Rabu, 29 Mei 2013

Terseret Labirin Kebohongan

Terseret Labirin Kebohongan
Hadi Purnama ;  Dosen Sekolah Komunikasi Multimedia 
Institut Manajemen Telkom Bandung
 
KORAN SINDO, 29 Mei 2013 


Setiap hari beragam kebohongan, melibatkan politisi, para penegak hukum, pengusaha, hingga entertainer, dipertontonkan secara banal dan masif melalui media massa. 

Seakan media massa telah menjadi etalase kebohongan bagi para pelakunya. Perilaku menyimpang itu dengan mudahnya dapat ditiru siapa pun yang ingin menjadikan bohong sebagai sebuah ideologi baru. Disebut ideologi karena berbohong sudah dianggap sebuah way of life alias jalan hidup bagi sebagian besar orang untuk mewujudkan impian hidupnya. 

Bahkan, kebohongan menjadi kendaraan untuk meraih kekayaan dan kekuasaan. Tentu saja melalui jalan pintas dan instan, meski harus menerabas norma budaya, etika, bahkan ramburambu hukum. Tidak berlebihan bila menyebut korupsi, yang digolongkan sebagai kejahatan luar biasa, merupakan pengejawantahan dari praktik bohong yang kian sistemik di tengah masyarakat. 

Bahkan, praktik haram ini senantiasa berkelindan dengan bohong. Karena dalam praktiknya, korupsi selalu diawali dan diakhiri dengan kebohongan. Para koruptor akan selalu menutupi satu kebohongan dengan kebohongan yang lain, meski harus membohongi hati nuraninya sendiri dan Tuhan! Sebuah kebohongan atau dusta merupakan proses pengabaian atas kebenaran, sehingga pihak lain mau menerima suatu pernyataan atau perilaku sebagai kebenaran. Sering kali kebohongan dilakukan untuk mengelabui akal sehat dan logika manusia. 

Survival of the Fittest 

Secara fenomenologis, kebohongan dapat didekati dari berbagai perspektif. Bagi para evolusinis, bohong merupakan fenomena dari survival of the fittest. Berbohong menjadi salah satu mekanisme pertahanan diri makhluk hidup agar bisa survive. “Berbohong” di lingkungan satwa dan tumbuhan sedikitnya berlatar motif menghindari bahaya dan atau mencari mangsa. Bunglon dan kantung semar menjadi contoh paling konkret dengan kemampuan kamuflase makhluk hidup untuk menghindari bahaya sekaligus mencari mangsa. 

Melalui kemampuan memanipulasi lingkungan, banyak spesies mampu bertahan hidup selama ribuan, bahkan jutaan, tahun di muka bumi. Bagaimana dengan manusia? Meski tidak persis sama, manusia pun dianugerahi kemampuan manipulatif yang berkembang seiring dengan evolusi otak manusia, yang memiliki kemampuan lebih kompleks daripada spesies lain. 

Ironisnya, motif berbohong yang dimiliki manusia juga lebih kompleks karena tidak sekadar digunakan sebagai mekanisme pertahanan diri. Pada spesies tumbuhan dan hewan berbohong juga cara untuk mencari informasi, mengungguli, hingga upaya menguasai dan menaklukkan pihak lain. Suka atau tidak, berbohong justru dipraktikkan dalam kehidupan keseharian manusia untuk beragam tujuan, termasuk tujuan “positif”, baik secara terselubung maupun terang-terangan. 

Misi intelijen secara terselubung kerap dilakukan aparat keamanan maupun staf marketing perusahaan. Selain itu, peliputan investigatif juga menghalalkan taktik dusta dalam upayanya menghimpun informasi dari narasumber. Bohong di sini diletakkan dalam konteks positif sebagai upaya menghimpun informasi penting. Dalam tipologi bohong, ada yang disebut sebagai “bohong putih” (white lie). Bohong putih bahkan mendapat justifikasi, termasuk dari sudut pandang agama. 

Terutama, bila bohong putih bermanfaat dari dimensi hubungan horizontal. Juga berlaku di kalangan medis, dalam batas tertentu dokter punya otoritas berbohong untuk tidak menyampaikan ketika informasi faktual tentang kondisi pasien, sebagai upaya membangun harapan hidup yang bersangkutan. Meski demikian, bohong tetap harus diberikan stigma negatif, mengingat dampaknya yang destruktif, sehingga tidak ada toleransi untuk berbohong (zero tolerance). 

Mengutip Thomas Jefferson, “Sekali kita berbohong, akan diikuti kebohongan berikutnya sehingga akan menjadi sebuah kebiasaan.” Bahkan, berbohong cenderung menumpulkan hati nurani sekaligus melecehkan akal sehat manusia. Kebohongan secara gradual akan mengikis kemampuan kita untuk membedakan antara yang benar dan salah, antara yang baik dan buruk.

Kebohongan dan Korupsi 

Hal yang menjadikan keprihatinan kita semua, saat ini berbohong bukan saja menjadi way of life, melainkan juga telah menjadi jalan pintas (shortcut) bagi segelintir orang untuk mendapatkan kekayaan, kekuasaan, bahkan untuk lepas dari jerat hukum. Ironisnya, kebohongan ini dipertontonkan oleh mereka yang berada di tampuk kekuasaan, seperti para aparatur negara, politisi, pengusaha papan atas, bahkan pemuka agama. 

Merajalelanya praktik kebohongan yang berkelindan dengan tindak korupsi yang melibatkan Gayus Tambunan dalam kasus pajak, Nunun dalam kasus cek pelawat, Nazaruddin dalam kasus Hambalang, hingga Ahmad Fathanah dalam kasus impor daging sapi, semuanya berakar dari sikap dan perilaku manipulatif. Merujuk kembali pada ucapan Jefferson, prinsip dasar berbohong ibarat sebuah ritual yang cenderung dilakukan secara berulang. 

Ironisnya, di tengah sulitnya memberantas tindak manipulatif tadi, mereka yang berupaya menegakkan kejujuran justru dicemooh bahkan diasingkan. Akhirnya, ketika kebohongan telah dianggap sebagai kelaziman dan menjadi panglima dalam berkehidupan, tatanan sosial yang beretika cepat atau lambat akan roboh. Ketika tidak ada kemauan kolektif menghentikan praktik bohong, maka negeri ini telah bersalin rupa menjadi Republik (Para) Pembohong, yang sedang menghancurkan dirinya sendiri. 

Kebohongan berjamaah ini bukan saja sebuah tamparan bagi sebuah bangsa yang konon beradab. Bila pembiaran ini tidak dihentikan, akan menyeret bangsa Indonesia ke pusaran labirin kebohongan tak berujung. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar