Jumat, 31 Mei 2013

Antara Benci dan Cinta

Antara Benci dan Cinta
Herry Tjahjono ;  Terapis Budaya Perusahaan dan Motivator Budaya, Jakarta
KOMPAS, 31 Mei 2013


Sebagai rakyat, tentu kita punya hak untuk menonton sekaligus berpendapat— bahkan untuk nyinyir sekalipun— terhadap pemerintah ataupun para pemimpin kita. Sebab, bagi rakyat, begitu menjatuhkan pilihan terhadap kepemimpinan nasional baik itu eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, artinya telah menanamkan investasi yang teramat mahal untuk dipertaruhkan begitu saja.

Secara sederhana, kepemimpinan bergerak di antara dua kutub: dibenci atau dicintai. Jika sebuah kepemimpinan bergerak dari dibenci menuju dicintai, hal itu disebut sebagai kepemimpinan yang terbit (sunrise leadership). Namun, jika yang terjadi adalah sebaliknya, kepemimpinan bergerak dari dicintai menjadi dibenci, itu disebut kepemimpinan yang tenggelam (sunset leadership).

Untuk memotret apakah sebuah kepemimpinan dicintai atau dibenci, parameter yang terpenting adalah apa yang disebut dengan respons kepemimpinan. Respons ini diukur dari jenis respons pengikutnya (follower’s response). Setidaknya ada dua respons pengikut yang layak diangkat dalam konteks kepemimpinan nasional di negeri tercinta ini.

Sikap dan hati

Respons pertama berupa sikap (attitude response ), khususnya sikap respek terhadap kepemimpinan yang ada. Rasa respek pengikut—dalam hal ini rakyat—untuk pemimpin yang dicintai bisa dijelaskan dengan sederhana. Pertama, dilihat dari kritik terhadap kepemimpinan. Kritik terhadap pemimpin yang dicintai akan bersifat membangun, konstruktif. Bahkan, untuk kritik paling keras sekalipun, misalnya dalam bentuk unjuk rasa, tetap bersifat membangun karena dilakukan dengan santun dan normatif. Kritik konstruktif karena ada respek.

Selain kritik konstruktif, sikap respek juga berhubungan dengan perilaku segan (bukan takut) terhadap pemimpin yang dicintai. Dinamika ini lahir dari otoritas ke-(pribadi)-an yang kuat, tegas, adil, bijaksana, dan altruis. Bukan otoritas kursi, jabatan, pangkat, SK, yang sekadar mengandalkan legitimasi formal. Dari kondisi disegani inilah lahir wibawa kepemimpinan yang kuat, yang bahkan tidak memerlukan kehadiran fisik sang pemimpin sekalipun. Jadi, meski sosok pemimpin tidak hadir secara fisik, pengikut atau rakyat tetap hormat dan berlaku sopan.

Respons kedua berupa respons hati (heart response). Respons hati terhadap kepemimpinan ini biasanya muncul dalam bentuk ungkapan, ekspresi perasaan berupa cerita sejarah, dongeng atau sebaliknya; dari cerita parodi sampai cerita guyonan atau lawak soal kepemimpinan yang ada. Untuk pemimpin yang dicintai, respons hati akan mengejawantah dalam bentuk cerita sejarah yang positif tentang para pemimpin yang dicintai itu. Bahkan, sering diwujudkan dalam bentuk dongeng yang dipermanis dan diperindah, lebih manis dan lebih indah dari sejarah itu sendiri.

Indonesia pernah mempunyai pemimpin yang dicintai seperti itu, misalnya Bung Hatta, Jenderal Sudirman, dan beberapa lainnya. Bung Karno sesungguhnya termasuk golongan pemimpin yang sangat dicintai karena ada beberapa catatan khusus seperti adanya ”rekayasa sejarah dan politik” sehingga menjadi ”dibenci”. 

Selain itu, memang ada juga beberapa kelemahan terutama pada akhir masa kepemimpinannya sehingga dia sempat ”dibenci”. Namun, pada dasarnya Bung Karno termasuk pemimpin yang dicintai, terbukti sejarah mulai ”mengoreksi” kisah tentang Bung Karno. Orang masih menyebut dengan hormat meski dia dan para pemimpin lainnya telah wafat.

Respons destruktif

Adapun ke-(pemimpin)-an yang dibenci mempunyai dua respons (sikap respek dan hati) pengikut yang sebaliknya. Pertama, kritik terhadap kepemimpinan yang ada dilakukan tanpa respek, bahkan bersifat merusak, destruktif. Secara psikologis, hal ini wajar karena para pengikut memang ingin merusak kepemimpinan yang ada, menjatuhkannya, merontokkannya. Kritik paling keras dalam bentuk unjuk rasa pun destruktif dan bahkan anarkis.

Pada saat yang sama, tidak ada perilaku segan terhadap para pemimpin nasional yang ada. Baik mereka hadir secara fisik maupun tidak. Para pengikut atau bawahan berani untuk tidak menjalankan arahan dan perintah atasan yang dibenci. Tak jarang kita melihat peserta rapat atau pengarahan—bahkan dalam suatu sidang yang melibatkan para menteri—yang dengan santainya terkantuk-kantuk, bahkan ngorok sekalian. Tidak ada segan karena memang tidak ada wibawa kepemimpinan sama sekali. Karena para pemimpin itu tidak bisa menghargai diri sendiri dan kepemimpinannya, rakyat juga tak menghargai mereka.

Respons hati bukan muncul dalam bentuk sejarah atau dongeng yang indah, positif, dan manis, tetapi memprihatinkan: berupa cerita guyonan atau lawak yang sinisme dan melecehkan. Berikut contoh cerita guyonan atau lawak yang memprihatinkan tersebut.

Terkait dengan DPR, misalnya, di masyarakat beredar guyonan tentang seorang anggota wakil rakyat yang meninggal dan masuk neraka (mungkin karena korupsi dan sama sekali tidak bekerja mewakili rakyat). Ketika sampai di neraka, ia kaget melihat seorang temannya yang meninggal lebih dulu dan berada di surga. Ia bertanya kepada penjaga neraka, kenapa temannya itu ada di surga, padahal kelakuannya sama-sama bejat. Dengan santai penjaga neraka menjawab, ”Oh, itu cuma studi banding aja kok, sebentar lagi juga balik ke sini!”

Masih demikian banyak cerita guyonan yang bersifat sinisme dan melecehkan, baik terhadap polisi, hakim, menteri, bahkan Presiden SBY sekalipun. Pendeknya, hampir setiap hari lahir cerita guyonan yang sinis dan melecehkan terhadap segenap dimensi kepemimpinan nasional, dan bukan cerita sejarah atau dongeng yang indah dan manis.

Melihat respons sikap pengikut dan rakyat yang mengarah pada titik tanpa respek, kritik destruktif, serta cerita guyonan yang getir dan melecehkan, tampaknya kepemimpinan nasional yang ada sekarang memang sedang tenggelam. Semoga era kepemimpinan mendatang bisa menorehkan sejarah kepemimpinan nasional yang indah dan manis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar