Minggu, 28 April 2013

Wujud Rimba Lalu Lintas Darat


Wujud Rimba Lalu Lintas Darat
L Murbandono Hs; Peminat Peradaban, Tinggal di Ambarawa Kabupaten Semarang
SUARA MERDEKA, 26 April 2013


Saat ini dunia lalu lintas darat di negara kita bagai "rimba liar" sebab segala soalnya bergantung si kuat. Pertama; soal Apa. Lalu lintas darat yang manusiawi adalah bagian taraf tinggi budaya sosial terkait penggunaan kendaraan darat di kawasan publik yang berujung pada kenyamanan mobilitas manusia secara beradab alias tidak liar.

Ketidakliaran itu melibatkan Siapa: semua orang yang terkait dengan keterselenggaraan kenyamanan mobilitas manusia dengan atau tanpa kendaraan: pengendara, pejalan kaki, saudagar industri otomotif, dan semua penguasa tatanan lalu lintas (kepolisian, Dishub, LLAJ, dan seluruh ikutannya) yang taat asas kelalulintasan yang beradab. Semua berkinerja sedemikian rupa sehingga keberadaban terangkat makin tinggi dan keliaran ditekan serendah mungkin.

Kenyataannya, kinerja itu tidak menuju keberadaban tinggi tapi tunduk pada budaya "raja-raja rimba" sehingga kelalulintasan darat kita bagai "rimba liar". Di sini perlu disimak soal Kapan dan Di Mana. Itu terjadi sejak zaman Orba mulai berkuasa sampai kabinet sekarang yang masih memanjakan sektor otomotif dan mengabaikan sektor kendaraan tradisional tanpa mesin, termasuk perkeretapian. 

Pada zaman Orba sejumlah jalur rel kereta dipereteli dan berubah fungsi atau menjadi mubazir. Maka, jumlah motor dan mobil terus meningkat seolah tak terkendali alias "liar". 
Tergawat, "rimba liar" lalu lintas itu terjadi nyaris di semua jalan di Indonesia, dan terutama di Jawa yang secara demografis buruk dan salah dalam rangka keindonesiaan.

Keburuksalahan demografis itu sampai hari ini dianggap "biasa" sehingga tak ada upaya penanganan total. Padahal, secara demografis yang beradab, Pulau Jawa dalam keadaan bahaya (SOS) atau paling sedikit dalam keadaan "luar biasa". Dengan luas 132.107 km2, sekitar 1/40 luas negara (5.193.250 km2) atau sekitar 1/15 seluruh daratan (1.922.570 km2), Jawa dihuni lebih 50% penduduk, saat kawasan lain sekitar 15 kali luasnya dihuni kurang 50% penduduk. 

Penyebaran penduduk yang sangat tidak seimbang itu, menyedihkan, mengingat lebih 67 tahun negara kita merdeka dan selama itu pula telah mempunyai para penguasa bidang kependudukan. Soal paling ruwet-macet dalam "rimba liar" adalah Bagaimana. Ini gelap dan eksklusif sebab melibatkan hanya dua kubu ialah saudagar industri otomotif dan para pejabat urusan kelalulintasan dan semua ikutannya termasuk para calo, konsultan, dan kaum ekonom birokrat. 

Kinerja dua kubu yang selanjutnya menjadi "raja-raja rimba" inilah pencipta mekanisme seluruh lalu lintas darat kita dengan banyak fenomena negatif yang memuncak dalam dua tragedi. Pertama; sekitar 37.000 orang tewas tiap tahun karena kecelakaan akibat motor (data pertengahan 2012). Kedua; kendaraan bermotor di negara kita lebih 85 juta unit dengan motor sekitar 69 juta unit; dan mengikuti kenyataan demografi, lebih 90% kendaraan berjubel di Jawa (Badan Pusat Statistik, 2011).

Kebijakan Pemerintah 

Berangkat dari dua tragedi itu, dengan dasar peradaban lalu lintas berbasis teknologi yang bertanggung jawab, kita sampai pada Mengapa, yakni merenungkan penyebab kecelakaan dalam lalu lintas.
Khusus kecelakaan terkait motor, penyebabnya dari luar dan dalam. Penyebab luar adalah Sang Bagaimana yang gelap dan eksklusif itu tadi, dengan banyak fenomena moral sosial bernilai rendah yang mengacu tiga kata kunci: suap, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Ini berujung pada kelahiran undang-undang, peraturan, dan kebijakan pemerintah yang tidak bijak bagi kelalulintasan.

Penyebab dalam adalah pengendara dan kendaraan. Soal pengendara terkait tiga faktor. Pertama; pengendara dengan SIM legal tanpa budaya beradab kelalulintasan. Kedua; pengendara dengan SIM hasil menyuap. Ketiga; pengendara ilegal tanpa SIM, termasuk anak-anak di bawah umur. Tiga faktor itu melahirkan cara berboncengan yang tidak memenuhi standar keselamatan peradaban maju, seperti memboncengkan lebih satu orang, balita, dan berbagai cara "liar-sembarangan-kampungan" yang lain.

Penyebab faktor kendaraan menyangkut soal kapasitas motor. Para "raja rimba" telah memaksakan bebek menjadi macan atau singa sehingga keseimbangan hutan alami rusak parah. Sebagaimana bebek bukan macan atau singa, begitu pula motor bukan mobil atau truk. Inilah salah satu fakta keliaran di negara kita sebagai biang kerok seluruh tragedi jagat lalu lintas darat kita: kemacetan, kecelakaan, tidak sedikit orang Indonesia yang dulu ramah-tamah menjadi ganas, liar, dan lain-lain. 

Padahal, jika bebek dijaga fitrahnya tetap bebek, jumlah tragedi lalu lintas bisa ditekan. Sudah saatnya dibuka wacana motor isi silinder dari 100 sampai 200 cc dengan kecepatan maksimal 40 kilometer per jam, jangan disamakan kapasitas mobil dan truk di atas 1.000 cc yang bisa berkecepatan di atas 100 km per jam. Karena itu, keterpisahan motor dengan mobil dan sejenisnya akan terjadi lebih "alamiah".  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar