Jumat, 26 April 2013

The Logic of One World


The Logic of One World
Komaruddin Hidayat ;  Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 26 April 2013

  
Awal 2013 ini Kishore Mahbubani meluncurkan karya tulis terbarunya, The Great Convergence, Asia, The West, and The Logic of One World. 

Dia membangun argumen panjang lebar untuk mendukung tesisnya bahwa berbagai negara di dunia ini semakin mendekat dan menyatu karena memiliki banyak kesamaan problem dan dorongan untuk kerja sama. Faktor pendidikan dan ilmu pengetahuan sangat signifikan perannya dalam mendekatkan sesama kelas menengah yang berpendidikan tinggi dari mana pun asal etnis dan negaranya. 

Faktor lainnya adalah terjadi saling ketergantungan teknologi dan ekonomi sehingga tidak mungkin sebuah bangsa dan negara hidup sendiri. Yang tak kalah pentingnya adalah kesadaran bersama terhadap ancaman global, baik akibat kerusakan alam maupun ancaman krisis politik-ekonomi yang terjadi dalam sebuah negara, pasti akan mengganggu ekonomi negara lain seperti krisis keuangan di Yunani ataupun konflik berkepanjangan di Palestina. 

Apa yang ditulis Mahbubani tentu bukan isu baru. Dia mengakui karyanya ini banyak diinspirasi The World Is Flat (2005) oleh Tom Friedman, In Defence of Globalization (2004) oleh Jagdish Baghwati, dan Why Globalization Works (2004) oleh Martin Wolf. 

Salah satu kekhasan Mahbubani adalah cara pandangnya yang sering provokatif dengan disertai data, pengalaman pribadi, dan analisisnya yang mudah dicerna sehingga memudahkan orang lain untuk menerima atau membantahnya.

 Menyisakan Kontradiksi 

Meski Mahbubani mengajukan teori The Logic of One World, dia juga memberi catatan penting bahwa di dalam panggung global ini terdapat tujuh kontradiksi yang mengganjal terciptanya kehidupan serta kerja sama global yang harmonis misalnya saja The West versus the Rest, Expanding China versus a Shrinking World, dan Islam versus the West. 

Hubungan Barat dan Islam memiliki kenangan pahit dan luka sejarah yang sulit dihilangkan yang berakar pada peristiwa Perang Salib. Dampaknya masih berkelanjutan sampai hari ini. Peristiwa sejarah yang sama ditafsirkan dan disikapi secara berbeda antara Barat yang Kristen dan umat Islam di Timur. 

Posisi Yerusalem sangat krusial dalam konteks hubungan Barat dan Islam, ratusan tahun menjadi objek perebutan antara pemeluk Yahudi, Kristen, dan Islam, yang ketiganya memiliki referensi emosi dan keyakinan agama. Dalam Perang Salib, baik tentara Kristen maupun Muslim merasa berada di pihak Tuhan, keduanya ingin menyelamatkan tanah suci. 

Realitas sejarah ini tidak saja merupakan ganjalan hubungan antara Barat dan Islam, tetapi juga paradoks klaim keagamaan yang mengajarkan persaudaraan dan perdamaian universal. Ganjalan lain yang merupakan kontradiksi adalah penafsiran dan sikap yang berbeda mengenai siapa menindas siapa. 

Dunia Islam selalu merasa menjadi korban penjajahan dan penindasan Barat. Kekayaan alamnya dirusak dan dikeruk oleh imperialis Barat. Sementara itu Barat merasa menjadi objek kekerasan, terorisme, dan bom oleh militan Islam. Jadi, di mata Barat, dunia Islam selalu menyimpan permusuhan, sementara di mata dunia Islam, Barat akan selalu dianggap penjajah. 

Dengan berbagai kendala dan paradoks serta kontradiksi yang menghalangi munculnya one world, satu dunia dimiliki dan diatur bersama, tren ini tidak bisa distop atau diputar kembali. Ibarat kapal besar, semua anak bangsa adalah penumpang kapal yang sama. Jika terjadi kebakaran yang menimpa satu bilik kamar, akan membahayakan kamar yang lain, bahkan mengancam keselamatan seluruh penumpang kapal. 

Sayangnya, kata Mahbubani, kita lebih fokus memikirkan kepentingan nasional saja dengan mengabaikan kondisi global rumah bumi yang kualitasnya semakin rusak. Bermunculan buku dan konferensi internasional yang bertema global ethics, namun hasilnya tidak mudah diimplementasikan. Global interests versus national interests, kata Mahbubani. 

Demikianlah, secara rasional-argumentatif, kita rasanya setuju terhadap dasar pemikiran The Logic of One World. Penduduk bumi yang lebih dari enam miliar kini terhubung dengan mudah. Internet telah mengubah moda komunikasi lintas bangsa dan benua. Jarak ruang dan waktu seakan menghilang. 

Dunia semakin terasa sesak dan padat, dan sekaligus semakin terasa majemuk, warna-warni. Ini bisa merupakan festival keragaman, namun bisa juga mempertajam persaingan dan konflik memperebutkan hegemoni ekonomi dan kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar