Selasa, 28 Mei 2013

SBY, DPR, MK, dan Biaya Politik

SBY, DPR, MK, dan Biaya Politik
Effendi Gazali ;  Peneliti Komunikasi Politik
KOMPAS, 28 Mei 2013


Berapa biaya politik untuk menjadi calon legislator? Jawaban umum: antara Rp 1 miliar dan Rp 1,5 miliar. Banyak yang menyebutkan di atas batas atas itu. Hanya beberapa yang bilang ratusan juta rupiah.
Bagaimana dengan biaya poli- tik pilkada? Di Jawa Timur, menurut Menteri Dalam Negeri, dana total seluruh kandidat mencapai Rp 1 triliun. Biaya politik pilpres? Pasti tak ada yang percaya pada angka laporan tim sukses. Jika untuk satu provinsi habis Rp 1 triliun, berapa jumlah untuk 33 provinsi?

Tragis

Dengan ancar-ancar itu, calon pejabat publik umumnya akan berutang kepada sejumlah cukong. Lanjutannya, politik balas budi. Bisa berbentuk kemudahan izin, pemenangan tender, sampai pembiaran pelanggaran terjadi. Pun uang dari kantong sendiri, tetap ada usaha balik modal.

Secara paralel, parpol pun terpaksa menjalankan modus yang mirip, baik untuk biaya operasi- onal harian, kongres, ataupun strategi pemenangan di aneka tingkat. Selama ini modus utama- nya adalah permainan terpadu di Badan Anggaran DPR, fungsi anggaran DPRD, kementerian, dan lembaga: diberi dalam rangka koalisi kabinet mutualistis. Bisa saja pengusaha menggelontorkan dana pada beberapa kongres dan kegiatan parpol. Lazimnya mereka datang dengan pamrih kedekatan kekuasaan.

Walau tak seluruh parpol persis begitu, kisah tragis terdengar berputar-putar di lingkaran setan biaya politik ini. Sebutlah kisah kuota daging sapi, energi cahaya, kompleks olahraga, anggaran daerah tertinggal, laboratorium/ perpustakaan, kitab suci, sampai tanah makam. Yang dikambinghitamkan oknum atau makelar.

Sementara parpol menolak terlibat secara institusional (bisa dituntut dibubarkan), semua pihak berteriak soal biaya politik. Anggota DPR, peneliti, wartawan, hakim konstitusi, menteri, sampai Presiden SBY ikut berteriak. Di lapangan belum terli- hat langkah sistematis menyederhanakan biaya politik! Padahal, aksilah yang dibutuhkan, bukan sekadar berteriak. Ini sejalan dengan gagasan Saldi Isra dalam Diskusi Lingkar Muda Indonesia, Rabu (15/5), ”Kepemimpinan yang Berkeutamaan”: kita perlu pendekatan baru memperbaiki partai dan sistem politik.

Salah satu gagasan penulis: mendorong SBY membuat suatu potensi warisan kepemimpinannya. Kita tahu Menkominfo di bawah SBY sudah mengiklankan: ”Ayo kita sambut era TV Digital!” di mana-mana. Memang tak terlalu jelas siapa ”kita” yang diajak terlibat. Apakah lagi-lagi para pemodal untuk saling bertender demi sekadar industri hiburan?

Di banyak negara maju setiap sistem televisi diwajibkan membuka tiga saluran: P (Pemerintahan), M (Masyarakat), E (Edukasi). Jika disesuaikan dengan kebutuhan kita terkait penyederhanaan biaya politik, tiga saluran ini layak didahulukan. Berbagai infrastruktur digitalnya dipermudah. Rakyat pun bisa membuat kotak penerima dengan aneka teknologi dan pemasok.

Saluran P di setiap provinsi enam bulan sebelum pemilu dibagi rata jam tayangnya untuk 12 parpol dan calon perseorangan DPD. Setiap parpol bisa mengiklankan calon legislator, capres potensial, dan program unggulan. Diasumsikan biaya dapat dipangkas di atas 50 persen beban biaya politik.

Sebagai pengimbang, saluran M dibuka seluas-luasnya untuk akademisi, LSM, KPU, KPI, Dewan Pers, dan lain-lain guna deli- berasi gagasan baru beserta pendidikan pemilih. Misalnya, di saluran inilah terobosan konvensi parpol bisa didiskusikan, didukung, dan ditumbuhkan kepercayaan publiknya. Begitu pula aneka advokasi soal rekam jejak caleg dan pengusulan capres alternatif. Termasuk juga soal konstitusi dan opini publik yang riil.

Terobosan DPR dan MK

Kabar lumayan baik yang relevan datang dari DPR. Komisi/Panja yang menangani revisi UU terkait pilkada sedang serius menuju pilkada serentak. Tinggal formulanya yang masih bisa dipertajam. Ada 279 kabupaten/ kota yang kepala daerahnya selesai tahun 2014; ini bisa melaksanakan pilkada serentak 2015. Adapun 244 kepala daerah yang selesai 2016 berpilkada serentak di 2018. Jadi, bisa diangkat penjabat 1-2 tahun.

Formula alternatif: menggunakan periode 2,5 tahun atau se- tengah masa pemilu. Jadi, pada 2016 akhir akan terjadi pilkada serentak pertama (satu atau dua kotak). Lalu, pilkada 2019 bersamaan dengan pemilu serentak DPR/DPRD, DPD, dan presiden (tujuh kotak). Pemilu serentak DPR/DPRD, DPD, dan presiden seharusnya sudah bisa dilakukan pada 2014. Banyak pihak di DPR menyetujuinya. Hanya segelintir elite yang menekan proses ini demi mempertahankan, bahkan memperbesar, ambang pencapresan. Di sini dibutuhkan terobosan MK!

Seluruh risalah perubahan UUD di bidang pemilu dengan terang menyebutkan ”pemilu serentak”, bahkan spesifik ”pemilu lima kotak”. Pelaku sejarah peru- bahan UUD harus mengakui yang sedang terjadi saat ini (pemilu DPR/D dan DPD mendahului pilpres) berlawanan dengan kehendak asli UUD.

Tambahan lagi, menjelang pe- rubahan UUD dulu, seluruh fraksi menyepakati harus memperkuat pemerintahan presidensial. Karena itu, pilpres harus menjadi pemilu mayor dan pemilu lainnya adalah minor.
Asumsi UU No 42/2008 tentang pilpres, pemerintahan presidensial yang stabil membutuhkan dukungan kuat di DPR telah gugur secara empiris dan teoretis/legalistis. Pemerintahan saat ini amat kuat dengan sekitar 75 persen dukungan Setgab di DPR. Namun, SBY sering mengeluh soal perilaku menterinya dan Setgab sering bercerai saat mengambil putusan substansial di DPR.

Teoretis legalistis, koalisi dalam pemerintahan presidensial dapat dengan mudah dibangun sebelum atau sesudah pemilu DPR dan presiden serentak! Untuk memprediksi aneka realita koalisi parpol sebelum pemilu serentak, telah tersedia peranti survei ilmiah yang akurat.

Yang tak bisa disediakan pemilu DPR dan presiden serentak adalah politik transaksional. Karena setiap parpol peserta pemilu bisa mengajukan tokoh baik untuk jadi capres, maka punahlah harapan parpol yang berniat menjual sekian persen suara legislatifnya untuk memenuhi ambang pencapresan. Sekaligus hancur pula harapan mereka menyandera presiden terpilih dengan meminta-minta menteri: biasanya diisi elite partai yang belum ketahuan kebolehannya.

Terdapat usul menggunakan dana negara dalam mendukung biaya politik. Beberapa negara melakukannya dengan versi tertentu. Untuk Indonesia, secara terukur kita perlu mencobanya. Tak perlu minta tambahan dari APBN. Dalam perhitungan awal beberapa peneliti dengan Komisaris KPU Ferry Kurnia: jika pemilu DPR/DPRD, DPD, presiden dilaksanakan serentak, kita bisa hemat Rp 8 triliun-Rp 10 triliun. Jika pilkada diserentakkan, bisa menghemat Rp 20 triliun.

Beberapa kolega menggagas dukungan negara untuk biaya politik seluruh partai dapat dicoba pada angka Rp 5 triliun. Jadi, tanpa mengganggu APBN, parpol didukung berkonsentrasi untuk bersih dan transparan. Tentu masih ada biaya politik lain yang dapat diperoleh dari iuran dan simpatisan dalam jumlah terbatas. Ini saat memperbaiki. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar