Kamis, 30 Mei 2013

Nasionalisme di Lorong Busway

Nasionalisme di Lorong Busway
Razas Ms ;  Pegawai BUMN, Peserta program Global Talent Program
DETIKNEWS, 29 Mei 2013 



Seorang anak bule bermain dengan riang. Dia berlari-lari sambil sesekali memeluk ayah dan ibunya. Wajahnya sumringah, putih memerah. Dia terlihat sangat percaya diri.

Di antara kerumunan orang-orang yang pasti belum dikenalnya, di negri asing yang berjarak ribuan kilometer dari rumahnya, dia terlihat in home, enjoy dan menikmati.

Kedua orang tuanya asik berbincang dengan dua orang bule dewasa yang lain sambil sesekali melihat ke ujung jalan.

Sudah hampir setengah jam bus Trans Jakarta belum juga terlihat. Koridor ini sudah sangat pengap dan penuh sesak orang-orang yang berdiri menunggu. Sumpah serapah sesekali terdengar, bau keringat menyeruak.

Aku sendiri lebih memilih tempat yang agak jauh, berjongkok dan membuka gadget kesayanganku sambil menulis apa yang terlintas.

Ya, memang masalah terbesar dari bangsa kita dibanding bangsa-bangsa lain yang sudah maju di luar sana adalah kepercayaan diri. Kita sudah terlalu lama menganggap bahwa kita adalah bangsa yang kecil, inferior.

Kita sudah terlalu lama tersandera dengan persepsi kita sendiri bahwa bangsa asing di luar sana adalah makhluk-makhluk hebat.

Eksesnya adalah kita bisa begitu garang di dalam tetapi tidak punya taji sama sekali di luar. Sehingga kita memilih untuk tidak melibatkan diri atau menolak terlibat dalam kerja-kerja skala global dan internasional.

Hubungan kita dengan dunia luar umumnya adalah hubungan yang tidak menjadikan kita punya bargaining. Hutang dengan IMF, hutang dengan world bank, mengajak pihak luar berinvestasi ke dalam negri, dan sebagainya.

Bahkan banyaknya putra/i indonesia yang mendapatkan bea siswa ke luar negri pun seakan hanya menjadi penegasan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang terus menjadi objek pemberian.

Dan kita bangga dengan itu. Bangga dengan pinjaman IMF seolah-olah kepercayaan asing lebih berharga dari pinjaman itu sendiri.

Bangga ketika putra/i terbaik kita lulus beasiswa, seolah-olah kepintaran itu apabila mendapat pengakuan dari mereka.

Kita adalah negara yang mampu mengurus proses pemilu/pilkada dengan jumlah pemilih terbesar dan beragam tanpa ada ekses konflik horizontal. Penduduk kita sekitar dua ratus juta.

Seharusnya negara-negara lain wajib belajar demokrasi ke indonesia. Seharusnya! Tetapi kita belum mampu membuka sekolah dan kampus jurusan demokrasi bagi pelajar-pelajar dari luar negri. Dan lagi-lagi persoalannya adalah kepercayaan diri dan persepsi.

Sejak tahun 2012, BUMN tempat aku bekerja melakukan gebrakan ekspansi internasional ke berbagai negara dengan program yang bertajuk GTP (Global Talent Program).

Malaysia, Singapore, Aussie, Timur Tengah, Afrika Utara, Korea, Cina, dan lain-lain. Ide ini sebetulnya bukan hal yang baru. Dari dulu juga perusahan sudah punya rencana ini. Tetapi baru kini terealisasi dengan serius dan menjadi priority.

Menurut cerita salah seorang teman, ide ini kembali mencuat dan digarap lebih serius berawal dari hal yang sederhana.

Yaitu melihat begitu banyaknya ekspatriat cina menyebar ke negara-negara lain dengan bahasa inggris yang sangat pas-pasan.

Memang aku juga merasakan pengalaman itu ketika bermitra dengan vendor-vendor hardware dari cina. Enginer bermata sipit itu ternyata tidak menguasai bahasa inggris dengan baik.

Lalu apa hubungannya dengan GTP? CEO melihat ini adalah pelajaran yang sangat penting! Mereka tidak menguasai bahasa inggris dengan baik namun punya rasa percaya diri yang tinggi untuk berbisnis secara global.

Ternyata bertahun-tahun persepsi ini-lah yang menjadi barrier. Persepsi bahwa kita harus bisa berbahasa inggris dengan betul-betul fasih baru kemudian bisa bersaing di tingkat global.

Persepsi yang kemudian menghalangi kita untuk berimajinasi go internasional. Kita sudah pesimis manakala nilai TOEFL atau IELTS rendah padahal di luar itu skill kita sangat mumpuni.

Dan dibalik persepsi itu yang kemudian ditemukan adalah self confidence yang sangat rendah.

Maka kemudian CEO mengambil langkah strategis, tahun 2013 menargetkan 1000 orang akan dikirim ke berbagai negara untuk memulai penjajakan ekspansi bisnis. BUMN Indonesia harus sudah bermain di arena internasional. Sebagaiman selalu ditekankan oleh Meneg BUMN, Dahlan Iskan.

Tentu menjadi pemain di pasar internasional bukanlah pekerjaan mudah dan sebentar. Tidak cukup dalam setahun meski dikirim 1000 atau 2000 orang sekalipun.

Tetapi 1000 orang ini menjadi garda terdepan putra-putri bangsa yang punya persepsi baru dan self confidence yang tinggi.

Aku sendiri mendapat tugas ke Kingdom of Saudi Arabia (KSA). Dan disinilah aku memahami bahwa Indonesia adalah negara yang besar.

Dan sudah saatnya kita tidak lagi melihat kecil diri kita sendiri. Kita bisa dan punya kemampuan untuk bersaing, Insya Allah.

Yang kita butuhkan hanya merubah persepsi, berusaha untuk mendapatkan kepercayaan diri dan kita akan menyadari bahwa kerja dalam skala global dan internasional itu berada dalam jangkauan tangan dan langkah kaki kita.

Bahwa kendala-kendala seperti kompetensi, bahasa, skill dan lain-lain bukanlah realitas yg benar-benar terjadi. Itu semua hadir dalam pikiran kita karena kita yang tidak mau merubah atau membuangnya.

Semua kendala itu adalah hal yang bisa dipelajari. Tinggal kita yang mesti menentukan, apakah kita akan menjadi pembelajar-pembelajar cepat atau kita adalah narapidana abadi bagi penjara-penjara pikiran kita selama ini.

Dan di lorong ini nasionalisme itu hadir. Di koridor Trans Jakarta ini, di hadapan putri bule kecil yang riang berlari, aku ajak negriku dan Indonesiaku, mari kita ubah persepsi.

Bahwa kita adalah bangsa yang BESAR, Insya Allah. Yang mampu mewarnai dan menjadi motor penggerak perubahan dunia global.

Dan dalam beberapa tahun ke depan, putra/i kecil kita yang sedang berlari dengan riang gembira, dengan penuh percaya diri, di negri yang jauh dari tempat kelahiran ibu bapaknya, di lorong koridor bus atau kereta api di London, Singapore ataupun Paris, akan menjadi pemandangan yang biasa di sana.

Sebagaimana sekarang kita menyaksikan itu di negri ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar