Jumat, 28 Juni 2013

Kenaikan BBM dan Derita Rakyat

Kenaikan BBM dan Derita Rakyat
Nur Sholikhin ;  Peneliti di Lembaga Kajian Sosial Kemasyarakatan,
Garawiksa Institute Yogyakarta
SUARA KARYA, 27 Juni 2013


Berdasarkan rapat paripurna pengesahan Rancangan APBN-P melalui voting tentang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di DPR, Senin (17/6) akhirnya diputuskan bahwa BBM naik dari Rp 4.500, menjadi Rp 6.500, per liter. Walaupun diwarnai sejumlah fraksi tidak setuju, namun harga BBM akhirnya diputuskan naik.

Kenaikan harga BBM dikatakan atas alasan untuk "menyelamatkan perekonomian" bangsa. Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan jika harga BBM tidak dinaikkan, maka ekonomi Indonesia akan memburuk. Bahkan bagi pemerintah, kenaikan BBM tidak bisa ditunda lagi, karena membengkaknya anggaran subsidi BBM. Menurut perhitungan pemerintah, subsidi BBM 2013 mencapai Rp 297 triliun lebih. 
Membengkaknya alokasi anggaran untuk subsidi BBM tersebut membuat APBN tidak efektif lagi.

Namun, tidak sermua rakyat apalagi rakyat kecil menerima keputusan pemerintah menaikkan harga BBM tersebut. Pastinya dengan adanya kenaikan harga BBM akan berdampak bagi kehidupan sehari-harinya. Dengan adanya kenaikan BBM, akan menimbulkan kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok dan komooditas, sehingga dapat menyengsarakan rakyat kecil yang saat ini saja sudah sulit mendapatkan makanan. Kenaikan BBM ini sangat terasa bagi rakyat yang berpenghasilan kecil. Berbeda dengan rakyat yang berpenghasilan tinggi, kenaikan harga BBM tidaklah masalah dan tidak berpengaruh bagi kehidupan sehari-harinya.

Atas alasan membantu rakyat kecil pemerintah mengeluarkan kebijakan bantuan cuma-cuma berupa bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebagai antisipasi turunnya daya beli mereka menghadapi dampak kenaikan harga BBM. Bantuan ini dinilai agar untuk membantu meringankan beban rakyat kecil akibat dampak kenaikan harga BBM. Pemerintah mengucurkan BLSM kepada 15,5 juta kepala keluarga (KK) miskin berdasarkan Biro Pusat Statistik (BPS).

Namun, bantuan sebesar Rp 150 ribu per orang per bulan selama empat bulan ditujukan kepada rakyat miskin tersebut dinilai kurang tepat. Dari segi waktu, hanya empat bulan dan dampak kenaikan harga BBM akan terus menerus. Uang sebesar Rp 150 ribu yang diberikan pemerintah ini dipandang bukan solusi, melainkan sebagai pengalihan isu agar kenaikan harga BBM dapat diterima oleh masyarakat bawah.

Pemerintah dituntut untuk kembali memikirkan solusi terhadap dampak kenaikan harga BBM. BLSM bukan suatu solusi, apalagi bila mengingat bahwa bantuan tersebut tidak akan mengurangi penduduki miskin di Indonesia. BLSM tersebut, bahkan dinilai membuat ketergantungan rakyat terhadap pemerintah.

Alokasi terhadap pemberian subsidi kepada masyarakat bawah berupa BLSM ini perlu dikaji lebih mendalam. Mengingat tahun sebelumnya ketika ada kenaikan harga BBM, pemerintah mengeluarkan bantuan berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) ini tidak efektif. Bahkan dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan kericuhan. Selain itu, dengan adanya BLT tersebut tidak mengurangi jumlah kemiskinan di Indonesia. Pasalnya, efek bantuan itu tidak membuat rakyat kecil bisa hidup mandiri, tetapi mereka cenderung menggantungkan hidup pada bantuan pemerintah. Oleh karenanya, pola alokasi pemberian subsidi terhadap kenaikan harga BBM harus diubah.

Pola pemberian subsidi menggunakan BLSM itu bersifat pragmatis dan sangat sementara. Oleh sebab itu, pemerintah harus memberikan alternatif baru dalam pemberian subsidi dampak kenaikan harga BBM.
BLSM hanya membuat masyarakat kurang mampu menjadi obyek pemberi bantuan. Itu bukan solusi menanggulangi kemiskinan. Uang yang dibagikan sebesar Rp 150 ribu ribu per bulan tidak sebanding dengan dampak kenaikan harga BBM. Padahal kenaikan harga BBM itu sangat banyak dampaknya bagi masyarakat. Sebab itu, pemerintah diharapkan memberikan solusi jangka panjang bagi peningkatan ekonomi rakyat kecil.

Solusi yang dianggap jangka panjang terhadap dampak kenaikan harga BBM misalnya pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat yang berada dalam pengangguran. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan bantuan terhadap rakyat bawah berupa mengembangkan usaha atau pekerjaannya, misalnya memberikan fasilitas terhadap pertanian rakyat.

BLSM tidak lagi menjadi solusi bagi masyarakat kecil untuk mengangkat daya belinya, tetapi lebih pantas jika BLSM tersebut dikatakan sebagai "Bantuan Langsung Musnah" alias langsung habis dan tidak bermanfaat bagi pendongkrak daya beli rakyat miskin. Rakyat yang dibantu dengan Rp 150 ribu itu bukan anak kecil yang terus disuapkan oleh pemerintah. Jika demikian, mengentaskan kemiskinan yang ditarget menurun dari tahun ke tahun, tidak akan tecapai malah rakyat tambah menderita.

Adanya BLSM akan mengakibatkan ketergantungan rakyat terhadap pemerintah. Rakyat tidak berusaha mandiri, akan tetapi malah menunggu pemerintah mengulurkan bantuannya. Hal ini perlu diperhatikan oleh pemerintah. Solusi awal yaitu menciptakan lapangan pekerjaan merupakan solusi yang tepat terhadap kenaikan BBM.

Bangsa yang maju adalah bangsa yang masyarakatnya dapat mandiri. Kekayaan berada di tangan rakyat, bukan pemerintah. Jika pemerintah menginginkan bangsa ini maju, maka mulai sekarang harus berpikir panjang, dan subsidi BBM digunakan untuk memandirikan rakyat.


Oleh karena itu, kebijakan kenaikan harga BBM yang telah diambil jangan disia-siakan dengan program yang tidak memberi efek domino kepada perekonomian rakyat kecil. Pemerintah harus merespon dengan baik dan berpikir panjang terhadap penolakan oleh sebagian rakyat terhadap kebijakan penaikan harga BBM itu. Yaitu, memanfaatkan dana kenaikan harga BBM untuk program pengentasan kemiskinan dalam jangka pendek dan jangka panjang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar