Kamis, 27 Juni 2013

BBM, BLSM, dan Gizi Buruk

BBM, BLSM, dan Gizi Buruk
Siti Nuryati ;   Alumnus Pascasarjana Fakultas Ekologi Manusia IPB,
Peraih Penghargaan Menko Kesra atas Gagasan Penanggulangan Kemiskinan dan Perluasan Kesempatan Kerja (2008)
MEDIA INDONESIA, 27 Juni 2013


KEBIJAKAN pemerintah membagikan dana bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) kepada warga miskin untuk meminimalkan dampak penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi sesungguhnya bukan kebijakan yang tepat.

Oleh pemerintah, BLSM dijadikan sebagai tameng perlindungan terhadap dampak negatif kenaikan harga BBM. Jika dievaluasi, kebijakan BLSM ternyata menyimpan lubang-lubang persoalan. BLSM bisa dikatakan sebagai kebijakan yang ‘sekadar numpang lewat’. Teorinya, subsidi langsung yang dikucurkan pemerintah ialah suntikan energi baru atau penyangga agar penduduk miskin tidak jatuh ke jurang ‘di bawah garis kemiskinan’. Namun, kenyataan di lapangan ternyata bergeser dari teori yang ada. Pemberian BLSM yang cuma sementara hanya menunda kesulitan masyarakat. Sebab, dampak kenaikan harga BBM tidak sementara.

BLSM diharapkan dapat menjaga daya tahan masyarakat miskin. Akan tetapi, tak sedikit dari mereka yang ketika menerima BLSM menjadikannya sebagai dana untuk mencicil utang. Jika demikian, bukan daya tahan si keluarga miskin yang hendak dijaga, melainkan ‘kesempatan’ bagi para rentenir untuk memaksa si miskin membayar utang pada dirinya dari dana BLSM tersebut. Akhirnya si miskin pun tetap menderita dalam kemiskinannya.

Studi dampak bantuan langsung tunai semacam itu bagi kesejahteraan keluarga yang pernah dilakukan Puspitawati H dkk (tim peneliti dari Fakultas Ekologi Manusia IPB) pascakenaikan harga BBM di Bogor, Jawa Barat, mengungkap pembelanjaan dana bantuan (saat itu bernama BLT) oleh rumah tangga miskin sebagai berikut: pengeluaran untuk pangan (50,1%), bayar utang (9,8%), pakaian (7,6%), kesehatan (7,4%), pendidikan (6,6%), modal (4,2%), transpor (2,6%), zakat (2,2%), menabung (2,1%), listrik (1,5%), perumahan (1,4%), memberi ke anak (0,9%), memberi ke saudara (0,7%), rokok (0,5%), dan lain-lain (2,4%). Uang BLT yang diterima rata-rata habis dalam tempo 11 hari. Proporsi tertinggi responden (38,1%) dalam menghabiskan uang BLT adalah 2-7 hari. Bahkan yang habis dalam satu hari mencapai 28%.

Penelitian Khomsan dkk di desa-desa di Bogor (2008) menunjukkan rata-rata pengeluaran rumah tangga mencapai Rp456 ribu. Persentase pengeluaran pangan dan nonpangan hampir sebanding atau fifty-fifty dengan beberapa rincian sebagai berikut: rokok (7%), pendidikan (8%), kesehatan (12%), bahan bakar/ penerangan (7%), lauk pauk (10%), dan beras (7%).

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional sebelumnya pun menunjukkan konsumsi rumah tangga miskin untuk tembakau 12,43%. Anggaran belanja tembakau itu 15 kali lipat jika dibandingkan belanja daging (0,85%), 5 kali lipat belanja susu dan telur (2,34%), 8 kali lipat belanja pendidikan (1,47%), dan 6 kali lipat belanja kesehatan (1,99%) (Susenas, 2005).

Berbagai studi tersebut menunjukkan alokasi belanja keluarga miskin untuk pangan hampir sama besar dengan alokasi belanja untuk rokok. Di beberapa rumah tangga miskin malah ditemui belanja rokok lebih besar daripada belanja pangan. Hal itu menjadi salah satu koreksi terhadap program-program pengaman sosial yang diberikan dalam bentuk uang tunai semacam BLSM. Akan menjadi sulit untuk mengontrol apakah bantuan uang tunai yang diberikan, oleh keluarga miskin betul-betul dialokasikan untuk kebutuhan-kebutuhan vital seperti pangan atau tidak.

Masalah kritis

Dengan mencermati hal tersebut, dana BLSM yang mencapai puluhan triliun rupiah sebenarnya akan lebih berdaya guna bila digunakan untuk mengatasi masalah kritis yang berdampak fatal bagi bangsa, yaitu gizi buruk (bad nutrition).

Bagi balita, gizi kurang dan gizi buruk mempunyai implikasi yang kompleks karena tidak hanya berkaitan 
dengan kesakitan, tetapi juga berkaitan dengan pertumbuhan dan kecerdasan. Kasus gizi buruk dalam jumlah yang besar bisa menyebabkan Indonesia kehilangan ratusan juta poin IQ setiap tahunnya.
Generasi bangsa yang kurang gizi itu tentu tidak memiliki daya saing untuk melawan generasi sebayanya di ASEAN karena kasus gizi buruk hampir-hampir tidak ditemui di Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Tak akan ada peningkatan kualitas SDM bangsa kita tanpa peningkatan kualitas gizi makanan sehari-hari masyarakat, terutama protein, mineral, dan vitamin. Program perbaikan gizi merupakan investasi masa depan bangsa dalam mencetak SDM bermutu tinggi. Bagaimana bisa Program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS) yang pernah digulirkan, yang hanya memberi makanan tambahan satu buah pisang goreng dan secangkir kecil bubur kacang hijau, dimimpikan bisa mengubah segalanya? Bagaimana daya dongkrak pisang goreng dan bubur itu untuk mengatrol anak sekolah yang sudah telanjur mengalami gizi buruk?

Mestinya Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) yang pernah dikembangkan pada era 1980-an dihidupkan kembali di daerah-daerah rawan pangan dan gizi. Kita bisa merancang sistem itu dengan memadukan pelaksanaan program-program perbaikan gizi lainnya secara berkesinambungan. Dengan begitu, masalah gizi buruk pada anak balita, anak usia sekolah, dan ibu hamil dapat terus terpantau untuk kemudian diatasi. Setelah itu, baru kita boleh berharap lahirnya generasi tangguh dan berkualitas yang akan memikul tanggung jawab bangsa ini ke depan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar