Selasa, 25 Juni 2013

Tetesan Embun

Tetesan Embun
Sukardi Rinakit ;   Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
KOMPAS, 25 Juni 2013 


Terlepas dari kontroversi kepemimpinan dan sikap pro-kontra lokalitas yang mungkin ada, saya mengapresiasi tanggapan cepat Bupati Boyolali, Jawa Tengah, Seno Samodro.
Ketika penulis memberikan informasi bahwa ada dua anak hebat dari Boyolali, kakak beradik Latif dan Yuni, yang bisa menjadi bibit unggul bangsa karena kepiawaian bermain catur, sementara orangtua mereka mengalami keterbatasan ekonomi akut, dia segera bertindak. Semoga itu berlanjut menjadi program aksi dan berlaku luas bukan saja untuk Latif dan Yuni, melainkan juga untuk anak-anak yang lain.
Sineas Garin Nugroho pernah mengatakan kepada saya bahwa sering kali sebuah entitas kekuasaan, baik di tingkat daerah maupun pusat, melakukan kesalahan mendasar, yaitu tidak menyampaikan informasi secara lengkap, efektif, dan terus-menerus kepada masyarakat mengenai apa-apa yang telah dilakukan. Padahal, mungkin saja pemerintah telah melakukan banyak hal untuk rakyat. Akibatnya, persepsi publik yang berkembang adalah pemerintah hanya tidur, tidak ngapa-ngapain.
Mungkin karena miskinnya sosialisasi itu, sampai menjelang masa akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini, saya tetap berpendapat bahwa para politisi kita secara umum miskin ketegasan. Kepentingan sempit untuk mempertahankan hak-hak istimewa ekonomi dan politik telah memperlemah—jika tidak boleh disebut menghancurkan—kebajikan politik yang seharusnya mereka junjung.
Contoh mutakhir adalah berlarut-larutnya keputusan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Wacana kenaikan sudah didengungkan sejak awal tahun, bahkan akhir tahun 2012. Akan tetapi, realisasi baru berlaku akhir minggu lalu, Jumat (21/6). Sekitar enam bulan rakyat diombang-ambingkan gelombang ketidakpastian harga kebutuhan pokok dan lain-lain. Ini terjadi karena pasar memberi tafsir sendiri mengenai kapan harga BBM akan naik.
Kegamangan masyarakat terjadi karena ketidaktegasan kepemimpinan nasional. Ia masih terlalu kalkulatif dan mungkin mendengar terlalu banyak masukan, termasuk risiko tragis menghadapi parlemen apabila PKS dicoret dari koalisi. Padahal, argumen itu sudah tidak relevan karena rentang waktu kekuasaan sudah hampir berakhir. Demikian juga dengan penerapan budaya politik Jawa yang memakai ”pembiaran” sebagai teguran dan jalan penghinaan secara halus. Itu juga sudah tidak berguna.
Situasi yang penuh kegalauan tersebut secara alamiah membuat momen yang dalam keadaan normal bernilai biasa-biasa saja akhirnya menjadi luar biasa. Ketidaktegasan, keglamoran, dan pencitraan politik yang berlaku selama ini akhirnya membuka ruang luas bagi figur-figur yang dinilai lugu, jujur, dan tegas, seperti Joko Widodo, Mahfud MD, dan Prabowo Subianto, untuk menempati relung-relung utama hati publik.
Itu karena masing-masing dianggap sebagai antitesis dari praktik politik dan dominasi warna politik saat ini. Kepada mereka, rakyat adhang-adhang tetese embun (rakyat berharap datangnya sesuatu walau sedikit). Pendeknya, rakyat punya mimpi baru meskipun sekecil tetesan embun. Mereka umumnya juga kurang percaya bahwa praktik demokrasi akan mundur apabila mereka salah memilih presiden. Mereka percaya bahwa situasi kini sudah berbeda.
Gagasan Taufiq Kiemas
Terlepas dari kelemahan yang mungkin dimiliki, sebagai politisi senior, (almarhum) Taufiq Kiemas secara cermat melakukan pengamatan terlibat terhadap praktik dan sistem politik yang berlaku di Tanah Air.
Konfigurasi politik yang lemah di parlemen, padahal bangunan koalisi sudah berdiri di dalam sekretariat gabungan; pemerintahan yang tidak efektif, lambatnya regenerasi kepemimpinan, dan melemahnya penerapan nilai-nilai Pancasila dalam peri kehidupan berbangsa dan bernegara—untuk menyebut beberapa contoh—telah mengkristalkan keyakinan Taufiq Kiemas bahwa beberapa langkah politik perlu dilakukan.
Kepada penulis, termasuk beberapa hari sebelum meninggal, dia mengulangi gagasannya. Pertama, agar pemerintahan menjadi efektif dan parlemen tidak terlalu gaduh, diperlukan rajutan konsensus yang menyepakati bahwa partai pemenang pemilu legislatif mengajukan calon presiden, partai yang memperoleh suara kedua menjadi calon wakil presiden, dan partai di posisi ketiga menjadi ketua DPR nantinya. Dengan konstruksi ini, ranah politik di republik diyakini tidak akan mudah panas.

Kedua, agar rakyat mempunyai harapan baru, rezim parlemen dan pemerintahan, khususnya para kandidat presiden dan wakil presiden, harus diisi oleh anak-anak muda. Politisi senior cukup menjadi pendukung (king maker). Selain kedua gagasan itu, sistem pemilu proporsional tertutup dan sosialisasi empat pilar juga menjadi fokus perhatian Taufiq Kiemas. Dengan gagasan dan langkah politiknya itu, suka atau tidak, ia juga tetesan embun bagi rakyat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar