Senin, 24 Juni 2013

Menggugat Kenaikan Harga BBM

Menggugat Kenaikan Harga BBM
Misbahul Ulum ;   Pengajar di Monash Institute
SINAR HARAPAN, 24 Juni 2013


Akhirnya, pemerintah secara resmi menaikkan harga BBM. Meskipun gelombang demonstrasi terjadi di berbagai daerah, sepertinya pemerintah tetap bergeming. Sidang paripurna DPR pada 17 Juni 2013 secara resmi telah mengesahkan kenaikan harga BBM dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter.

Pilihan menaikkan harga BBM di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang belum mapan memang bukan pilihan cerdas. Hal itu justru akan menimbulkan kesan bahwa pemerintah tidak sungguh-sungguh dalam melindungi rakyatnya. Ini karena dengan kenaikan harga BBM dan kondisi masyarakat masih miskin, beban hidup masyarakat justru akan semakin tinggi.

Harus diakui memang pilihan menaikkan harga BBM adalah keputusan yang sangat dilematis. Di satu sisi pemerintah harus melakukan penyelamatan APBN yang selama ini banyak terkuras untuk subsidi BBM. Namun, di sisi lain pemerintah juga berkewajiban memerhatikan kondisi masyarakat yang kian terjepit.

Haruskah Harga BBM Naik?

Kenaikan harga BBM kali ini memang cenderung mengagetkan masyarakat. Pasalnya, harga minyak dunia saat ini cenderung stabil dan tidak mengalami lonjakan. Jika menggunakan patokan harga minyak dunia, tentu BBM tidak seharusnya dinaikkan saat ini.

Salah satu alasan pemerintah menaikkan harga BBM tahun ini adalah untuk melakukan penyegaran dan penyelamatan terhadap APBN. Selama ini APBN Indonesia banyak digunakan untuk menyubsidi BBM. Untuk 2012 saja, subsidi BBM dari APBN sebesar Rp 137 triliun dan ternyata realisasi anggarannya pada Desember 2012 membengkak hingga Rp 211,9 triliun.

Banyak kalangan yang menilai subsidi BBM selama ini tidak tepat sasaran. Subsidi BBM yang menguras APBN itu ternyata hanya dinikmati pengguna kendaraan pribadi yang berasal dari kalangan menengah ke atas. Oleh sebab itulah pemerintah perlu menaikkan harga BBM agar subsidi yang selama ini diberikan tidak salah sasaran.

Argumentasi di atas tentu sangat masuk akal dan bisa diterima. Tetapi, sepertinya pemerintah lupa pengguna BBM tidak hanya masyarakat kalangan menengah atas. Banyak masyarakat kelas bawah yang sangat bergantung pada BBM bersubsidi. Dengan kenaikan harga BBM ini, dipastikan akan terjadi efek domino di berbagai sektor. Seiring dengan naiknya harga BBM pasti disertai dengan kenaikan harga yang lain; mulai dari harga kebutuhan pokok hingga biaya transportasi.

Jika argumentasi kenaikan harga BBM disebabkan subsidi BBM banyak dinikmati masyarakat kelas atas, ada baiknya pemerintah melakukan terobosan-terobosan lain. Misalnya saja dengan menaikkan pajak kendaraan pribadi (mobil), sebab selama ini pengguna kendaraan pribadi-lah yang paling banyak menikmati BBM bersubsidi. Dengan kenaikan biaya pajak itulah kemudian digunakan untuk menyubsidi BBM. Artinya, masyarakat kelas atas secara tidak langsung telah membayar harga BBM nonsubsidi. Hanya saja dalam bentuk pajak.

Seluruh kalangan masyarakat, baik yang kaya maupun yang kurang mampu, memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati BBM bersubsidi. Sebagai penutup subsidinya diambilkan dari biaya pajak kendaraan pribadi masyarakat yang dinaikkan. Masyarakat kurang mampu tetap bisa membeli BBM bersubsidi sesuai dengan kemampuan mereka.

Menggugat BLSM

Sebagai kompensasi dan pengganti subsidi, pemerintah rencananya akan membagikan 15,5 juta kartu khusus yang diperuntukkan kepada masyarakat miskin penerima Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) dengan anggaran Rp 30,1 triliun.

Kartu khusus ini akan dibagikan kepada semua masyarakat yang berhak mendapatkan dana kompensasi. Kartu ini juga bisa digunakan untuk mendapatkan bantuan, baik beras untuk rakyat miskin (raskin), Bantuan Siswa Miskin (BSM), Program Keluarga Harapan (PKH), serta Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).

Apa pun namanya, baik BLSM, raskin, PKH, BSM, atau yang lainnya, sejatinya kebijakan itu adalah sebuah pembodohan sistemik terhadap rakyat. Terlebih program itu nantinya hanya akan berjalan selama empat bulan. Jika kebijakan BLSM ini dihentikan tentu akibatnya jelas. Angka kemiskinan di negeri ini akan meningkat tajam sebab masyarakat tak memiliki kemampuan menyubsidi dirinya sendiri.
Pemerintah seolah telah melupakan sebuah ungkapan “berilah kail, jangan beri ikan”. Memberi ikan hanya akan habis sekali makan tanpa bekas.

Bila memberikan kail, ikan bisa dicari dan diperoleh berkali-kali. Artinya, jika rakyat diberikan bantuan uang tunai secara langsung, tentu akan habis untuk beberapa hari saja. Untuk hari-hari selanjutnya, mereka tetap harus berhadapan dengan harga-harga barang yang makin melambung karena kenaikan harga BBM.
Seharusnya pemerintah lebih berhati-hati dalam persoalan menaikkan harga BBM. Jika salah perhitungan, masyarakat yang akan menjadi korban.

Ada baiknya pemerintah berhenti berkutat dalam persoalan BBM, lebih baik segera mencari dan mengembangkan sumber energi alternatif sembari membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya guna meningkatkan taraf ekonomi masyarakat. Jika ekonomi masyarakat telah mapan, tentu kenaikan harga BMM tidak akan menimbulkan gejolak.


Saat ini harga BBM telah dinaikkan. Tak ada gunanya mencaci maki pemerintah. Demonstrasi dari semua elemen masyarakat saat BBM akan dinaikkan ternyata juga tidak didengar oleh pemerintah. Untuk itulah saat ini kita harus berusaha keras untuk tetap bisa menyesuaikan diri dengan melambungnya harga kebutuhan pokok. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar