Kamis, 30 Mei 2013

Sikap NU Menjawab Kekinian

Sikap NU Menjawab Kekinian
Halim Mahfudz ;  Ketua Yayasan Pesantren Seblak, Jombang
JAWA POS, 29 Mei 2013 



KIAI Hasyim Asy'ari bersikap tegas menolak intimidasi Jepang, termasuk menolak melakukan seikeirie, penghormatan kepada matahari terbit, dalam film Sang Kiai. Sikap itu membuat Jepang mengambil tindakan kasar sampai menahan Sang Kiai. Tetapi, penahanan tersebut justru membangkitkan dukungan yang meluas. Kekeliruan itu menjadi pelajaran mahal bagi penjajah. Mereka pun mengubah pendekatan penjajahan dengan lebih akomodatif dengan merangkul orang-orang Islam dalam Shumubu dan Masjumi. Namun, toh tidak ada jaminan berhasil.

Apa yang diceritakan dalam film Sang Kiai adalah soal sikap dan menentukan sikap. Berbicara tentang sikap, ternyata sikap NU sering sangat erat terkait dengan akidah, pertimbangan sangat matang, dan ajaran praktis yang diyakini seperti dalam penolakan melakukan seikeirie. Di sinilah sebenarnya keteladanan NU dalam menentukan sikap melawan tekanan politis dan bujukan melalui pendekatan lain serta negosiasi. Di sinilah juga seharusnya terjadi pembelajaran tentang menentukan sikap oleh NU dalam kenegaraan saat ini.

Puncak menentukan sikap bagi Kiai Hasyim adalah pada diserukannya ''Resolusi Jihad''. Resolusi itu menyerukan bahwa berperang melawan penjajah hukumnya fardlu 'ain, wajib bagi setiap orang Islam! Sungguh peran sebuah seruan yang sangat menentukan dalam heroisme 10 November.

Pesantren Bumi Salawat di Tulangan, Sidoarjo, lokasi Konferwil NU Jatim, 31 Mei-2 Juni, bakal semarak dengan peci hitam dan semangat perubahan. Ketika NU sedang memperoleh inspirasi oleh film perjuangan Sang Kiai yang bercerita tentang keteguhan sikap dan kepedulian terhadap nasib bangsa, nahdliyin tetap bersemangat berkumpul di pesantren itu untuk membahas dan menentukan masa depan organisasi keagamaan terbesar ini.

Konferwil tersebut sangat tepat waktu dan lokasi. Tepat waktu ketika bangsa membutuhkan sebuah sikap. Tepat lokasi karena diadakan di Jawa Timur, ibarat ''rumah'' dan diadakan di pesantren sebagai basis NU. Tidak perlu lagi ada penundaan untuk menentukan masa depan organisasi. Ini adalah sebuah momentum.

Pada zaman ini, sungguh sulit menemukan keteguhan dan ketegasan sikap seperti yang dulu dimiliki Kiai Hasyim. Tetapi, ini tidak berarti NU boleh mandek dan tidak bersikap. NU masih menjadi organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Dan jutaan warga menunggu ''sikap'' yang akan membimbing dan mengarahkan warganya. Bahkan, NU bisa memberikan inspirasi seperti pada zaman Kiai Hasyim. Tetapi, setiap zaman ada orangnya dan setiap orang ada zamannya. Ini bukan zaman Kiai Hasyim. Ini adalah zaman kita, zaman reformasi, zaman informasi. 

Warga, bahkan juga bangsa ini, menunggu sikap untuk beberapa masalah kunci seperti sikap toleransi beragama NU, sikap menyantuni warga secara amaliyah dan ubudiyah, serta sikap ketika bangsa ini sedang menyongsong perubahan menuju baldatun toyyibatun wa robbun ghofur, negeri makmur gemah ripah loh jinawi yang melindungi seluruh warga secara hukum, sosial, keagamaan, dan politik. 

Berbagai peristiwa kekerasan antaragama seakan menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan berbangsa kita, termasuk NU. Sesungguhnya, mereka yang terlibat dalam kekerasan antaragama atau intragama ini tidak banyak. Tetapi, pemberitaan media telah meningkatkan citra kekerasan itu sebagai peristiwa yang sering terjadi, melibatkan kelompok berbeda-beda, tersebar di berbagai daerah, dan ada keberlanjutan.

Selain itu, ketika korupsi merajalela dan tidak mampu dibendung oleh aturan dan penindakan, adakah langkah lain yang bisa dilakukan untuk mendukung menghentikannya? Bagaimana dengan aspek moral korupsi? Bagaimana mengemas ajaran moral antikorupsi di pesantren untuk dibocorkan ke luar pagar pesantren?

Ketika semangat beragama meningkat di luar pesantren, bagaimana pesantren membaurkan diri dalam perkembangan semangat ini? Bagaimana pelajaran keluhuran di pesantren yang merupakan basis NU bisa terserap di luar pagar pesantren? Medium apa yang bisa dibangun untuk menjembatani dialog batin antara pesantren dan dunia luar pesantren?

Pada zaman informasi ini, tantangan untuk organisasi seperti NU jelas jauh lebih kompleks dan bisa jadi ancaman terhadap kemurnian ahlussunnah wal jamaah. Kitab-kitab penting telah diolah dan diubah untuk menyesatkan. Para santri sangat rentan terjebak pada bahan bacaan yang dipalsukan dan disalaharahkan: disinformasi! Kelambanan menjawab tantangan-tantangan itu akan sangat mahal. Bahkan, jawaban yang lambat akan bisa menghancurkan.

Di tengah perkembangan zaman ini, NU menerima kenyataan berbagai ''hidangan'' mulai gejala mengendurnya toleransi antaragama, makin maraknya korupsi etika dan moral bangsa, lalu belum adanya jembatan jarak antara nilai-nilai di dunia pesantren dan dunia luar pesantren, serta ancaman terhadap kemurnian ahlussunnah wal jamaah terpapar secara kasatmata.

Konferwil NU di Bumi Salawat ini seharusnya bisa menjadi titik awal lagi bagi NU untuk menentukan sikap: Apa peran dan posisi NU dalam membawa bangsa ini menuju baldatun toyyibatun wa robbun ghafur? Sikap itu membutuhkan kepemimpinan yang visioner, strategis, bekerja keras, serta melibatkan komitmen seluruh elemen. Selamat bersikap. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar