Selasa, 25 Juni 2013

Iran Pasca-Ahmadinejad

Iran Pasca-Ahmadinejad
Zuhairi Misrawi ;   Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah
The Middle East Institute
KOMPAS, 25 Juni 2013


Dalam seminggu ini, rakyat Iran merayakan dua peristiwa penting, yaitu kemenangan Hassan Rohani sebagai presiden dalam pemilu dan lolosnya kesebelasan Iran ke Piala Dunia 2014. Peristiwa tersebut mirip suasana saat Mohammad Khatami terpilih pada tahun 1997.
Sebagaimana Khatami, Rohani juga dielu-elukan oleh kaum muda dan kalangan reformis karena dalam kampanye ia mengusung ide-ide reformasi dan kehendak membuka kembali hubungan dengan Barat. Kemenangan Rohani sangat fantastis: meraih lebih dari 50 persen suara, mengalahkan para kandidat lain dari kubu konservatif.
Fakta ini membuktikan dua hal. Pertama, mayoritas rakyat Iran sebenarnya sangat tak nyaman dengan kepemimpinan Ahmadinejad dan kubu konservatif yang cenderung represif. Hingga saat ini, dua tokoh reformis, yaitu Mir Hossein Mosavi dan Mehdi Karroubi, masih berstatus tahanan rumah. Saat berkunjung ke Iran bulan lalu, penulis menanyakan kepada kaum muda perihal masa depan politik. Mereka menyatakan perlu era baru dalam politik, yang mencerminkan kebebasan dan perubahan. Maklum, menjelang pemilu, warga Iran tak bisa menggunakan Twitter dan Facebook karena dilarang pemerintah. Bahkan, surel pun dikontrol penuh pemerintah.
Kedua, mayoritas rakyat Iran memberikan catatan khusus terhadap krisis ekonomi akibat sanksi dan isolasi Barat. Ahmadinejad dianggap gagal mengendalikan perekonomian dalam rangka mengatasi krisis. Sebab itu, kandidat presiden yang punya visi serupa dengan Ahmadinejad, seperti Saeed Jalili dan Ali Akbar Velayati, tak mendapatkan dukungan signifikan. Mereka trauma dengan pemimpin yang berhaluan konservatif karena tidak mempertimbangkan krisis ekonomi di dalam negeri sebagai konsekuensi dari sanksi dan isolasi dunia Barat.
Menurut Suzanne Maloney, analis kebijakan politik-ekonomi Timur Tengah, yang menarik dari kemenangan Rohani adalah tidak hanya karena mendapatkan dukungan mutlak dari rakyat Iran, tetapi juga karena telah mengalahkan para kandidat yang didukung Pemimpin Tertinggi Ayatullah Ali Khamenei, yang berhaluan konservatif. Sejak Pemilu 2005, kubu konservatif menguasai hampir seluruh lembaga di pemerintahan. Bahkan, mereka mendikte debat Capres (www.foreignaffairs.com, 16 Juni).
Nuklir
Pemandangan ini membuktikan, Iran pasca-Ahmadinejad sedang di persimpangan jalan, yaitu antara kehendak mayoritas publik yang mendorong reformasi dengan memilih Rohani sebagai simbol reformasi dan sistem politik yang meniscayakan Pemimpin Tertinggi Ayatullah Ali Khamenei sebagai pemegang penuh kendali kepemimpinan di Iran.
Latar belakang Rohani sebagai ulama dan punya kedekatan khusus dengan Pemimpin Tertinggi sebenarnya bukan hambatan baginya membangun komunikasi dengan Ayatullah Ali Khamenei. Justru yang jadi masalah bagaimana ide-ide reformasi yang telah dijanjikan selama kampanye dapat diwujudkan sehingga gagasan besar tentang kebebasan dan perubahan dapat dirasakan langsung oleh rakyat Iran.
Masalah yang menarik perhatian Barat adalah kebijakan Iran perihal pengembangan uranium nuklir. Di bawah Ahmadinejad, Iran telah mendapat sanksi dan isolasi yang cukup berat. Hal tersebut telah berdampak buruk terhadap perekonomian Iran.
Di samping itu, komunikasi politik yang bersifat konfrontatif ala Ahmadinejad terhadap AS dan sekutunya seakan telah menimbulkan kekhawatiran dunia Barat. Bahkan, Israel sebagai pihak yang kerap menjadi obyek serangan politik Ahmadinejad dengan sengaja menggunakannya sebagai momentum untuk menyerang Iran.
Harus diakui, nuklir merupakan salah satu program unggulan Iran.
Para pakar nuklir di Iran sebenarnya sudah menegaskan kepada dunia internasional bahwa nuklir Iran tidak akan digunakan untuk kepentingan militer atau perang, tetapi untuk mendukung pembangunan yang dicanangkan oleh Iran. Namun, sayangnya komunikasi politik tersebut tidak berhasil meyakinkan dunia Barat karena selama ini tidak didukung oleh komunikasi politik Ahmadinejad yang kerap kali menyerang Israel dan dunia Barat.
Karena itu, Rohani punya tugas penting membangun komunikasi yang jauh lebih bersahabat dengan Barat. Dalam pidato kemenangan, Rohani berjanji membentangkan jalan moderasi dengan Barat, dengan catatan mereka tidak melakukan intervensi terlalu jauh ke dalam urusan dalam negeri Iran dan menghormati hak-hak konstitusional dalam mengembangkan nuklir.
Diplomasi
Sebagai mantan juru runding nuklir, Rohani diakui punya kecakapan dalam mengambil hati dunia Barat agar tidak curiga secara berlebihan dalam proyek pengembangan uranium nuklir. Hakikatnya, kekhawatiran Barat di balik proyek nuklir Iran tidak terletak pada nuklirnya, tetapi adanya jaminan bahwa proyek nuklir tidak akan mengganggu eksistensi Israel. Di sinilah, Rohani mempunyai tugas yang tidak mudah untuk meyakinkan dunia Barat sehingga mereka dapat menghentikan sanksi ekonomi dan isolasi terhadap Iran.
Hassan Rohani punya keahlian tersendiri dalam bidang diplomasi. Bahkan, menurut Suzanne Maloney, ia mendapat julukan sebagai the sheikh of diplomacy. Sebagai ulama, diplomat, militer, dan birokrat, Rohani punya keistimewaan yang tak dimiliki Ahmadinejad. Bahkan, secara eksplisit Rohani ingin menormalisasi hubungan dengan negara-negara Teluk, khususnya Arab Saudi.
Harus diakui, Ahmadinejad dalam delapan tahun terakhir telah gagal membangun diplomasi dengan negara-negara Arab dan Barat. Titik lemah Ahmadinejad adalah menciptakan ketegangan politik dengan dunia Arab sehingga berdampak cukup serius perihal munculnya konflik yang bernuansa sektarianisme.
Di sinilah letak pentingnya diplomasi yang saling menghormati dan saling menguntungkan kepentingan kedua belah pihak. Iran butuh negara-negara Arab dan negara-negara Barat, begitu pula sebaliknya.
Namun, semua itu tidaklah mudah dilakukan oleh Rohani. Menurut Elyas Harfusy dalam Kulluhum Khamenei, reformasi dan perubahan di Iran sepenuhnya harus sejalan dengan kebijakan Pemimpin Tertinggi Ayatullah Ali Khamenei. Pengalaman pada masa lalu, saat Mohammad Khatami memimpin, Iran kerap tak mampu melakukan terobosan dalam membangun ”dialog peradaban” karena mendapatkan tekanan dari Pemimpin Tertinggi.

Dengan demikian, masa depan Iran pasca-Ahmadinejad sangat ditentukan sejauh mana Rohani mampu memoderasi antara kehendak rakyat Iran dan kebijakan politik Pemimpin Tertinggi. Hal tersebut tidaklah mudah dilakukan. Akan tetapi, pengalaman panjang Rohani sebagai ulama, birokrat, militer, dan politisi akan memberikan secercah harapan bagi terbitnya hubungan baik antara Iran dengan dunia Arab dan Barat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar