Kamis, 27 Juni 2013

PKS dan Pujian SBY

PKS dan Pujian SBY
Ferry Ferdiansyah ;    Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Mercu Buana (UMB) Jakarta Program Studi Magister Komunikasi
SUAR OKEZONE, 26 Juni 2013


Setelah mengalami tarik ulur, akhirnya pemerintah memastikan kenaikan harga Bahan Bakar minyak (BBM) bersubsidi, untuk premium naik Rp2.000 menjadi Rp6.500 per liter dan untuk solar naik Rp1.000 menjadi Rp5.500 per liter. 

Kenaikan yang di dukung lima partai (338 anggota DPR) setuju dengan APBN-P 2013, mereka adalah Partai Demokrat, Partai Golkar, PAN, PPP, dan PKB. Sedangkan empat partai (181 anggota DPR) tidak setuju, mereka adalah PDIP, Partai Gerindra, Partai Hanura, dan PKS.
Sepatutnya peserta koalisi yang berada dalam Sekretariat Gabungan (Setgab), sudah menjadi kewajiban duduk bersama lima partai lainnya dalam  mendukung pengesahan APBN-P 2013, sesuai code of conduct atau kode etik koalisi. Namun PKS menghilang begitu saja saat Setgab membahas kenaikan harga BBM. 
     
Dalam kesepakatan yang telah ditandatangani bersama sebelum bergabung dalam koalisi,  tertera pada nomor urut 1, ditegaskan semua koalisi wajib sejalan dan tulus dalam berkoalisi. Nomor dua mengatur keputusan Presiden menyangkut kebijakan politik strategis dan penting wajib didukung dan diimplementasikan di pemerintahan maupun di DPR.
  
PKS tetap pada pendiriannya melakukan penolakan kenaikan BBM. Meski PKS merupakan partai yang tergabung dalam koalisi pemerintah, namun sikap PKS justru berseberangan, terkesan naif dan berstandar ganda. Pilihan ini menunjukan partai dakwah, telah melakukan akrobat untuk mengembalikan citra partai akibat ditinggalkan oleh kelompok swing voters dan para simpatisannya. Seyogyanya, sebagai partai pendukung pemerintah, partai di bawah kepemimpinan Annis mata mampu menggiring opini publik memberikan penjelasan kepada masyarakat alasan kenaikan BBM, serta memberikan dukungan, bukan sebaliknya, menyerang balik  dan mengklaim partainya sebagai partai yang peduli terhadap penderitaan rakyat. Selama ini PKS terkesan bermuka dua, efeknya bukan sekadar menyudutkan pemerintah maupun mencederai kesepakatan koalisi, namun telah memberikan pendidikan politik yang tak bagus bagi masyarakat.
  
Sudah bukan rahasia lagi, publik sudah dapat menduga penolakan ini dilakukan bukan sepenuh hati, hanya untuk mengalihkan perhatian atas kasus korupsi terkait kuota impor daging sapi yang menjadikan (mantan) Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka. Pada perkembangan kasus ini, merembet ke Hilmi dan Anis, serta diperkeruh munculnya nama-nama sejumlah wanita yang dikaitkan dengan petinggi dan orang dekat PKS. 
     
Sebelum PKS melakukan penolakan, telah menyepakati kebijakan kenaikan BBM, asumsi ini didasari pernyataan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Sudi Silalahi, sikap PKS bertentangan dengan hasil pertemuan SBY dengan Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin beberapa lalu. Menurutnya Hilmi mendukung rencana pemerintah menaikkan BBM.  Hal senada pun disampaikan anggota Majelis Syuro PKS, Tifatul Sembiring mengatakan, Ketua Majelis Syuro Hilmi Aminuddin sudah sepakat mendukung Yudhoyono, terkait kenaikan harga BBM. Namun, sikap itu berbeda dengan pernyataan politisi PKS yang diungkapkan ke publik.
  
Tak mengherankan partai yang didirikan 20 Juli 1998, sempat mendapatkan kritikan keras yang dilontarkan oleh sesepuh partainya sendiri. Mashadi mengeritik gaya hidup elit PKS yang cendrung munafik, menurutnya, banyak elit PKS tiba-tiba gaya hidupnya berubah sesudah jadi anggota DPR atau menteri, atau jabatan-jabatan lainnya.
  
Bisa saja kader militan PKS yang selama ini mengabdikan diri sepenuhnya untuk kemajuan partai, harus mengalami kekecewaan, kekecewaan ini pada akhirnya membawa keretakan. Konflik internal ini, nampaknya sudah tak dapat ditutupi, bukan hanya sesepuh partai saja yang merasakaan kekecewaan mendalam. Sikap kader PKS yang menduduki posisi menteri sangat terlihat begitu kecewa terhadap kebijakan politisasi elit partai, namun mereka tetap mengikuti keputusan pemerintah untuk menaikan harga BBM bersubsidi. 
  
Kebijakan politik PKS menurut penulis terlalu berani bermanuver dan  tetap pada pendiriannya melakukan penolakan dan tidak sejalah dengan pemerintah menunjukan partai ini lebih mengutamakan pencitraan partainya dalam menarik simpatik dibandingkan harus mematuhi kesepakatan koalisi. Partai ini terkesan  hanya mencari kepentingan partai semata dengan melakukan pencitraan di setiap kebijakan pemerintah, tanpa memperdulikan kesepakatan yang ada di dalam koalisi itu sendiri
  
Langkah menteri dari PKS yang cukup berani mengambil sikap ini pada akhirnya mendapatkan pujian langsung yang diucapkan kepala negara. SBY secara tegas mengapresiasi kerja keras menteri-menteri dalam pembahasan RAPBNP 2013. Selain itu, Yudhoyono juga mengapresiasi menteri-menteri yang tak terbawa arus politik dalam pembahasan tersebut. Alumni AKABRI 1973, mengatakan sudah seharusnya pemerintah dan jajarannya mengambil resiko politik dalam menjalankan tugasnya. Terlebih kebijakan yang terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat.
  
Menurutnya, pemerintah dan jajarannya sepakat dalam logika, penalaran, kalkulasi pada keperluan untuk mentetapkan kebijakan sebagai solusi atas permasalahan. Kalau untuk tetapkan kebijakan ambil keputusan, memilih sebuah opsi maka pemerintah harus bersatu.
  
Penulis akui, setelah bergulirnya angin reformasi yang ditandai dengan keterbukaan untuk mendapatkan informasi dan kebebasan berpendapat  menjadikan demokrasi dinegeri ini berjalan. Sangat disayangkan elit politik yang melawan kebijakan pemerintah terkesan hanya akal-akalan saja untuk menyelamatkan partai dari keruntuhan dan memilih caranya sendiri dalam meraih dukungan. Sikap PKS yang terus membangkang dan terus menerus melakukan pencitraan agar terkesan peduli terhadap keadaan rakyat, dengan mengeluarkan pernyataan seakan-akan sebagai partai oposisi bukan sebagai bagian dari koalisi.
  
Realitas ini, justru membuat publik dibuat bingung dengan berbagai langkah tokoh dan parpol seperti di atas. Di negara maju, era sensasi sudah lewat. Digantikan pejabat yang mampu menghasilkan kebijakan tepat dan nyata, tanpa publikasi sensasional berlebih. Itu juga yang harus terjadi di sini. Sudah sepatutnya profesinalitas ditanamkan dalam diri masing-masing elit politik dan pejabat publik. Tujuannya, agar kinerja tetap terpelihara, rakyat tidak dijadikan komoditas kepentingan politik sesaat.  Sangat jelas, Menteri adalah jabatan publik, sudah seharusnya bekerja untuk publik dan negara.

Sangat beralasan kebijakan kenaikan BBM bersubsidi adalah agar subsidi tepat sasaran dan menyelamatkan APBN. Selama ini, negara harus menangung beban cukup tinggi. Harga  bensin premium yang dijual Rp 4.500/liter, padahal biaya memproduksi bensin premium sekitar Rp 9.000/liter. Untuk menutupi kekuarangannya pemerintah menanggung kisaran Rp 4500/liter. Efeknya, negara terus menerus menanggung beban setiap tahun hingga Rp 370 triliun. Agar masyarakat tak mampu terkena imbasnya, pemerintah mengambil langkah berupa Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar