Kamis, 27 Juni 2013

Pengusaha Membakar Hutan

Pengusaha Membakar Hutan
Laode M Syarif ;   Pakar Hukum Lingkungan; Penasihat Senior Hukum dan Lingkungan di Kemitraan; Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar
KOMPAS, 27 Juni 2013


Ironi tahunan kemarau terulang lagi. Hutan kita dibakar para pengusaha pembuka hutan dan lahan. Pelakunya dengan mudah bisa diketahui karena semua hot-spot dan sumber api yang terdeteksi berasal dari kawasan konsesi pembukaan lahan. Adalah omong kosong jika Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah tidak mengetahui perusahaan dan pemilik yang membakar hutan. Satelit NOAA dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG ) dapat menunjukkan hot-spot dan titik api setiap saat. Kesimpulannya, ada pembiaran oleh institusi negara, seperti Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, kepolisian dan pemda, serta tidak adanya kepemimpinan yang nyata dan tegas dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Sebagai orang yang mengikuti isu pembakaran hutan, saya telah bicara dan menulis tentang pembakaran hutan sejak 1997-1998. Bahkan, saya telah terlibat dalam pelatihan aparat penegak hukum di bidang lingkungan.

Saya pernah menulis di Kompas (15 Agustus 2005) bahwa sejarah pembakaran hutan Indonesia dalam skala masif telah dimulai pada Juni 1982 dan Mei 1983. Hutan yang dibakar di Kalimantan Timur mencapai 3,2 juta hektar. Kerugian ekonomi diperkirakan 9 miliar dollar AS (Hess, 1994). Kejadian serupa berlangsung dalam skala ”kecil”, sampai kita dikagetkan lagi dengan pembakaran 500.000 hektar hutan pada tahun 1991 dan 5 juta hektar pada tahun 1994.

Namun, pembakaran hutan tahun 1997-1998 merupakan yang terparah karena menghilangkan 9,76 juta hektar hutan. Program Lingkungan PBB (UNEP) melukiskan musibah tersebut sebagai ”one of the biggest environmental shocks since 1950 and among the most damaging in recorded history” karena asapnya sampai ke Filipina, Thailand, dan Vietnam. Akibatnya, 70 juta orang di enam negara ASEAN menderita sakit, penerbangan di empat negara ASEAN terganggu, serta tewasnya 234 penumpang pesawat yang jatuh di Sumatera.

Menurut perhitungan Bappenas dan Bank Pembangunan Asia (ADB), kerugian ekonomi akibat asap di tiga negara ASEAN yakni sebagai berikut: Indonesia rugi 9.298 juta dollar AS, Malaysia 321 juta dollar AS, dan Singapura 69,3 juta dollar AS (Glover & Jessup, 1999). Kita tidak belajar dari ”kebodohan” tahun 1997-1998 karena setiap tahun pembakaran hutan dan lahan selalu berulang, dan para pelakunya hampir tidak pernah ada yang dihukum.

Pada tahun 2000 dan 2001, pembakaran hutan di Kepulauan Riau dan Sumatera bahkan ”menghitamkan” dan menyesakkan Sumatera, Selat Malaka, Malaysia, dan Singapura, bahkan sampai di Thailand Selatan (AFP, 12/7/2001). Tahun 2002, pembakaran hutan di Kalimantan Tengah bahkan menutup Sabah, Sarawak, dan Brunei. Jarak pandang di Palangkaraya hanya 10 meter.
Pada tahun 2003-2005, pembakaran berulang dan pada 11 Agustus 2005 Pemerintah Malaysia menyatakan kondisi darurat dan meminta masyarakat melaksanakan shalat khusus di masjid-masjid memohon hujan turun (BBC News, 11/8/2005).

Ketika saya menyelesaikan tesis doktor saya (Regional Arrangement for Transboundary Atmospheric Pollution in ASEAN Countries) di Sydney University tahun 2006, saya berharap kejadian tahun 2005 merupakan pembakaran yang terakhir. Ternyata, pembakaran dalam skala masif masih terjadi pada tahun 2006 dan tahun-tahun berikutnya. Pemerintah sepertinya tidak peduli.

Dari aturan hukum, pemerintah memiliki perangkat hukum lengkap yang cukup untuk menyeret para pembakar hutan. Sebut saja UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) yang dengan tegas melarang ”pembukaan lahan dengan cara membakar” (Pasal 69 Ayat 1h).
UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga tegas mengatakan, ”Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya (Pasal 49).”

Di samping itu, ada juga PP No 4 Tahun 2011 tentang Kebakaran Hutan dan PP No 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan yang dengan tegas melarang pembukaan lahan dengan cara membakar.
Keempat peraturan hukum tersebut juga menyiapkan sejumlah sanksi, mulai dari sanksi administrasi, sanksi perdata, hingga pidana. Pasal 108 UULH sangat tegas mengatakan, yang membakar lahan ”dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 3 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar. Apabila suatu tindak pidana dilakukan badan usaha, pidananya ditambah sepertiga dari pidana maksimum. Pemerintah juga dapat memberikan pidana tambahan berupa perampasan keuntungan dan penutupan usaha (lihat UULH, Pasal 116 sampai dengan pasal 120).

Dari catatan saya, perusahaan yang betul-betul serius dijerat dengan UULH hanya PT Adei Plantation. Manajernya Mr C Gobi (warga negara Malaysia) dihukum 2 tahun dan perusahaannya didenda Rp 250 juta. Putusan itu dikuatkan Mahkamah Agung. Sayangnya, aparat penegak hukum hanya fokus pada ”perusahaan Malaysia”, sedangkan perusahaan pembakar lain dibiarkan.

UULH Pasal 112 menyebutkan, ”Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dapat dipidana 1 tahun dan atau denda Rp 5.000.000.”

Karena itu, sekarang adalah saatnya bertindak karena para pejabat juga bisa diseret ke meja hijau jika membiarkan pembakaran hutan. Apalagi, tampak di depan mata bagaimana para menteri terkait enggan membuka jati diri perusahaan pembakar hutan dan hanya pada tahap mengancam.

Segera investigasi

Kini saatnya Kementerian Lingkungan Hidup mengajak Kementerian Kehutanan, Polri, BMKG, dan Kejaksaan memulai investigasi. Upaya pemadaman harus dibarengi dengan penyelidikan tindak pidana karena jika tidak disegerakan, sebagian bukti akan hilang. Tim investigasi sudah saatnya dibentuk dan Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Kuntoro Mangkusubroto sudah saatnya mengimplementasikan multi-doors enforcement approach. Foto, video, dan peta lapangan kebakaran sudah harus dikumpulkan agar tidak dimakan ”si jago uang” (pengusaha) yang suka kongkalikong dengan aparat penegak hukum.

Presiden SBY harus memimpin langsung upaya penegakan hukum ini karena telah berani menerima penghargaan lingkungan internasional Valuing Nature Award tahun lalu di New York.
Perlu pula diingat, pembiaran yang dilakukan pemerintah dapat dijadikan salah satu alasan bagi Pemerintah Singapura dan Malaysia untuk menuntut Pemerintah Indonesia karena telah melanggar prinsip-prinsip dasar hukum lingkungan internasional, yakni prinsip bertetangga baik (good neighborliness) dan sekaligus menimbulkan pertanggungjawaban negara (state responsibility).

Dengan tidak bermaksud menakut-nakuti, organisasi masyarakat sipil di Singapura dan Malaysia serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat nasional telah berpikir untuk melakukan gugatan class action kepada pemerintah dan perusahaan yang membakar hutan jika pemerintah tidak bergerak.

Penyelesaian hukum yang tuntas atas kasus tersebut harus dijadikan prioritas utama agar hukum kita tidak dianggap sebagai ”harimau ompong” oleh para ”raja hutan” pembakar hutan dan lahan. Jangan lagi mengorbankan ”orang kecil” suruhan para ”raja hutan” yang tega membakar hutan dan memanggang manusia Sumatera dan negeri jiran kita. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar