Selasa, 28 Mei 2013

Ksatria dan Srikandi Century

Ksatria dan Srikandi Century
Bambang Soesatyo ;  Anggota Tim Pengawas 
Penyelesaian Kasus Bank Century DPR RI  
KORAN SINDO, 28 Mei 2013



Sri Mulyani siap mempertanggungjawabkan Rp632 miliar dana talangan Bank Century. Lalu, siapa yang akan mengambil alih tanggung jawab atas sisa dana talangan lebih dari Rp6 triliun? 

Rakyat masih menunggu seorang ksatria yang berani tampil mengungkap kebenaran. Beberapa hari setelah tim penyidik KPK kembali ke Tanah Air pasca pemeriksaan SriMulyanidi Kedutaan Besar RI di Washington DC, Amerika Serikat, komunitas pers di Jakarta mendapat bocoran hasil pemeriksaan atau pengakuan Sri Mulyani selaku mantan menteri keuangan/ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). 

Dia diperiksa terkait dana talangan Rp6,7 triliun untuk Bank Century. Bocoran informasi dari tim KPK tentang hasil pemeriksaan Sri Mulyani tidak baru sebab disebutkan bahwa direktur Bank Dunia itu semasa menjabat ketua KSSK menyetujui dana talangan Rp632 miliar. Tidak baru karena di hadapan rapat Pansus DPR untuk Hak Angket Bank Century awal Januari 2010 dia sudah menegaskan hal yang sama. 

Kepada Pansus DPR waktu itu, dia tegaskan bertanggung jawab penuh atas keputusan penyelamatan Bank Century berdasarkan data awal nilai bailout dari BI sebesar Rp632 miliar. Angka Rp632 miliar ditetapkan BI sebagai acuan menangani Bank Century. Model pertanggungjawaban seperti ini tentu saja aneh. Keanehan ini saja sudah menjadi petunjuk yang sangat jelas bahwa bailout Bank Century sarat masalah sebab keputusan dan pertanggungjawaban KSSK mestinya bulat alias satu suara. 

Bukankah KSSK hanya beranggotakan menteri keuangan sebagai ketua merangkap anggota dan gubernur BI sebagai anggota. KSSK memang bertugas memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pencegahan dan penanganan krisis. Salah satu pekerjaannya mengevaluasi skala dan dimensi masalah likuiditas atau solvabilitas bank dan lembaga keuangan, bukan bank (LKBB) yang ditengarai berdampak sistemik. Tentu saja aneh kalau ketua KSSK hanya mau mempertanggungjawabkan Rp632 miliar dari total dana talangan yang Rp6,7 triliun itu. 

Padahal, bagi siapa pun di republik ini, angka Rp6,7 triliun itu dimaknai sebagai keputusan bulat KSSK. Kalau menjadi keputusan KSSK, berarti keputusan itu kolektif; produk ketua KSSK (menteri keuangan) dan anggota (gubernur BI). Bukan keputusan personal. Mengikuti logika ini saja, KPK seharusnya sudah melakukan pendalaman kasus sejak awal 2010. Penuturan mantan Presiden Jusuf Kalla seputar curahan isi hati Sri Mulyani kepadanya membuat kasus ini makin terang. 

Kepada Kalla, Sri Mulyani mengaku merasa tertipu dengan data yang diberikan BI dalam keputusan bailout Bank Century. Hal ini diceritakan Kalla di forum rapat Pansus Bank Century, 14 Februari 2010. Kalla merinci, Sri Mulyani menemuinya di kediaman resmi wakil presiden pada 30 September 2009. Dalam pertemuan empat mata itulah, ketua KSSK itu mengaku tertipu dengan pembengkakan nilai penyelamatan Bank Century. Awalnya BI merekomendasikan dana talangan yang diperlukan Bank Century hanya Rp632 miliar. Ternyata, nilai bailout membengkak menjadi Rp6,7 triliun. 

Menanti Ksatria 

Dari situasi yang demikian, konstruksi persoalannya sudah sedemikian gamblang. Sudah cukup alasan bagi KPK tahun itu memanggil, memeriksa, atau meminta pertanggungjawaban ketua dan anggota KSSK saat itu. Setidaknya, persoalan pertamanya ketua KSSK secara tidak langsung sudah menyatakan sikapnya menolak mempertanggungjawabkan nilai talangan yang besarnya lebih dari Rp6 triliun itu sebab dia tetap berpegangan pada angka Rp632 miliar. 

Konstruksi permasalahan yang demikian mestinya sudah sangat memudahkan KPK membidik pihak yang paling layak dimintai pertanggungjawabannya atas Rp6 triliun lebih dana talangan Century. Publik yang awam hukum pun akan dengan mudah langsung menunjuk hidung. Siapa lagi kalau bukan gubernur BI saat itu yang juga anggota KSSK? Berkait dengan besaran nilai dana talangan itu, menteri keuangan/ketua KSSK bahkan terang-terangan mengaku kepada wakil presiden bahwa dia telah dibohongi BI. 

Namun, tahun itu KPK belum juga bergerak sekalipun kasus penipuan terhadap seorang pejabat tinggi negara ini bahkan sudah dibeberkan di ruang publik. Katakanlah benar bahwa tidak ada indikasi tindak pidana korupsi dalam penyelamatan Bank Century. Tetapi, bukankah tindak penipuan oknum BI kepada menkeu/ketua KSSK dalam konteks persoalan itu sudah layak untuk ditangani penegak hukum? 

Kalau Sri Mulyani sudah mengaku siap mempertanggungjawabkan dana talangan Rp632 miliar, masyarakat berharap pihak lain yang ikut merumuskan dana talangan menjadi Rp6,7 triliun segera tampil secara ksatria menjelaskan pertanggung jawabannya. Mudah-mudahan KPK jernih menangkap dan memahami aspirasi sebab terus mengambangkan proses hukum skandal ini akan merongrong wibawa semua institusi hukum. 

Sulit untuk menghilangkan skandal ini dari ingatan publik. Lihatlah, ratusan mahasiswa anggota aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa seluruh Indonesia menggelar unjuk rasa di depan Gedung KPK, Selasa (21/5). Mereka mendesak KPK segera menuntaskan megaskandal ini. Mereka juga mendesak KPK memeriksa Wakil Presiden Boediono. Sudah sangat jelas bahwa kasus Century akan menjadi megaskandal tak terlupakan. Sudah barang tentu bakal masuk catatan sejarah bangsa. 

Kinerja semua institusi penegak hukum era terkini akan dicatat dengan tinta emas jika skandal besar ini bisa diselesaikan sebagaimana mestinya, proporsional, dan tanpa rekayasa melindungi sosok-sosok yang mendalangi pencurian besar-besaran atas kekayaan negara ini. Pencurian oleh sekelompok orang dengan modus menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan mereka. 

Namun, pekerjaan untuk menyelesaikan kasus ini menjadi tidak mudah dan butuh waktu panjang. Rakyat Indonesia pun dipaksa terus bersabar. Ada keyakinan di sebagian kalangan bahwa kasus ini akhirnya bisa dituntaskan. Namun, bagi masyarakat kebanyakan, persoalannya bukan sekadar dituntaskan dengan menjadikan mereka yang lemah sebagai korbannya. Bagaimanapun ini pencurian uang negara yang dibungkus dengan paket kebijakan memberi dana talangan untuk menyelamatkan bank bermasalah. 

Sosok- sosok yang mengotaki kebijakan itulah yang seharusnya dihadapkan ke muka hukum. Baru-baru ini upaya Tim Pengawas (Timwas) DPR menggelar rekonstruksi fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century gagal karena ketidakhadiran pimpinan KPK. Kegagalan itu tentu saja sangat mengecewakan. Karena itu, rekonstruksi proses pemberian FPJP oleh Timwas DPR harus ditunda. Pimpinan KPK tidak hadir dengan alasan menjaga objektivitas dan menghindari konflik kepentingan dalam penanganan perkara Bank Century. 

Seperti itulah kompleksitas proses hukum sebuah kasus di negara ini. Alasannya, rapat Timwas DPR itu juga dihadiri sejumlah pihak yang sudah dan yang akan dimintai keterangan oleh KPK. Selain pimpinan dan penyidik KPK yang menangani kasus Bank Century, pihak lain yang diundang dalam rapat itu adalah pejabat BI yang menerima surat kuasa gubernur BI, meliputi Eddy Sulaiman Yusuf (direktur Direktorat Pengelolaan Moneter), Sugeng (kepala Biro Pengembangan dan Pengaturan Pengelolaan Moneter), dan Doddy Budi Waluyo (kepala Biro Operasi Moneter). Mempertemukan mereka dengan jajaran KPK dinilai tidak pada tempatnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar