Jumat, 28 Juni 2013

Keadilan dalam Peradilan Cebongan

Keadilan dalam Peradilan Cebongan
Heru Susetyo ;  Staf Pengajar Viktimologi dan Hak Asasi Manusia,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
SINAR HARAPAN, 28 Juni 2013


Kasus penyerangan prajurit Kopassus ke LP Kelas IIA Cebongan Sleman yang menewaskan empat tahanan Polda DIY asal NTT, Sleman pada 23 Maret 2013 kini sudah memasuki tahap persidangan di Pengadilan Militer Yogyakarta yang dimulai pada 20 Juni 2013.

Kasus ini menarik karena mendapat perhatian masyarakat luas dan media. Baru kali ini persidangan di peradilan militer mendapat perhatian publik yang luar biasa, setelah yang terakhir pengadilan militer di Jakarta terhadap kasus penculikan aktivis pro demokrasi tahun 1997-1998.

Beberapa kelompok bahkan mendukung secara eksesif tersangka prajurit Kopassus dalam kasus Cebongan. Sebelum pengadilan dimulai, ada beberapa warga yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Indonesia Baru menggelar aksi mendukung pemberantasan premanisme. Mereka juga meneriakkan kata-kata, "Hidup Kopassus".

Sementara itu, Aliansi Masyarakat Sipil menyerukan agar seluruh pihak yang berkepentingan dalam masalah ini wajib hukumnya untuk tidak melakukan intervensi dan mendikte proses hukum di pengadilan militer, dengan tidak menyeret persoalan ini kepada pelanggaran HAM berat, tidak memojokkan institusi TNI, khususnya Kopassus, serta menolak keras segala bentuk terobosan hukum yang nyeleneh dan absurd (SHNews.co/ 20/06/2013). Jelas yang dimaksud adalah Komnas HAM dan LSM-LSM pembela HAM.

Beberapa pihak juga menolak upaya pengadilan memfasilitasi para calon saksi dengan video conference. Alasannya, keselamatan para saksi tak terancam dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Sementara itu, para saksi dan juga Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bersikeras keselamatan mereka terancam sehingga harus mendapatkan perlindungan dalam setiap tahapan persidangan. Termasuk permintaan untuk memberikan kesaksian melalui teleconference.

Nah, satu pertanyaan yang layak diajukan. Bagaimana sebenarnya duduk permasalahan kasus Cebongan dan bagaimana peradilan yang berlangsung dapat memberikan keadilan bagi semua pihak?

Pertama, harus ditegaskan bahwa kasus Cebongan ini adalah kejahatan berupa pembunuhan ataupun pembunuhan berencana. Hal ini sudah ditegaskan sejak awal oleh tim investigasi TNI AD untuk kasus Cebongan yang berasal dari penyidik Polisi Militer TNI AD; juga mengacu dakwaan kepada prajurit Kopassus tersebut, yaitu pasal pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dan pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).

Kedua, kasus pembunuhan itu adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Hal ini penting karena ketika kasus ini pertama bergulir, banyak pernyataan yang mengatakan bahwa kasus Cebongan bukan pelanggaran HAM sehingga tidak menjadi subjek Pengadilan HAM. Pernyataan yang keliru ini bahkan datang dari Kementerian Pertahanan.

Tapi, betul kalau kasus Cebongan bukan pelanggaran HAM berat sehingga bukan menjadi subjek Pengadilan HAM sebagaimana dimaksud UU No 26 Tahun 2000. Ini karena pelanggaran HAM berat yang dimaksud UU itu memang terbatas pada genosida (genocide) dan kejahatan kepada kemanusiaan (crime against humanity).

Namun, keliru kalau menyatakan kasus Cebongan bukan pelanggaran HAM (UU No 39 Tahun 1999). Bagaimana bisa perbuatan yang menyebabkan hilangnya empat nyawa manusia bukan pelanggaran HAM?

Ketiga, ada kesan dan pembenaran kalau apa yang dilakukan prajurit Kopassus itu beralasan karena sedang membasmi premanisme sehingga tindakan tersebut, walaupun bersifat main hakim sendiri, harus didukung. 
Sejatinya, ini suatu logika false negative. Seolah-olah mereka tidak bersalah, padahal bersalah.
Apakah benar bahwa prajurit Kopassus tersebut sedang membasmi premanisme? Tidak. Mereka membunuh para tahanan karena balas dendam atas kematian dan penganiayaan terhadap sejawat. Kebetulan saja empat tahanan tersebut diindikasikan sebagai “preman”. Kalau bukan preman? Tetap saja akan dihabisi, karena niat utamanya adalah balas dendam terhadap pembunuh sejawatnya dan bukan dalam rangka membasmi premanisme.

Namun, sikap sebagian masyarakat yang mendukung prajurit Kopassus ini juga pada tingkatan tertentu dapat dipahami. Ini karena mereka telah muak dan putus asa dengan merebaknya preman dan premanisme.
Apalagi, tidak sedikit aparat yang malah berkolusi dan berkolaborasi dengan preman; sehingga cukup wajar apabila prajurit Kopassus tersebut memperoleh glorifikasi, seolah menjadi pahlawan karena membasmi premanisme.

Keempat, ada semacam penghakiman dari publik terhadap premanisme dan bahwasanya para preman tersebut berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Ada yang kurang pas di sini karena premanisme dan preman adalah suatu kategori yang absurd dan subjektif.

Tak ada definisi dan klausul hukum yang dapat menjelaskan apa itu preman dan premanisme maka ia adalah suatu konstruksi sosial terhadap realitas. Siapa, apa dan kapan seseorang disebut preman, tergantung dari masyarakat ataupun aparat yang memberikan label.

Terjadi juga semacam generalisasi dalam bentuk prasangka terhadap kelompok tertentu sebagai preman (guilt by association). Seolah-olah preman hanya berasal dari NTT dan seolah-olah orang NTT adalah preman. Prasangka ini kurang sehat karena sejatinya tidak semua preman berasal dari NTT dan tidak semua orang NTT adalah preman.

Kelima, kesatria dan jiwa korsa. Ada sinyalemen para prajurit Kopassus tersebut telah secara kesatria mengakui perbuatannya. Mereka melakukan balas dendam atas dasar semangat l’esprit de corps (jiwa korsa). Ini juga bagian dari sesat pikir. Kalau betul kesatria tak perlu melakukan penganiayaan kepada petugas LP, menghancurkan CCTV, apalagi sampai membunuh tahanan.

Keterbukaan Penting

Sesungguhnya bukan sekali dua kali aparat melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Ini sudah jadi rahasia umum. Namun, harus diakui aparat TNI dan Polri kini sudah berbeda dibandingkan pada masa orde baru. Kini, aparat semakin terbuka. Berani minta maaf kalau berbuat salah dan berani mengadili anggota yang melakukan kesalahan.

Pengadilan militer yang dulu amat misterius, kini mulai membuka diri untuk ikut dipantau publik. Dulu, seolah ada sekat antara masyarakat dengan pengadilan militer. Apalagi, pengadilan militer amat eksklusif. Hakim, oditur (jaksa) dan penasihat hukumnya adalah militer; juga peran dari komandan amat luas selaku Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum) dan Perwira Penyerah Perkara (Pepera).

Kondisi ini diperburuk dengan kenyataan bahwa tidak banyak publik yang mengetahui adanya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan UU Pengadilan Militer (No 31 Tahun 1997). Ini karena materi hukum acara peradilan militer memang tidak banyak diajarkan di perguruan tinggi hukum umum.

Jalan terbaik untuk memantau peradilan militer kasus Cebongan adalah dengan memahami hukum pidana dan hukum acara peradilan militer secara komprehensif. Untuk keperluan ini, keterbukaan institusi dan peradilan militer menjadi amat penting. Jangan ada sekat dan ketertutupan yang membuat laju peradilan kasus ini sulit dipantau.


Terakhir, keadilan juga harus diberikan untuk semua. Aparat TNI dan Polri juga berhak mendapatkan keadilan. Pelaku pembunuhan dan penganiayaan prajurit Kopassus sejawat mereka juga harus diproses hukum dan diadili dengan serius. Karena itu juga kejahatan dan pelanggaran HAM. Hukum harus berlaku sama untuk semua orang tanpa memandang status, profesi, harta dan akses politik; karena Indonesia masih negara hukum. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar