Selasa, 28 Mei 2013

Menerawang Partai Islam di Pemilu 2014

Menerawang Partai Islam di Pemilu 2014
Abdul Hakim MS ;  Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI)
DETIKNEWS, 27 Mei 2013



Mengacu pada perjalanan biologis partai-partai yang perolehan suaranya lolos parliementary threshold pada Pemilu 2009, kita bisa membelah tipologi partai politik di Indonesia menjadi dua golongan utama. Kelompok pertama adalah kumpulan partai politik yang suaranya terus tumbuh dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Sementara kelompok kedua adalah kumpulan partai politik yang suaranya terus menipis dari waktu ke waktu.

Untuk golongan pertama, hanya ada dua partai politik, yaitu Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai Demokrat, saat pertama kali ikut pemilu pada 2004 langsung dapat merangsek dengan perolehan suara 7,45%. Bahkan pada Pemilu 2009, Partai Demokrat malah menjadi pemenang pemilu dengan perolehan suara sebesar 20,85%. 

Begitu pula dengan PKS. Pada pemilu pertamanya di tahun 1999, kala itu masih bernama Partai Keadilan (PK), mendapatkan suara sebesar 1,36%. Pada pemilu 2004, PK yang sudah berganti nama menjadi PKS memperolehan suara 7,34%. Pada pemilu 2009, meski tak banyak, perolehan suara PKS tetap naik menjadi 7,88%. 

Sementara golongan partai politik kedua adalah Partai Golkar, PDIP, PPP, PAN dan PKB. Keempat parpol ini suaranya terus menurun sejak masa reformasi bergulir. Partai Golkar, pada Pemilu 1999, 2004 dan 2009 perolehan suaranya adalah 22,45%; 21,58% dan 14,45%. PDI-P, 33,75%; 18,53% dan 14,03%. PPP, 10.72%, 8.15% dan 5.32%. PAN, 7,12%; 6,44% dan 6,01%. Terakhir PKB, 12,61%; 10,57%; 4,94%. 

Sejatinya, masih ada dua partai politik lagi yang lolos parliemanetary threshold pada pemilu 2009, yakni Partai Gerindra dan Partai Hanura. Akan tetapi karena Pemilu 2009 merupakan yang pertama kali diikuti, perolehan suara kedua partai ini belum bisa diuji. Ketika itu, Partai Gerindra bisa memperoleh suara sebesar 4,46% sementara Partai hanura menggamit suara sebesar 3,77%.

Titik Balik?

Akan tetapi, di awal tahun 2013, Partai Demokrat dan PKS betul-betul dihatam badai prahara. Jargon anti korupsi yang diusung keduanya pada Pemilu 2009 seolah menjadi ironi. Pucuk pimpinan kedua partai ini malah berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus rasuah yang mengakibatkan rontoknya citra. 

Sebagaimana diketahui bersama, pada Februari 2013 lalu, mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, dinyatakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka terkait kasus korupsi pembangunan fasilitas olah raga di Hambalang. Hal serupa juga menimpa mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, yang sebulan sebelumnya sudah digelandang terlebih dahulu oleh KPK terkait kasus suap kuota impor daging sapi.

Jika merujuk kaca mata survei, kasus yang merundung dua partai ini seperti menjadi titik balik tingkat elektabilitas mereka. Pada Maret 2013, tingkat elektabilitas Partai Demokrat menurut Lingkaran Survei Indonesia (LSI) berada di angka 11,7%. Sementara untuk PKS, tingkat keterpilihannya menukik diangka 3,7%. Itu artinya, gelombang besar kasus korupsi yang melanda dua partai ini telah menggerus suara keduanya hingga 50% dari perolehan suara pada Pemilu 2009.

Nasib Partai Islam

Khusus untuk kasus PKS, kondisi ini tentu makin memperburuk situasi partai politik Islam di Indonesia, baik yang berideologi Islam atau yang berbasis pemilih Islam. Seperti diketahui, dari 12 partai politik peserta Pemilu 2014, ada lima partai Islam yang akan ikut berkompetisi, yakni PKS, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Bulan Bintang (PBB).

Dari kelima partai politik Islam di atas, PKS merupakan penyumbang terbesar perolehan suara partai Islam pada Pemilu 2009 silam. Dengan raihan sebesar 7,88% suara, elektabilitas PKS berada di atas PKB (4,94%), PAN (6,01%), PPP (5,32%), dan PBB (1,79%). 

Seandainya suara PKS betul-betul terpuruk dan limpahan suaranya tak bisa digamit oleh partai sejenis, sudah barang tentu gabungan perolehan suara partai Islam akan semakin tenggelam pada Pemilu 2014 nanti. Tentu hal ini akan kembali menjadi ironi di tengah pemilih Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Memang, sejak era Pemilu 1955, gabungan suara partai Islam selalu kalah melawan gabungan suara partai nasionalis. Pada pemilu 1955, gabungan suara partai Islam sebesar 43,7%, masih kalah dengan gabungan suara partai nasionalis yang sebesar 51,7%. 

Pada pemilu demokratis pertama di era reformasi, gap lebih tajam terjadi antara partai Islam vs partai nasionalis. Partai Islam meraih suara sebesar 36,8% sementara partai nasionalis mendapat suara sebesar 62,3%. Demikian halnya pada Pemilu 2004, partai Islam mendapatkan suara sebesar 38,1% sementara partai nasionalis mendapatkan suara sebesar 59,5%. 

Di Pemilu 2009, gap curam kembali terjadi. Tingkat keterpilihan gabungan partai Islam sebesar 29,16%. Sedangkan gabungan elektabilitas partai nasionalis mencapai 70,84%. Naasnya, Pemilu 2009 seolah menjadi “kuburan” bagi partai yang berideologi Islam. Dari enam partai politik berideologi Islam yang ikut serta dalam pemilu (PKS, PPP, PBB, PKNU, PBR, dan PMB), hanya 2 partai yang lolos aturan Parliamentary Threshold 2,5%, yakni PKS dan PPP. 

Merujuk situasi di atas, semestinya partai politik Islam mulai melakukan evaluasi terhadap kinerjanya. Selama ini, meski membawa nama islam, perilaku politik para elitnya kerap tak menujukkan jiwa islami yang bersih, damai, dan mementingkan kebutuhan umat. Bahkan sebaliknya, tingkah-polahnya kerap “menyakiti” perasaan publik dengan perilaku korup dan arogan.

Prahara yang menimpa PKS seharunya bisa menjadi cermin oleh partai Islam. Kekalapan dan sikap “membabi-buta” dalam membela oknum yang terjerat kasus korupsi di partainya, membuat publik makin jengah. Yang semakin membuat jengkel publik, istilah agama selalu dipakai sebagai tameng untuk melakukan pembelaan. Karena jika hal ini tak membuat partai Islam melek mata, Pemilu 2014 sepertinya akan menjadi “liang lahat” partai-partai Islam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar