Jumat, 31 Mei 2013

Pancasila di Tengah Pragmatisme Politik

Pancasila di Tengah Pragmatisme Politik
Jainuri;  Dosen dan Kepala Biro Kemahasiswaan Univ. Muhammadiyah Malang
SUAR OKEZONE, 30 Mei 2013



Indonesia telah mencapai umur 68 tahun, artinya pemerintah dan masyarakat Indonesia  telah melalui proses panjang dalam berbangsa dan bernegara.

 Dengan proses panjang tersebut diharapkan pemerintah dan masyarakat telah memahami hakikat dan menjiwai pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Harapan tersebut tindak kunjung tampak dalam kehidupan nyata, justru sebaliknya pemerintah dan masyarakat semakin mengabaikan dan bahkan lupan dengan pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara.

Bentuk nyata hilangnya pancasila sebagai landasan bangsa dan negara adalah mencuaknya berbagai probalematika bangsa seperti menguatnya gerakan separatisme, menguatnya intoleransi antara umat beragama, tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, dan rendahnya indeks pembangunan manusia. Pancasila telah dilupankan, diabaikan, dan tidak lagi dianggap sebagai falsafah bangsa. Padahal lahirnya pancasila melalui kerja keras founding father. Lima sila yang ada di dalamnya diletakkan dengan penuh kehati-hatian agar searah dengan corak kehidupan bangsa serta dapat menjamin kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan bangsa Indonesia seutuhnya.

Masyarakat tidak boleh lupa dengan sejarah. Lupa akan sejarah adalah bentuk dari penghianatan terhadap pejuang-pejuang bangsa yang susah payah membentuk dan mempersatukan masyarakat dalam satu bangsa. Tanggal 01 Juni adalah momentum bagi seluruh elemen bangsa untuk memikirkan dan mengingat kembali sejarah-sejarah bangsa termasuk sejarah lahirnya pancasila sebagai ideologi dan sumber dari segala sumber hukum. Pancasilan adalah ideologi bangsa yang dilahirkan melalui proses perdebatan intelektual, kritis, rasional, dan ilmiah antara tokoh-tokoh penting (founding father) bangsa terutama Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno.

Founding father bangsa mencurahkan segala fikiran dan tenaga untuk merumuskan ideologi bangsa dengan tepat yang dapat mempersatukan pulau-pulau nusantara, bahasa, budaya, dan suku yang berbeda-beda untuk berada dalam satu organisasi negara bangsa. Tanggal 1 Juni 1945, gagasan dan ide founding father berhasil dirumuskan dan disatupadukan yang kemudian dikenal pancasila sebagai dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum. Karena itu, tanggal 1 Juni dikenal sebagai hari lahirnya pancasila.

Memikirkan dan mengingat akan Pancasila bukan bermakna bagaimana elemen bangsa memahami lahirnya pancasila namun memiliki makna yang jauh dari itu yaitu bagimana implementasi pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini. Apakah semua elemen bangsa telah menjiwainya atau justru sebaliknya. Ajaran pancasila memiliki makna yang sangat agung dan terhormat karena didalamya terdapat nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan kebangsaan.

Pancasila mengajarkan segenap warga negara untuk bertuhan, bermoral, berakhlak mulia, dan berbudi pekerti. Manusia harus membangun hubungan yang saling memanusiakan, memuliakan, menghormati antara satu dengan yang lain, mengedepankan kebersamaan untuk kebaikan, persaudaraan, dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.

Didalam pancasila tidak terdapat celah untuk tidak kebaikan. Namun seperti yang dijelaskan diawal tulisan ini, pancasila telah dilupakan, diabaikan, dan bahkan dianggap sebagai ideologi yang tidak lagi tepat sebagai pedoman bangsa dan negara. Jejak pendapat Kompas tahun 2008, 2011, dan tahun 2012 menunjukkan pancasila tidak lagi dipercaya sebagai ideologi bangsa dan negara.

Ada banyak faktor yang membuat masyarakat lupa akan pancasila salah satunya adalah  tidak adanya pemimpin politik dan pemerintahan sebagai panutan dan teladan yang benar-benar menjiwai pancasila. Di awal-awal kemerdekaan, Indonesia masih memimliki kepemimpinan politik  yang menjiwai pancasila namun di era sekarang ini sulit menjumpai kepemimpinan politik pancasilais. Banyak elit politik yang terjebak dalam politik pragmatis.

Elit politik lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok daripada kepentingan bangsa. Pancasila hanya dijadikan lipstik service, retorika politik dan dijadikan sebagai legitimasi formal kebijakan pragmatis. Prilaku buruk elit politik ditunjukkan melalui politik amoral seperti korupsi dan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan bangsa yang lebih besar.

Dampak pragmatisme politik adalah terbentuknya struktur birokrasi pemerintah yang tidak mengedepankan kemanusiaan yang adil dan beradab. Fungsi birokrasi sebagai mesin untuk merealisasikan tugas dan fungsi negara tidak dapat dijalankan dengan baik terutama fungsi pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Sejatinya birokrasi menjadikan pancasila sebagai pedoman namun lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan elit yang memperhatikan dan memposisikan birokrasi dalam struktur pemerintahan.

Birokrasi bukan melayani masyarakat namun melayani elit dan dirinya sendiri. Stigma yang tertanam kuat adalah “birokrasi bukan melayanani namun dilayani” dan “birokrasi ABS (asal bapak senang). Ini-lah bentuk dari wajah birokrasi elitis.

Kepemimpinan politik pragmatis dan birokrasi elitis memicu lahirnya segudang problematika bangsa sehingga masyarakat tidak percaya dengan adanya negara termasuk pancasila sebagai falsafah dan ideologi pedoman bangsa. Masyarakat sangat mudah melakukan tindakan yang bertentangan dengan pancasila seperti gerakan seperatisme, intoleransi, memberlakukan hukum rimba, dan melakukan tindakan kriminal.

Buktinyata yang dapat kita lihat akhir-akhir ini adalah minimnya partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum. Rata-rata pelaksanaan pemilu, pileg, dan pemilukada dimenangkan oleh golput. Hal ini secara langsung menunjukkan ketidak pedualian masyarakat terhadap negara dikarenakan kekecewaannya terhadap kinerja elit politik dan pemerintah yang tidak menjiwai pancasila dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Fenomena elit politik dan pemerintah serta masyarakat yang mengabaikan pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara dipandang sebagai persoalan serius dan membahayakan eksistensi dan masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apabila persoalan ini terus dibiarkan tidak menutup kemungkinan, NKRI bubar ditelan zaman karena prilaku anak kandungnya sendiri yaitu elit politik, pemerintah, birokrasi, penegak hukum, dan masyarakat.

Karena itu, diupayakan strategi dan langkah nyata semua stakeholder bangsa untuk mengatasi persoalan tersebut. Stakholder yang paling bertanggungjawab adalah pemerintah. Pemerintah harus melakukan upaya-upaya nyata untuk mengembalikan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap negara termasuk pancasila. Upaya yang harus dikedepankan adalah menumbuhkan good dan political will semua stakeholder terutama elit politik dan birokrasi untuk membuat kebijakan-kebijakan populis yang berasaskan pancasila dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat seutuhnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar