Kamis, 27 Juni 2013

Pemilihan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan

Pemilihan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan
Oce Madril ;  Dosen Fakultas Hukum UGM;
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi FH Universitas Gadjah Mada 
KORAN TEMPO, 27 Juni 2013


Dalam hal pemilihan anggota BPK, tidak ada proses checks and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif. Tidak seperti pemilihan pejabat negara lainnya, di mana ada keterlibatan lembaga presiden (pemerintah) dan DPR.
Dewan Perwakilan Rakyat segera memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai pengganti Taufiequrachman Ruki, yang berakhir masa jabatannya. Pemilihan kali ini mendapat sorotan karena, di antara daftar calon, terdapat nama kandidat yang pernah tersangkut kasus hukum. Kewenangan DPR yang terlalu besar dalam proses seleksi pejabat negara juga mulai dipertanyakan. 
Berdasarkan konstitusi, pemilihan anggota BPK merupakan kewenangan DPR. Hal ini diatur dalam Pasal 23F UUD 1945 bahwa anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ketentuan ini merupakan aturan baru yang diperkenalkan dalam konstitusi pasca-amendemen. Sebelumnya, kewenangan memilih anggota BPK ada di tangan presiden. 
Ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1965 tentang Pembentukan BPK menyatakan bahwa kewenangan pemilihan ketua, wakil ketua, dan anggota BPK ada pada presiden. Berdasarkan undang-undang ini, anggota BPK sebanyak-banyaknya terdiri atas 21 anggota yang mewakili partai politik, wakil angkatan bersenjata, wakil organisasi massa revolusioner, atau orang-orang yang punya dukungan masyarakat yang terorganisasi.
Kewenangan Presiden kembali ditegaskan dalam UU No. 5/1973 tentang BPK. Tetapi dengan sedikit perubahan karena adanya keterlibatan DPR, bahwa ketua, wakil ketua, dan anggota BPK diangkat oleh presiden atas usul DPR. Undang-undang ini mulai mengakomodasi keterlibatan DPR, di mana DPR mengusulkan tiga orang calon untuk setiap lowongan keanggotaan BPK. 
Kewenangan Presiden beralih sepenuhnya ke DPR setelah amendemen konstitusi dan ditetapkannya UU No. 15/2006 tentang BPK. Walaupun hanya memberi pertimbangan, DPD ikut dilibatkan dalam proses pemilihan. Tiga model mekanisme pemilihan yang pernah diterapkan memiliki nilai tambah dan kekurangan masing-masing. Namun, satu yang harus dihindari, adanya monopoli satu lembaga dalam proses pemilihan. Monopoli ini cenderung akan melahirkan kekuasaan yang dominan yang tidak bisa dikontrol dan berujung pada penyalahgunaan. 
Dalam hal pemilihan anggota BPK, tidak ada proses checks and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif. Tidak seperti dalam pemilihan pejabat negara lainnya, di mana ada keterlibatan lembaga presiden (pemerintah) dan DPR. Memang ada keterlibatan DPD. Tetapi DPD hanya sebatas memberi rekomendasi yang dengan mudahnya dapat diabaikan oleh DPR. Artinya, kewenangan ada di tangan DPR sepenuhnya. Model inilah yang rentan disalahgunakan. 
Apalagi, faktanya, proses seleksi pejabat publik di DPR selalu tidak transparan. Proses fit and proper test selama ini hanya sebagai ajang transaksi politik. Bahkan, tak jarang, proses itu menjadi ajang transaksi suap. Pertimbangan pemilihan calon juga sering kali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Terkadang DPR justru memilih calon yang berkualitas dan berintegritas rendah. Alasan-alasan politis lebih mendominasi daripada pertimbangan kompetensi dan integritas. 
Politisasi inilah yang seharusnya dihindari dalam pemilihan anggota BPK, karena BPK bukanlah lembaga politik. BPK adalah lembaga negara yang bebas dan mandiri yang tidak boleh diintervensi oleh lembaga lain. Anggota BPK merupakan jabatan strategis. Betapa tidak, anggota BPK punya kewenangan memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. BPK juga berperan besar dalam pemberantasan korupsi, karena berwenang melakukan audit investigasi ihwal penyimpangan keuangan negara yang berdampak pada kerugian negara. Hasil audit BPK sangat menentukan pengungkapan berbagai kasus korupsi kelas kakap, misalnya kasus Century, Hambalang, dan kuota impor sapi. 
Namun, sayangnya, mekanisme seleksi anggota BPK di DPR sangat mengkhawatirkan. Prosesnya berlangsung tertutup, tidak partisipatif, dan tidak serius. Kesalahan paling fatal DPR adalah meloloskan calon yang pernah tersangkut kasus korupsi. Padahal telah jelas dan tegas dinyatakan dalam UU BPK bahwa mereka yang pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 tahun atau lebih tidak boleh menjadi calon. Lolosnya calon yang pernah terlibat korupsi jelasmenunjukkan ketidakseriusan DPR dalam melakukan seleksi. 
DPR juga terlihat enggan berkoordinasi dengan lembaga lain untuk menelusuri rekam jejak calon. Misalnya dengan KPK dan PPATK. Kerja sama dengan KPK dan PPATK penting dilakukan minimal untuk menelusuri kewajaran harta kekayaan dan transaksi keuangan para calon. Hal ini diwajibkan oleh UU No. 28/1999 bahwa setiap penyelenggara negara wajib melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat dan bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat. 
Dengan proses seleksi yang buruk, bagaimana mungkin kita akan menemukan calon anggota BPK yang mumpuni. Publik pasti akan ragu terhadap kredibilitas calon terpilih hasil seleksi DPR. 
Kekuasaan DPR
Buruknya proses seleksi anggota BPK membuka perdebatan perihal besarnya kekuasaan DPR dalam pemilihan pejabat negara. Peraturan perundang-undangan pasca-amendemen konstitusi memang memberikan kewenangan yang besar kepada DPR. Tidak hanya terkait dengan fungsi-fungsi pokok parlemen, seperti legislasi, pengawasan, dan anggaran, DPR juga diberi kewenangan yang luas dalam hal pemilihan pejabat negara, anggota sebuah komisi negara, dan berbagai jabatan strategis lainnya. 
Pengisian jabatan publik, seperti pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, anggota Komisi Yudisial, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Ombudsman, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Informasi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, serta anggota komisi negara lainnya dilakukan oleh DPR. Tidak hanya itu, DPR juga ikut menentukan pemilihan hakim agung, Gubernur Bank Indonesia, Deputi Gubernur Bank Indonesia, anggota BPK, kepala kepolisian, dan Panglima TNI. 
Salah satu alasan utama kenapa DPR diberi kewenangan yang luas dalam pengisian jabatan publik adalah untuk melakukan fungsi checks and balances atas kewenangan presiden. Sebagaimana kita ketahui, sebelum amendemen konstitusi, presiden memiliki kewenangan yang sangat besar. Presiden bahkan memonopoli kekuasaan parlemen. Dan pada masa itu, parlemen hampir tidak punya kekuatan untuk mengawasi dan mengontrol kekuasaan presiden. 
Alasan lainnya adalah sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas publik. Terkait dengan hal ini, Peter Waller dan Mark Chalmers, dalam sebuah laporan penelitian berjudul An Evaluation of Pre-Appointment Scrutiny Hearings (2010), menyatakan bahwa pelibatan parlemen dalam proses pemilihan pejabat publik bertujuan melindungi hak dan kepentingan publik. Hak dan kepentingan publik itu dapat dicapai dengan sebuah prosedur pemilihan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif. Proses pemilihan di parlemen biasanya dilakukan secara terbuka, dan rakyat dapat menyaksikan, bahkan ikut terlibat memberi masukan. 
Tetapi berbagai alasan di atas mulai dipertanyakan. Perpindahan kewenangan ini berimplikasi pada membengkaknya kekuasaan. DPR menjadi tidak terkontrol. Akibatnya, terjadi pergeseran penyalahgunaan dari kekuasaan eksekutif ke legislatif, sebagaimana terjadi pada kasus suap dalam pemilihan mantan Deputi Gubernur Senior BI Miranda S. Goeltom. 
Bagaimanapun, kekuasaan absolut cenderung koruptif. Kekuasaan penuh DPR dalam pemilihan anggota BPK harus diimbangi kekuasaan lain. Upaya minimal sesuai dengan konstitusi adalah memperkuat keterlibatan DPD. Rekomendasi dan pertimbangan DPD harus benar-benar diperhatikan oleh DPR. Lebih ideal jika DPR memilih dari daftar nama calon yang direkomendasikan DPD. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar