Jumat, 28 Juni 2013

Buya Syafi’i Ma’arif dan Bung Hatta

Buya Syafi’i Ma’arif dan Bung Hatta
Ahmad Najib Burhani ;  Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
KORAN SINDO, 28 Juni 2013


Dalam tiga pemilu yang dilangsungkan di Indonesia pasca-Reformasi 1998, jumlah perolehan suara partai-partai Islam terus mengalami kemunduran dibanding Pemilu 1955 (44 persen). 

Perolehan suara seluruh partai Islam (PPP, PKS, PBB, PAN, PKB) pada Pemilu 1999 sekitar 37%, sedikit naik pada Pemilu 2004 menjadi 38%, dan kemudian turun drastis menjadi 29% pada Pemilu 2009. Jumlah suara partai Islam akan semakin kecil lagi bila dibedakan antara partai Islam yang berasaskan Islam (PPP, PKS, PBB) dan partai berasaskan Pancasila namun berbasiskan massa dari ormas Islam (PAN dan PKB). 

Melihat berbagai survei yang ada belakangan ini, penurunan ini sepertinya akan terus berlanjut di Pemilu 2014 yang akan datang. Namun demikian, menurunnya suara partai-partai Islam di atas tidak berarti bahwa Islam politik juga mengalami kemunduran. Justru sebaliknya, seperti ditulis Tanuwidjaja (2010), Islam politik terus mengalami kenaikan. Perda tentang moralitas, regulasi atau perda anti-Ahmadiyah, dan perda syariah lainnya menjamur di berbagai daerah. 

Yang menarik, perda-perda syariah itu banyak yang dikeluarkan di daerah-daerah yang dimenangkan oleh partai sekuler seperti PDIP, Golkar, dan Partai Demokrat. Bagaimana menjelaskan fenomena turunnya suara partai Islam yang bersamaan dengan naiknya Islam politik ini? Islam politik saat ini tidak hanya diusung oleh partai yang berlabelkan atau berasaskan Islam. 

Partai yang dulu disebut sekuler dan nasionalis pun, seperti PDIP dan Golkar, kini telah mengusung Islam politik (Tanuwidjaja, 2010). Sejak 2006, misalnya, PDIP telah memiliki Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi). Sementara Golkar telah lama didominasi oleh alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Saat ini hampir tidak ada perbedaan berarti antara partai-partai politik peserta Pemilu di Indonesia dalam hal ideologi, kecuali apa yang tertulis dalam AD/ART saja. 

Ini tentu sangat berbeda dari tahun 1950-an ketika, seperti ditulis Clifford Geertz, Indonesia dikuasai oleh politik aliran. Ketika itu, semua partai berjuang dan berperang demi ideologinya. Saat ini, partai-partai sekuler tidak berani melawan perdaperda diskriminatif, seperti perda anti-Ahmadiyah, karena takut dituduh anti-Islam. Partaipartai itu juga mendukung perda-perda moralitas hanya karena ingin menunjukkan komitmennya kepada Islam.

Inilah yang disebut dengan naiknya Islam politik yang bersamaan dengan turunnya suara partaipartai Islam. Fenomena ini terjadi terutama berkat desakralisasi yang dilakukan oleh Nurcholish Madjid sejak tahun 1970-an dan juga peran Orde Baru yang mempromosikan ideologi pembangunan sebagai ganti dari ideologi yang lain. 

Lantas, apa hubungan fenomena politik Islam di Indonesia dengan Buya Syafi’i dan Bung Hatta? Dua tokoh ini memberikan alternatif bagi politik Islam yang lebih humanis. Muhammad Hatta atau dikenal dengan Bung Hatta adalah tokoh yang sangat dikagumi dan menjadi idola bagi Buya Syafi’i dalam konteks hidup bernegara dan dalam menerjemahkan hubungan agama dan negara. Ada dua hal utama yang diperjuangkan oleh dua tokoh ini. Pertama, negara harus sekuler, tapi masyarakat harus taat beragama. 

Kedua, Islam politik itu harus mengikuti prinsip garam, bukan gincu, dan berdasarkan prinsip kemanusiaan atau rahmatan lil ‘alamin. Untuk yang pertama, Buya Syafi’i selalu mengutip peran Bung Hatta dalam menghapuskan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam kepada pemeluknya.” Penghapusan ini menegaskan bahwa negara harus bersikap netral terhadap semua agama dan keyakinan, serta tak berhak menjadi hakim dalam urusan teologi. 

Negara juga tak boleh memaksakan keyakinan atau syariat tertentu kepada rakyatnya. Negara tak punya urusan dengan keyakinan ortodoks ataupun keyakinan sesat yang berkembang di masyarakat. Apa yang terjadi sekarang dengan perda anti-Ahmadiyah adalah keikutsertaan negara dalam menentukan mana keyakinan yang ortodoks dan dukungan terhadap ortodoksi itu. 

Pilihan menjadi negara sekuler, tapi masyarakat beragama, seperti yang dilakukan oleh Buya Syafi’i dan Bung Hatta itu memiliki banyak kesamaan dengan Abdullahi Ahmed An-Na’im dari Sudan dan Rachid Ghannouchi dari Tunisia. Bagi mereka, justru dalam suasana sekuler seperti itu maka keberagamaan yang genuine akan tercipta. Orang taat beribadah bukan karena takut negara atau takut diserang kelompok garis keras, tapi benar-benar keluar dari keyakinannya. 

Seperti terjadi sekarang ini, keberpihakan negara pada Islam justru mengarahkannya pada keberpihakan kepada aliran atau jenis keyakinan agama tertentu dan memusuhi aliran keagamaan yang lain. Untuk prinsip kedua, Bung Hatta dan Buya Syafi’i termasuk orang yang berpihak kepada Islam substantif. Sebagaimana prinsip garam, tak kelihatan tapi terasa, agama itu tak perlu ditampilkan dengan simbolsimbol tapi miskin makna. Simbol-simbol itu hanya menjadikan agama seperti gincu, terlihat tapi tak terasa. 

Untuk apa, misalnya, menyebut dirinya partai Islam tapi korupsinya tak kalah dari partai sekuler. Untuk apa bangga dengan kenaikan jumlah masjid dan pemakai jilbab jika banyak kebebasan beragama kelompokkelompok agama minoritas terus mengalami penindasan. Untuk apa mengundang-undangkan syariah, jika itu justru membuat orang tidak bisa menjadi muslim yang baik “by conviction and free choice” (An-Na’im 2008, 1). 

Sebelum kejadian Turki Spring yang saat ini masih berlangsung, model dari partai Islam yang cukup dihargai dan jadi referensi saat ini adalah AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan) di Turki. Partai ini dianggap mampu melepas simbol-simbol agama tapi membangun ekonomi rakyat. Model ini barangkali yang dulu hendak dikembangkan Bung Hatta dengan ekonomi kerakyatannya, meski dia tidak banyak melakukannya melalui partai politik. 

Namun demikian, jika model Turki itu ternyata hilang atau tampak di permukaan saja, maka akan sulit mencari contoh partai Islam yang bisa mewakili Islam substantif di luar negeri. Dalam menyambut hirukpikuk Pemilu 2014, barangkali perlu menengok dan menyuarakan kembali politik Islam yang ramah dan humanis itu. 

Buya Syafi’i telah memperjuangkan moralitas kebangsaan dan kemanusiaan ini selama bertahun-tahun meski perpolitikan nasional belum juga membaik. Semoga beliau tetap konsisten dengan perjuangannya di tengah perpolitikan nasional yang kehilangan fatsun sekarang ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar