Rabu, 26 Juni 2013

Fundamen, “Grundnorm”, Oknum

Fundamen, “Grundnorm”, Oknum
AB Kusuma ;   Peneliti Senior di Pusat Studi Hukum Tata Negara UI
SINAR HARAPAN, 25 Juni 2013


Para pejabat dan tokoh, terutama yang bergelar guru besar dan doktor, seyogianya berhati-hati memakai istilah yang berasal dari bahasa asing. Makna yang dikemukakan para tokoh yang “sangat terpelajar”, meskipun keliru, biasanya akan ditiru, padahal ada kemungkinan punya akibat hukum.

Istilah yang artinya paling sering diselewengkan adalah kata “oknum”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “oknum” berarti “penyebut diri Tuhan di agama Katolik; pribadi: kesatuan antara Bapak, Anak dan Roh Kudus sebagai oknum keesaan Tuhan”.

Artinya, kata “oknum” telah didegradasi sedemikian rendahnya dari “bersifat Ketuhanan” menjadi “oknum” yang berarti “orang yang sifatnya kurang baik”. Degradasi kata “oknum” dilakukan oleh tokoh partai politik; kadernya yang terbaik, yang dijadikan pucuk pemimpin partai, bila tersangkut kejahatan akan dinyatakan sebagai “oknum”, agar partainya tidak terseret.

Pejabat di istana kepresidenen pernah menggunakan kata “aubade” untuk acara sore hari penurunan bendera merah putih pada Hari Proklamasi Kemerdekaan.

Arti “aubade” yang benar tercantum dalam KBBI; kata “aubade” berarti “nyanyian atau musik untuk penghormatan pada pagi hari”. Pejabat Istana juga memberi nama gedung di kompleks istana “Bina Graha”.
Padahal, kalau kita merujuk KBBI, “graha” artinya “buaya”. Di KBBI tidak tercantum bahwa “graha” berarti “rumah” atau “gedung” karena bahasa Sansekerta “Grha” biasanya ditransliterasi menjadi “griya” (rumah), bukan “graha”.

Kesalahan memilih kata yang ada kemungkinan menganiaya seseorang, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketuanya, Abraham Samad, menyatakan telah “membredel” mobil yang disangkakan milik Luthfi Hasan Ishaaq. Seharusnya kata yang dipakai adalah “menyegel”. Selain itu seharusnya papan yang ditempelkan di rumah istri Fathanah bertulisan “disegel”, bukan “disita KPK”.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga tidak cermat. Beliau gemar berpidato dengan campuran bahasa Inggris. Sayangnya, kata asing yang diucapkannya kadang-kadang maknanya keliru. Hal itu terlihat pada ucapannya, bahwa beliau tidak akan mencampuri “justice”, padahal, maksudnya, mungkin, tidak akan mencampuri “judiciary”.

Nampaknya beliau lupa bahwa “criminal justice system” di USA (yang pernah disebutnya sebagai negerinya yang kedua) terdiri dari Police, Court and Correctional Institution; sedangkan di Indonesia terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dan Lembaga Pemasyarakatan.

Jadi, sesungguhnya Presiden Yudhoyono membawahi tiga lembaga dalam integrated criminal justice system. Seyogianya beliau bertanggung jawab mempercepat terlaksananya keadilan dengan pedoman delayed justice is injustice. Mengingat pula ajaran Ibn Khaldun, bahwa negara adalah lembaga yang mencegah agar penduduk negeri tidak mengalami ketidakadilan.

Pancasila sebagai Pilar atau Fundamen?

Pada peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2006, Presiden Yudhoyono mengucapkan pidato berjudul “Menata Kembali Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”. Beliau mengingatkan, konsensus dasar yang kita sepakati ada empat, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bineka Tunggal Ika.

Istilah yang dipakai adalah “konsensus dasar”, bukan “pilar”. Beliau menggunakan istilah “pilar” untuk kata lain, yaitu freedom atau “kebebasan”, rule of law atau “aturan hukum” dan tolerance atau “toleransi”.
Beberapa tahun kemudian, Dr (HC) Taufiq Kiemas, setelah menjadi Ketua MPR, menyatakan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara kita terdiri dari empat pilar yaitu Pancasila, UUD 1945, Bineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian pendapatnya diterima oleh pemimpin MPR.

Singkatnya, masalah timbul karena istilah yang dipakai pemimpin MPR, DPR, dan pemerintah yang tercantum dalam Pasal 34 Ayat (a) UU Nomor 11 Tahun 2008 tidak sesuai dengan teori konstitusi yang dianut oleh Pendiri Negara. Selain itu, “UUD 2002” (UUD 1945 hasil amandemen) ada yang melanggar asas konstitusi (constitutional principles) yang dianut oleh Pendiri Negara.

Dapat dikemukakan bahwa pendapat Ketua MPR itu juga berbeda dengan pendapat Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Prof Notonagoro (yang menjadi promotor penganugerahan doctor honoris causa kepada Ir Sukarno, juga dikenal sebagai Begawan Pancasila) yang menyatakan bahwa “Pembukaan merupakan dasar, rangka, dan suasana yang meliputi seluruh kehidupan bangsa dan negara, serta tertib hukum Indonesia, sehingga kebaikan hukum positif Indonesia, termasuk UUD, harus diukur dari asas yang tercantum dalam Pembukaan, dan karena itu Pembukaan dan Pancasila harus digunakan sebagai pedoman bagi penyelesaian soal-soal pokok kenegaraan dan tertib hukum Indonesia”.

Pernyataan Prof Notonagoro tersebut menunjukkan ada hirarkhi norma dan Pembukaan UUD 1945, termasuk Pancasila yang tercantum di alinea empat adalah staatsfundamentalnorm (pokok kaidah negara yang fundamental) yaitu norma tertinggi.

Artinya ada axiological hierarchy (hirarki nilai) dan hirarki norma. Ada core values dan values. Ada grundnorm dan norm yang tercantum di Grundgesetz (UUD). Sama-sama memakai kata grund (dasar) tetapi tingkatnya berbeda. Jauh berbeda dengan “pilar”.

Pancasila adalah “sumber dari sumber”, “fundamen”, “dasar” dari “dasar”. Staatsfundamentalnorm dapat menurunkan “pilar” yang berbeda. Pembukaan UUD 1945 (staatsfundamentalnorm) menghasilkan NKRI. Mukadimah Konstitusi RIS (staatsfundamentalnorm) menurunkan ketentuan yang berbeda, yaitu negara federal; artinya sejumlah pendiri negara kita menyatakan NKRI bukan harga mati.

Beliau-beliau itu memilih “merdeka” (liberty/freedom), “daulat rakyat” (popular sovereignty), republik, dan “persamaan di muka hukum” (equality before the law) sebagai harga mati. Jadi, meskipun staatsfundamentalnorm-nya sama, besar kemungkinan suatu pemerintahan akan mengutamakan “pilar” tertentu, seperti halnya Presiden Yudhoyono yang mengutamakan freedom, rule of law, dan tolerance.
Dalih pemimpin MPR bahwa menurut KBBI kata “pilar” juga berarti “dasar” tidak dapat diterima dengan alasan sebagai berikut; Pertama, menurut KBBI, “fundamen” berarti “asas, dasar, hakikat”; “fundamental” berarti “bersifat dasar (pokok)”.

“Pilar” berarti “tiang penguat; dasar (yang pokok)”. Sebenarnya KBBI telah menjelaskan bahwa “fundamen” lebih mendasar dari “pilar”, terlihat dari kata “hakikat” dan “asas”, sedangkan “pilar” sifatnya “penguat” atau “penyokong”. Tetapi sayangnya, ada keterangan di KBBI yang kurang tepat, yaitu bahwa “pilar” berarti “dasar (yang pokok)”.

KBBI disusun oleh puluhan petugas dan penyelia yang kepakarannya tidak sama. Seyogianya pemimpin Pusat Bahasa menjelaskan kepada masyarakat apakah pilar yang berarti “yang pokok” dapat dipertanggungjawabkan seperti yang diterangkan pemimpin MPR.

Kedua, menurut Bung Karno, Pancasila adalah philosofische grondslag, fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang abadi.

Sebagai insinyur, Bung Karno membuat kiasan (metafora) bahwa membangun gedung itu memerlukan fundamen yang kokoh, mendukung seluruh bangunan, sedangkan “pilar” hanya menyangga sebagian atap bangunan. Artinya, “fundamen” lebih mendasar dari “pilar”.

Ketiga, Dr Radjiman Wedyodiningrat adalah Ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), yang mengimbau agar para anggota mengemukakan gagasan mengenai “Dasar Negara”. Dalam Kata Pengantar buku Lahirnya Pancasila terbitan 1 Juli 1947, menyatakan Pancasila adalah Dasar (Beginsel) Negara. Radjiman menafsirkan bahwa Pancasila adalah suatu demokratisch beginsel, suatu Rechts-ideologie (Cita Hukum ) dari negara kita.

Keempat, dalam bahasa Belanda, “grondslag” padanannya adalah “beginsel” artinya “asas”, “dasar”, atau principle (Inggris).

Tentang Grundnorm dan Staatsfundamentalnorm

Bulan Juni 2011, Prof Mahfud MD, di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia menyatakan, staatsfundamentalnorm lebih tinggi daripada grundnorm. Sebab, staatfundamentalnorm berupa ide tentang hukum, sedangkan grundnorm sudah merupakan norma yang tertinggi, yakni UUD. Kemudian, pada Februari 2012, di Metro TV, Prof Mahfud membenarkan pendapat Wakil Ketua MPR, Lukman Hakim Saefudin, bahwa UUD adalah grundnorm.

Almarhum Taufiq Kiemas berjasa membangkitkan minat kita mempelajari Pancasila dan UUD 1945. Demikian pula Prof Mahfud adalah “pakarnya-pakar” Hukum Tata Negara. Bagaimanapun, sebaiknya kita menyertakan rujukan untuk mendukung pendapat tentang grundnorm dan staatsfundamentalnorm. Lalu, demi pengamalan Hukum Tata Negara, sebaiknya rumusan di Pasal 34 Ayat (a) UU Nomor 8 Tahun 2011 ditinjau kembali.

Referensi tentang “grundnorm” dan “staatsfundamentalnorm” bisa disimak dari yang diajarkan Prof Djokosutono di Fakultas Hukum Universitas Indonesia sejak tahun 1956. Prof Djokosutono ketika itu juga mengingatkan agar para anggota Konstituante dan opinion leaders yang akan menyusun UUD yang baru memahami teori Konstitusi dan perbedaan paham di antara tokoh-tokohnya.

Kuliah Prof Djokosutono terutama membahas debat antara Carl Schmitt, Hermann Heller, dan Hans Kelsen. Juga mengemukakan pendapat Von Savigny, Rudolf Smend, Paul Laband, George Jellinek, dan Adolf Merkel. Beliau tidak menyebut nama Hans Nawiasky maupun istilah staatsfundamentalnorm.

Buku yang mengemukakan debat tentang grundnorm, antara lain buku karangan David Dyzenhaus, 2003; Peter Caldwell, 1997; Artur Jacobson, dan Bernard Schlink, 2000; dan Carl Frederich, semuanya menyatakan bahwa grundnorm adalah norma tertinggi. Juga Stufenbau der Rechtsordnung menyatakan bahwa grundnorm di atas grundgesetz. Dua-duanya memakai kata “grund” (dasar).


Kemudian, istilah staatsfundamentalnorm dipakai Prof Notonagoro sejak tahun 1953, tetapi beliau tidak menyebut asalnya dari Hans Nawiasky. Tahun 1990 dalam disertasinya, Prof Attamimi menyatakan Hans Nawiasky adalah tokoh yang pertama kali memakai istilah tersebut. Penulis berpendapat pengetahuan kita mengenai teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky perlu didalami lagi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar