Selasa, 25 Juni 2013

Kaum Idealis yang Tidak Jelas

Kaum Idealis yang Tidak Jelas
L Murbandono Hs ;   Peminat Peradaban,
Tinggal di Ambarawa Kabupaten Semarang
SUARA MERDEKA, 24 Juni 2013


’’PADA zaman Hindia Belanda, negara kita masih dijajah pemerintahan asing, banyak idealis bermimpi akan Indonesia merdeka, rakyat adil makmur, dan dunia sejahtera bagi semua manusia,’’ kata guru saya, biarawati yang ’’cuma’’ lulusan SGB (usia 16 tahun sudah menjadi guru) saat saya duduk di sekolah rakyat (SR, sekarang SD).

Cerita itu diulang terus dengan variasi peristiwa dan tokoh, seperti memberi PR. Kisah sejarah RI dan dunia 55 tahun lalu itu membuat saya memikirkan kenyataan sehari-hari, yaitu kaum idealis pemimpi ’’kemerdekaan, rakyat adil makmur, dunia sejahtera bagi semua manusia’’ itu telah menjadi ketidakjelasan.

Di tengah ketidakjelasan itu, dunia kita berkembang tiada henti, menghabiskan begitu banyak waktu, sehingga saya sering berpikir apakah dunia sekarang sudah mendekati sempurna? Di jagat sibernetika kerap dikatakan kita hidup di dunia serbabaru dengan perspektif serbahebat. Benarkah? Bahwa banyak orang sibuk dengan banyak hal serbabaru dan serbahebat, barangkali benar.

Tetapi apakah kesibukan itu membuat banyak orang menjadi serbabaru dan serbahebat? Berapa ketua RT (pemimpin negara paling penting, paling strategis, dan paling tahu rakyat secara nyata) dari Sabang sampai Merauke, yang sudah menggarap soal itu, bersama rakyat di lingkungannya? Juga, pernahkah soal kinerja dinamika sosial antara ketua RTdan warga di lingkungan itu digarap serius oleh semua pejabat pemerintah, dari lurah sampai presiden, dan seluruh ikutannya sejak 17 Agustus 1945 sampai hari ini, sehingga misalnya, menjadi GBHN? Pasalnya, kaum idealis pernah bermimpi tentang kinerja dinamika sosial rakyat dalam lingkup administratif paling sempit (mikro), sebagai dasar dan penentu lingkup administratif negara secara total (makro). Benar-salah dan baik-buruk RI ditentukan oleh parameter ini sebagai yang terpenting. Faktanya, terjadi hal terbalik. Yang mestinya ditentukan (hasil kinerja dari gedung-gedung resmi di Jakarta dan seluruh ikutannya) menjadi penentu dinamika ke-RT-an.

Inilaah salah satu asal usul dan biang kerok kompleksitas ketidakberesan kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang juga nyata hari-hari ini, pada sebagian jagat maya sibernetika berkibar-kibar optimisme, mengajak orang berpikir positif: toleransi terhadap semua agama serta faham hidup, dunia tanpa korupsi, antiperang, properdamaian, segala isme bersatu-padu, seluruh ambiguitas nilai (kanan-kiri, jiwa-badan, lambat-cepat, akal-rasa, diam-gerak, baik-buruk, benar-salah dan seterusnya) saling berdamai. Singkatnya, optimisme adalah jalan lempang peradaban dunia seisinya menuju kemuliaan semesta, dan mohon jangan lupa, itulah sikap dan tujuan awal para perintis sibernetika. Mereka begitu percaya diri tanpa pamrih, dengan sikap dan tujuan itu, peradaban akan menuju masa depan pembawa kebahagiaan universal.

Namun sikap dan tujuan mulia itu dicerai-beraikan kawanan oportunis pada banyak profesi terutama saudagar, makelar, politikus, pejabat negara, dan bahkan profesi pendidikan. Mereka beroperasi lebih cepat, bukan cuma ambil bagian melainkan bahkan bisa menguasai jagat sibernetika sambil merusak sikap dan tujuan para idealis dengan akses, aset, dan jaringan mereka. Hal sama juga terjadi dalam kehiruk-pikukan tetekbengek berlabel ’’budaya’’dan saling cumbu pasar dengan pabrik di media televisi. Ini terjadi di seluruh dunia, apalagi di negara kita, sejak televisi dan sibernetika lahir sampai hari ini.

Zaman Keemasan Artinya, media televisi dilanda masalah. Banyak stasiun televisi menggiring khalayak menikmati 1.001 jenis tayangan, dan berhasil membius amat banyak pemirsa (di negara kita jangan-jangan mayoritas), menjadi penikmat tayangan selera rendah berkat gegar budaya yang campurbaur dengan mental minderwaardigheidscomplex warisan masa silam. Hal sama juga terjadi dalam politik (hura-hura kekenesan demokrasi semu berbasis uang dan nafsu berkuasa) yang mengabaikan hakikat rakyat sebagai basis politik. Akibatnya, hati nurani sukar berfungsi dan politik hancur harga dirinya sebab amat lentur terhadap idealisme. Jika idealisme mengganggu, ia jalan terus tanpa idealisme: dengan ’’idealisme’’. Artinya, porsi terbesar komunikasi massa telah dikuasai kaum oportunis.

Mereka sudah amat kuat malang melintang, mempengaruhi, dan mencuci otak orangorang yang pada dasarnya gagap dalam mindset, memanipulasi idealisme dengan ìidealismeî, memperpanjang daftar pembeo arus besar budaya ìpopulerî hura-hura hedonistik peleceh pendidikan. Sungguh ironis, itu semua berlangsung pada zaman yang disebut era komunikasi saat komunikasi massa mencapai zaman keemasan dan dianggap segalanya, di depan peradaban: seluruh dunia terhubung, segala masalah dirundingkan, seruan-seruan perdamaian dan seterusnya. Menakjubkan? Mungkin.


Yang jelas, kenyataan saat ini: para idealis pemimpi sejati tetap tidak jelas tempat berhimpunnya, kucar-kacir, atau barangkali sudah amat lelah meneruskan mimpi-mimpinya. Mereka mungkin telah menjadi kawanan binatang jalang dalam puisi Chairil Anwar, menjadi entitas yang absurd pada zaman keemasan komunikasi massa hari-hari ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar