Jumat, 31 Mei 2013

Metanol, Solusi Atasi Subsidi BBM

Metanol, Solusi Atasi Subsidi BBM
Bambang SP ;  Mantan Dosen Jurusan Teknik Fisika ITB, Mantan Rektor
Universitas Kristen Maranatha Bandung (periode 2000-2004 dan 2004-2008)
SINAR HARAPAN, 30 Mei 2013 


Akhir-akhir ini negara kita disibukkan dengan berbagai analisis tentang masalah subsidi bahan bakar minyak (BBM). Berulang kali masalah BBM dan energi yang terkait dengan BBM ini telah menjadi topik yang menarik untuk dianalisis dan diperdebatkan.

BBM yang berasal dari energi fosil memerlukan waktu jutaan tahun dalam proses pembentukannya. Sebagai contoh, dari saat proses fotosintesis oleh pohon di hutan yang menangkap energi matahari dan menyerap CO2 serta mengubahnya menjadi senyawa hidrokarbon, untuk akhirnya dipanen sebagai batu bara, memerlukan waktu yang dikenal sebagai skala waktu geologi.

Saat ini dikenal pula sumber energi terbarukan seperti etanol, di mana dengan sengaja jagung, singkong atau tanaman lainnya, hasilnya diproses untuk digunakan sebagai BBM alternatif.

George A Olah, penerima hadiah Nobel di bidang kimia, pada 2006 menulis buku Methanol Economy yang menjelaskan ekonomi masa depan, di mana metanol digunakan sebagai pengganti bahan bakar fosil.
Dijelaskan bahwa dengan teknologi masa kini, dari CO2, telah dapat secara langsung dihasilkan metanol yang dapat digunakan sebagai “energy-carrier” (pembawa energi) untuk kebutuhan energi.

Ini berarti penyediaan energi konvensional yang mengandalkan energi fosil, yang memerlukan skala waktu jutaan tahun dalam pembentukannya, kini telah dapat diperpendek menjadi skala waktu harian. Karena bahan dasar metanol ini adalah CO2, hal ini juga sekaligus merupakan solusi untuk menurunkan polusi CO2 di atmosfer.

Kembali ke permasalahan BBM yang berdampak pada masalah subsidi, yang mengakibatkan pembebanan pada anggaran negara yang tidak sewajarnya, maka hal ini mengakibatkan pencarian pada sumber-sumber energi baru yang dapat dimanfaatkan sebagai BBM alternatif.

Pertanyaan yang umumnya muncul adalah: “Apakah ada sumber energi alternatif sebagai solusi pengganti BBM, sehingga subsidi untuk BBM kita dapat dikurangi?”

Jawaban umum yang muncul adalah: “Ada, yaitu dengan melakukan diversifikasi energi.”
Pertanyaan berikutnya adalah: "Sumber energi apa saja?"
Jawabannya antara lain:

1. Pemanfaatan energi terbarukan seperti energi bio di mana etanol sebagai salah satu diversifikasi energi yang patut dipertimbangkan. Sayangnya, etanol harganya lebih mahal daripada BBM konvensional. Timbullah pemikiran bahwa sudahlah saatnya subsidi untuk BBM dialihkan untuk subsidi etanol. Subsidi tetaplah ada, namun terjadilah diversifikasi energi. Demikianlah argumen yang dapat dipakai untuk justifikasi penggunaan etanol sebagai BBM alternatif. Sementara itu, ada yang mempermasalahkan bahwa di saat masih ada bencana kelaparan di berbagai negara, apakah pantas untuk memanfaatkan lahan yang seharusnya digunakan untuk keperluan pangan, digunakan untuk keperluan energi bagi orang-orang kota?

2. Pemanfaatan geotermal. Energi yang dihasilkan oleh panas bumi ini selanjutnya dikonversikan ke dalam bentuk energi listrik. Bagaimana caranya sumber energi ini dikaitkan dengan usaha untuk mengurangi pemakaian BBM? Solusinya adalah dengan mengembangkan mobil listrik. Dengan penggunaan mobil listrik ini maka akan terjadi pengurangan penggunaan BBM, yang berarti juga pengurangan subsidi.

3. Pemanfaatan gas alam. Dengan menggunakan converter kit, kendaraan bermotor dapat dialihkan untuk menggunakan Compressed Natural Gas (CNG) sebagai BBM alternatif. Tampaknya ini merupakan solusi terdekat dari diversifikasi energi. Hanya saja penggunaan CNG sebagai BBM alternatif masih menyisakan pekerjaan rumah yang tidak mudah untuk diselesaikan dengan segera dan juga tidak murah. Penyaluran CNG dari sumber gas alam kepada pengguna membutuhkan infrastruktur pipa penyaluran dan juga pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) yang tidak sedikit jumlahnya.

Ada suatu ungkapan yang mengatakan: "Sebenarnya alam telah menyediakan kepada kita jawaban yang benar terhadap masalah-masalah yang kita hadapi, sekarang tergantung kepada kita, apakah kita sudah mempertanyakannya kepada alam dengan benar?"

Berkaitan dengan hal tersebut, tampaknya yang terjadi adalah seperti ungkapan berikut: "Kita sering terjebak pada situasi untuk mencari jawaban yang benar dari suatu pertanyaan yang salah." Oleh karena itu, apakah pertanyaan tadi yang mempertanyakan adakah sumber energi lain sebagai pengganti BBM, adalah pertanyaan yang tepat atau benar?

Seandainya saja pertanyaan yang diajukan adalah: "Adakah energy-carrier sebagai pengganti BBM, yang dapat membawa energi yang berasal dari berbagai jenis sumber energi kepada penggunanya?"
Jawabnya adalah: "Ada, yaitu metanol."
  • Berbagai sumber energi seperti gas alam, batu bara, biomassa, sampah, kotoran hewan, limbah pabrik kertas, dapat ditransformasikan menjadi energy-carrier dalam bentuk metanol sehingga dapat digunakan sebagai BBM alternatif.
  • Bahkan, di Reykjavik Islandia, CRI (Carbon Recycling International) telah memproduksi metanol dengan bahan baku CO2 serta memanfaatkan listrik yang berasal dari geotermal. Ini juga berarti untuk mengurangi pemakaian BBM pada kendaraan bermotor, geotermal tidaklah harus dikorelasikan dengan mobil listrik.
  • Di samping itu, jika etanol berharga lebih mahal daripada BBM, sebaliknya harga metanol lebih murah dari BBM.
  • Selain itu, seperti juga etanol maka metanol adalah bahan bakar yang tidak polutif atau bersih lingkungan.
  • Karena bentuk fisiknya yang berupa cairan, untuk masalah distribusi dan penyalurannya, dengan melakukan modifikasi yang terbatas, dimungkinkan untuk memanfaatkan infrastruktur dan sistem distribusi BBM yang tersedia saat ini.

Kembali seperti yang disebutkan di awal tentang maraknya debat dan analisis sekitar masalah BBM, saya teringat akan ungkapan Edward de Bono yang mengatakan, “You can analyze the past, but you have to design the future.” Mudah-mudahan, dengan mengikuti rancangan dari George A Olah yaitu “Methanol Economy”, analisis dan debat seputar BBM bermuara pada solusi yang optimal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar