Kamis, 30 Mei 2013

Amal Intelektualisme Buya Syafi’i

Amal Intelektualisme Buya Syafi’i
Biyanto ;  Dosen IAIN Sunan Ampel, Penulis disertasi tentang Kaum Muda Muhammadiyah, Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim 
JAWA POS, 29 Mei 2013 



PURNA tugas sebagai ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ahmad Syafi'i Ma'arif banyak mencurahkan perhatian untuk kerja-kerja kemanusiaan melalui lembaga yang didirikannya, Maarif Institute for Culture and Humanity. Mei ini lembaga tersebut berusia satu dasawarsa. 

Saat aktif di Muhammadiyah, guru bangsa yang akrab disapa Buya Syafi'i itu dikenal sangat dekat dengan kaum muda progresif dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Bahkan, kelahiran JIMM juga bermula dari diskusi-diskusi di kantor Maarif Institute. Dengan dukungan tokoh-tokoh seperti Amien Rais, Amin Abdullah, Moeslim Abdurrahman, dan tentu saja Buya Syafi'i, JIMM kian diperhitungkan. 

Beberapa pentolan JIMM, seperti Raja Juli Antoni, Fajar Ziaul Haq, dan Ahmad Fuad Fanani, kini pun menjadi penggerak utama kegiatan Maarif Institute. Tak heran, dalam banyak kesempatan Buya Syafi'i tampil menjadi pembela nomor wahid terhadap berbagai kesalahpahaman pada JIMM. Bagi Buya Syafi'i, kaum muda yang berpikiran progresif dapat menjadi sumber harapan bagi pembaruan (tajdid) pemikiran Muhammadiyah. Melalui Maarif Institute, Buya Syafi'i beberapa kali menyelenggarakan workshop pemikiran Islam yang diikuti kaum muda Muhammadiyah. 

Ikhtiar Buya Syafi'i untuk menebar virus intelektualisme di kalangan kaum muda mulai menunjukkan hasil. Gairah intelektualisme di kalangan kaum muda Muhammadiyah terus menggeliat. Muncul beberapa intelektual muda yang produktif mengeluarkan pemikiran. Misalnya, Abd. Rohim Ghozali, Abd Mu'thi, Zuly Qodir, Sukidi, Ahmad Najib Burhani, Zakiyuddin Baidhawy, dan Pradana Boy. 

Selain mengulas pemikiran keislaman era kontemporer, mereka tak jarang memberikan kritik konstruktif terhadap gejala konservatisme di Muhammadiyah. Meski menimbulkan perdebatan, kemunculan kaum muda tersebut patut disyukuri. Spirit tajdid Muhammadiyah yang dianggap mulai meredup terlahir kembali. 

Memang ada yang menganggap wacana kaum muda progresif telah dihinggapi virus ''sawan kekanak-kanakan'', seperti sok liberal, sok radikal, dan kekiri-kirian. Beberapa tema yang diwacanakan, seperti Islam liberal, Islam proletar, Islam kiri, Islam borjuis, dan pendidikan yang membebaskan model Paulo Freire, dikritik habis. Dalam situasi itu, Buya Syafi'i hadir sekaligus memberikan pembelaan. 

Buya Syafi'i berpesan agar warga Muhammadiyah tidak cepat marah dan menuduh mereka sesat. Menurut Buya Syafi'i, selama mereka masih menjalankan prinsip ajaran agama, misalnya salat dan puasa, mereka tidak perlu dimusuhi. Beliau ingin menjadikan Muhammadiyah sebagai rumah intelektual dan tenda besar persemaian berbagai mazhab pemikiran (school of thoughts). 

Buya Syafi'i patut bersyukur karena Din Syamsuddin sebagai ketua umum pimpinan pusat Muhammadiyah apresiatif terhadap kiprah kaum muda. Din mengakui bahwa sering ada pertanyaan mengenai eksistensi komunitas yang berpandangan liberal di Muhammadiyah. Pertanyaan itu pun dijawab dengan menyatakan bahwa mereka sesungguhnya tidak ''seseram'' tuduhan banyak orang. Sebab, kenyataannya, mereka masih mendirikan salat, berpuasa, dan bahkan dengan sangat lancar mengutip ayat Alquran, hadis, dan kitab-kitab klasik tatkala menyampaikan pandangannya. Karena itu, menurut Din, kalau mereka masih salat, puasa, dan meyakini kebenaran Alquran dan hadis, itu jelas bukan liberal.

Pembelaan Buya Syafi'i terhadap kaum muda yang berpandangan progresif jelas menunjukkan keinginan kuat untuk mendorong agar intelektualisme terus tumbuh dan berkembang. Intelektualisme itu penting untuk mengimbangi kecenderungan praksisme di lingkungan Muhammadiyah yang bisa berimplikasi pada kurangnya wawasan. Padahal, wawasan mutlak diperlukan untuk memberikan kesadaran menyeluruh pada kegiatan amaliah. Wawasan juga diperlukan sebagai sumber energi bagi pengembangan yang dinamis dan kreatif dari keseluruhan kegiatan amaliah. 

Pada konteks itulah, penting ditekankan usaha untuk menyeimbangkan watak praksisme dan intelektualisme Muhammadiyah yang kini memasuki abad kedua. Dengan usia yang matang, Muhammadiyah tidak boleh terlihat renta sehingga menjadikan lamban dalam memberikan respons terhadap berbagai persoalan. 

Akhirnya, diucapkan selamat berulang tahun ke-10 bagi Maarif Institute. Juga diucapkan selamat ulang tahun ke-74 kepada tokoh kelahiran 31 Mei 1939 asal Sumpur Kudus, Sawah Lunto, Sumatera Barat, itu. Semoga virus mulia intelektualisme yang telah ditularkan kepada kaum muda menjadi amal saleh Buya Syafi'i. Bukankah Nabi SAW pernah bersabda bahwa shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang selalu mendoakan orang tuanya adalah amalan yang pahalanya akan terus mengalir? Dan, saya hakulyakin bahwa spirit intelektualisme yang telah diwariskan Buya Syafi'i masuk kategori amal saleh. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar