Kamis, 30 Mei 2013

Dari “Sekelepek” ke “Pushtun-Pushtun”

Dari “Sekelepek” ke “Pushtun-Pushtun”
Tri Marhaeni PA ;  Guru Besar Antropologi Jurusan Sosiologi & Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes
SUARA MERDEKA, 29 Mei 2013



KALIMAT tersebut masih melekat di benak meskipun sudah lebih dari 40 tahun lalu saya mendengarnya setiap pagi di pasar wage di desa kelahiran saya di Toroh, Grobogan. ”Mantra”  itu didengungkan oleh seorang bakul jamu untuk menarik massa berkerumun mengitari dagangannya.

Sambil ngoceh tak ada hentinya, si bakul jamu juga menarik massa kanak-kanak dengan mainan berupa boneka kera menabuh drumband memakai tenaga baterai, yang bila diputar akan berjalan mengelilingi area permainan. Oleh "tuan"-nya, kera itu dijuluki Selekepek. Bagi saya, itu adalah permainan nan canggih dan meng-gumun-kan. Belakangan saya tahu boneka seperti itu banyak dijual di toko-toko permainan modern di kota-kota, yang bagi saya mustahil bisa memiliki pada waktu itu.

Ocehan bakul jamu dengan kekuatan Selekepek-nya menawarkan pengobatan superampuh. Orang lumpuh, buta, dan segala macam penyakit sembuh dalam sekejap dengan ramuan jamunya. Orang desa dengan berbagai penyakit dan rentang usia, rela mendatangi bakul jamu Selekepek  meskipun harus menempuh jarak berkilometer. Mereka datang dengan susah payah: ada yang ditandu, digendong, bahkan jalan ngesot. 

Kearifan Lokal

Sesekali si bakul jamu mendemonstrasikan keampuhannya. Dengan obat berupa cairan berwarna merah kecokelatan diolesilah kaki seorang laki-laki tua lumpuh sambil dipijit dan mulutnya meracau, kemudian dengan sekali sentakan dan tepukan keras, si pasien "dibimbing" berdiri, beberapa detik kemudian terduduk nglumpruk lagi.

Ia lantas berkicau, kalau cairan itu dioleskan setiap hari, akan sembuh. ”Buktinya, baru sekali saja langsung dapat berdiri,”  ocehnya. Saya dan saudara-saudara saya yang selalu setia menonton Selekepek ikut gumun, namun belakangan setelah dewasa dan sekolah di kota, menjadi geli sendiri mengingat pembodohan-pembodohan publik oleh bakul jamu itu.     
     
Memori saya juga mengilas balik ke masa yang sama. Di samping pembodohan ala Selekepek, ternyata ada pula pengelabuan-pengelabuan logika yang bermakna positif.  Para orang tua meyakinkan sesuatu kepada anak-anaknya yang masih kecil dengan nuansa "kearifan lokal". Misalnya, "Ayo masuk rumah, pintu ditutup, itu tukang culik anak-anak datang" manakala terdengar bunyi rebab bakul arumanis.

Ketika ada bakul dawet lewat, buru-buru orang tua saya menutup pintu sambil berkata, "Itu cendolnya dari mata anak-anak yang dicupliki...". Setelah beranjak dewasa saya tahu maksudnya: agar anaknya tidak jajan, karena arumanis dan dawet itu memakai obat gula dan pewarna, bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan anak-anak. 

Demikian pula ketika menjelang magrib kita mau tidur karena lelah seharian bermain, mereka bilang, "Ana candhik ala nek turu wektu magrib". Ini mengisyaratkan agar anak-anak tidak melewatkan shalat magrib. Masih banyak lagi kearifan lokal atas nama kebaikan yang diajarkan orang tua, walaupun terkadang mengelabuhi akal sehat kita.

 "Taktik" ini -- meskipun dalam konteks yang jauh berbeda -- berhasil menghegemoni kita sampai sekarang lewat pola-pola pengelabuhan logika yang lucu, dan kadang menjengkelkan.

Pengelabuan ala Koruptor

Dalam "komunikasi korupsi" sekarang, akal sehat publik telah terkelabui oleh berbagai simbol kata. Lalu simbol-simbol itu menjadi jargon kuat dalam kehidupan sehari-hari. Begitu kuatnya simbol dalam kata-kata, sehingga cara ini sering digunakan untuk pengelabuan logika. 

Menurut Dillistone (2002), ada kesepakatan umum sebuah simbol berfungsi merangsang daya imajinasi, dengan menggunakan sugesti, asosiasi, dan relasi. Betapa kata-kata simbol begitu kuat menghegemoni pikiran kita. Bahkan Goodenough (1953) beberapa dekade lalu sudah mengatakan, kata-kata yang berupa simbol-simbol memiliki maknanya sendiri, atau nilainya sendiri, dan bersamaan dengan itu simbol mempunyai daya kekuatannya sendiri untuk menggerakkan kita. Bahkan terkadang referensi yang bersifat intelektual semata-mata tidak diterima, tetapi justru daya kekuatan simbol yang bersifat emotiflah yang merangsang orang untuk bertindak. 

Dalam percakapan di lingkaran para koruptor berseliweran simbol untuk menutupi dan menyamarkan fakta. Ingat percakapan antara Artalyta Suryani dan jaksa Urip Tri Gunawan yang menggunakan sandi "Pak Guru"? Lalu Angelina Sondakh memakai "apel washington" untuk menyebut dolar Amerika, dan ìapel malangî untuk uang rupiah. Juga "Ketua Besar" dan "Bos Besar" yang mengasosiasikan pada "seseorang".

Simbol kata itu akhirnya mewarnai percakapan umum, entah untuk meledek atau menyindir. Kini juga terungkap dari percakapan Fathanah yang menyebut "daging busuk" di dalam mobilnya sehingga sopir harus menjaga. "Daging busuk" itu adalah uang yang jumlahnya tidak sedikit. "Sandi" yang lebih menghebohkan adalah "pushtun-pushtun" dan "Jawi syarqiyah", yang ternyata merujuk perempuan-perempuan cantik. "Fathanah, pushtun, dan Jawi syarqiyah" kini menjadi kosakata baru sebagai simbol candaan di antara kita.

"Sandi-sandi" untuk menutupi, menghindarkan penyadapan dan pengintaian hukum itu, tentulah berbeda nilai dari cara "pengelabuan" orang tua kita dalam menyampaikan pesan kemaslahatannya pada masa lalu. Dengan tujuan mengelabui logika, bukankah orang-orang seperti Gayus Tambunan, Nazaruddin, dan Fathanah itu layak disebut sebagai "Selekepek besar"? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar