum lainnya (misalnya UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) yang secara substansial mengandung ide dan tuntutan keberlanjutan. 
Sama halnya dengan mengikuti panduan ISO26000, tidaklah dengan memilah-milah seolah tiap bagian dari aspek yang dijabarkan berdiri sendiri. ISO 26000 harus dipahami dan dipraktekkan secara holistik. Bahkan, jauh sebelum ISO 26000 dipublikasikan, pelaporan sosial dan lingkungan (atau keberlanjutan) yang menggunakan panduan Global Reporting Initiative (GRI) sudah mencakup hampir semua aspek fundamental yang dilingkupi definisi tanggung jawab sosial. Simpulan Jalal, yang barangkali hanya membaca sepintas apa yang saya tulis, menunjukkan ketidakcermatan dan ambiguitasnya. 
Salah satu bukti adalah nafsu mengoreksinya yang berlebihan. "ISO providing guideline for social responsibility" adalah kalimat yang merujuk pada ISO 26000 Guidance On Social Responsibility (ini adalah kebingungan lain yang penyumbang terbesarnya datang dari Google). Demikian pula dengan GRI Sustainability Reporting Guideline yang tak lain GRI Guideline Report bagi para penggunanya (saya menuliskan "guideline" yang tampaknya berubah menjadi "guide line" dalam proses editing di Koran Tempo).
Tetapi saya tak hendak memperdebatkan hal-hal teknis sepele yang jauh dari substansi. Apalagi pedoman atau panduan tanggung jawab sosial, khususnya bagi dunia usaha, bukanlah hanya ISO 26000. Pula, penggunaan GRI Sustainability Reporting Guideline harus dimaterialkan dengan panduan AccountAbility (AA) 1000. Mengurai isu yang jadi musabab, mari kita runut kembali pangkal sengkarut kebingungan ini dengan menengok tulisan Jalal, "CSR untuk Pembangunan Jakarta" (Koran Tempo, Selasa, 2 April 2013), yang saya gunakan sebagai contoh penyederhanaan sangat berbahaya terhadap konsep CSR. 
Definisi apa yang ia gunakan untuk mendedah dan membedah upaya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) melibatkan tanggung jawab sosial kalangan dunia dalam pembangunan kota? Kalau CSR dalam artian komitmen dan praktek etis, simpulannya sederhana: Apa yang dipraktekkan Jokowi sekadar community development (comdev), donasi, dan sponsorship. Tiga aspek itu benar bagian dari CSR, tetapi bukan CSR itu sendiri, terlebih jaminan keberlanjutannya masih tanda tanya besar. 
Saya dapat memastikan CSR tafsir Jokowi mudah tergelincir sekadar jadi proyek tahunan, apalagi Jalal mengusulkan paparan programnya dipas-paskan dengan waktu penyusunan anggaran di kalangan dunia usaha. Praktek seperti ini adalah reduksi dan pengecilan CSR, yang khusus di Indonesia telah diidentifikasi penggiatnya dalam daftar yang kian panjang.
Lalu, di antara gempita puja-puji dan samar-samar niat mengkritik CSR gaya Jokowi, terselip salut pada pernyataan pemberian insentif terhadap perusahaan yang berkontribusi dalam bentuk kemudahan perizinan. Jalal menulis, "Hal ini tidak hanya sejalan dengan PP TJSL, tapi juga menunjukkan pemahaman atas sisi lain dari tanggung jawab, yaitu hak, sebagaimana tergambar dalam konsep corporate citizenship." Di mana konsistensi TJSL bukanlah CSR?
Semestinya komitmen dan implementasi CSR ditakar dengan timbangan yang sejalan, begitu juga TJSL. CSR adalah beyond regulation, maka insentifnya pun harus bersifat sama. TJSL adalah kewajiban sesuai dengan regulasi, dengan demikian insentifnya mesti pula dituangkan dalam bentuk yang tak beda demi ketatalaksanaan dan tertib administrasi.
Menumpuk satu teori di atas teori yang lain lalu dipaksakan menafsir dan menilai dua praktek yang secara substansial dianggap berbeda adalah sikap ambigu yang membingungkan siapa pun. Pertanyaannya: pencerahan macam apa yang sedang digiatkan oleh mereka-mereka yang "merasa" sebagai pemikir dan praktisi CSR atau TJSL di Indonesia?
Lagi pula, sebagai negara yang masih berjibaku menjaring investasi dan menumbuhkan kewirausahaan demi pertumbuhan ekonomi, lepas dari apakah kalangan bisnis berkomitmen dan mengimplementasikan CSR yang beyond regulation atau patuh terhadap TJSL sesuai dengan UU Nomor 40/2007 serta PP Nomor 47/2012, insentif menjadi keniscayaan. Insentif adalah kewajiban pemerintah, bukan penyedap CSR, yang akhirnya malah jadi bentuk reduksi yang lain. 
Ketidakberanian mengoreksi, mengkritik, bahkan mencela komitmen dan implementasi CSR, termasuk meluruskan Jokowi yang tengah jadi "media darling" dan sorotan orang senegeri dalam soal untuk pembangunan Jakarta, sama sekali tak menolong peletakan konsep luhur ini pada nilai hakikinya. Dengan kata lain, satu saat, bila pemerintah DKI Jakarta mempublikasikan Laporan Keberlanjutan (sebagaimana kota-kota maju semisal Amsterdam), kita bersuka mendorong dan membiarkan isinya cuma aneka reduksi. Dan untuk soal ini, laporan dan publikasi dunia usaha di Indonesia sudah meruah, memperparah kebingungan khalayak, dan kian tak berguna sebagai indikator penakar komitmen dan praktek etis tanggung jawab sosialnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar