Jumat, 26 Juli 2013

Argumen “Islam”untuk Kebebasan

Argumen “Islam”untuk Kebebasan
Ulil Abshar-Abdalla  ;   Tokoh Jaringan Islam Liberal, Politisi Partai Demokrat
ISLAMLIB.COM, 18 Juli 2013


Kenapa isu kebebasan mesti dibahas di sini? Bukankah kebebasan, baik sebagai konsep maupun praktek, telah dianggap “self-evident” saat ini, sesuatu yang sudah benar dengan sendirinya, tanpa perlu pembuktian lagi?

Melalui tulisan ini, saya justru ingin menyanggah bahwa ia telah self-evident.  Dalam praktek, konsep kebebasan, terutama dalam wilayah moral, kerap disanggah dan ditolak. Dan karena itu, soal kebebasan ini perlu ditelaah kembali, terutama dari sudut pandang Islam. Adakah justifikasi bagi konsep ini dari tradisi Islam sendiri?

Masalah inilah yang mau saya renungkan dalam ceramah ini. Sebelum bergerak lebih jauh, perkenankan saya menyampaikan catatan kecil terlebih dahulu. Kata “Islam” dalam makalah ini sengaja saya taruh di antara dua tanda kutip, sebab saya sadar apa yang disebut sebagai “Islam” bukanlah sesuatu yang monolitik, tunggal.

Jika dikatakan di sini “argumen Islam” tentu maksudnya bukanlah Islam sebagaimana adanya dalam pikiran Tuhan. Tak ada seorang pun yang memiliki akses terhadap pikiran-Nya. Yang dimaksud tentu argumen Islam sebagaimana saya pahami atau tafsirkan.
Tuhan memang telah mengirimkan pesan melalui Kitab Suci. Tetapi kita semua tahu, Kitab Suci menubuh dalam bentuk teks. Semua teks, seperti kita maklumi, kerap mengandung banyak penafsiran. Pemahaman seorang penafsir A terhadap ayat B dalam Kitab Suci, belum tentu sama dengan penafsir C. Begitulah seterusnya.

Begitu juga, pemahaman penafsir A yang hidup di zaman B belum tentu sama dengan penafsir C yang hidup di zaman D. Perbedaan pelaku tafsir serta di zaman kapan penafsir itu hidup, bisa mencetuskan lahirnya tafsir yang beda.

Kitab Suci memang berasal dari Tuhan. Tetapi pemahaman kita atasnya jelas merupakan hasil dari kegiatan manusiawi melalui otak dan penalaran. Karena itu, siapapun tidak bisa mendaku kemutlakan atas sebuah tafsir yang ia lakukan atas Kitab Suci.

Sebab manusia pada dasarnya adalah agen atau pelaku yang dikelilingi dengan sejumlah kelemahan dan keterbatasan – keterbatasan yang lahir karena wataknya sebagai makhluk yang meruang dan mewaktu.

             Islam sebagai agama ketundukan

Secara harafiah, Islam berarti “ketundukan” (istislam) atau berserah-diri. Inti pokok Islam ialah sikap tunduk seorang manusia yang biasa disebut dengan hamba (‘abd) kepada Tuhan yang Maha Kuasa, kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dalam Islam, dikenal dua istilah antinomik, yaitu taat dan maksiat. Taat ialah ketundukan seorang beriman kepada seluruh perintah dan larangan Tuhan; sementara maksiat ialah pembangkangan (disobedience) terhadapnya.

Ketaatan dipuji sebagai tindakan yang bajik dan memperoleh pahala, sementara kemaksiatan dikecam sebagai tindakan yang mendatangkan dosa dan hukuman, baik dalam kehidupan sekarang maupun nanti (al-akhirah).

Dalam banyak ayat Quran, ditegaskan pentingnya ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ayat dengan formula seperti ini: athi’u ‘l-Laha wa rasulahu, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, banyak kita jumpai di Quran.

            Di sana, ketataan diidentikkan dengan terciptanya situasi damai dan kasih-
sayang dalam kehidupan sosial sebagaimana ditunjukkan dalam QS 3:132. Sementara ketidak-taatan, alias pembangkangan, terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya, akan mendatangkan kekacauan dan instabilitas sosial sebagaimana terbaca dalam QS 8:46.

            Bertentangankah ketaatan dengan kebebasan?

            Jika kontruksi Islam adalah sebagaimana saya utarakan tadi, apakah dengan demikian Islam bertentangan dengan kebebasan? Jika Islam adalah agama ketundukan, apakah ini berarti ketundukan yang mengesampingkan atau mengabaikan kebebasan?

            Sebelum saya bergerak lebih jauh, perlu sedikit klarifikasi tentang makna kebebasan di sini. Apa yang saya sebut kebebasan di sini ialah tiadanya paksaan terhadap seseorang, entah untuk melakukan sesuatu atau meninggalkannya. Kebebasan saya mengerti sebagai “the absence of coercion”, tiadanya paksaan yang datang dari otoritas atau kekuasaan yang ada di luar seorang individu – bisa berupa otoritas negara, agama, tradisi, komunitas, atau yang lain.

            Istilah kebebasan di sini tidak saya maknai sebagaimana dalam perdebatan kalam atau teologi Islam klasik, yaitu berkaitan dengan free-will, kehendak bebas, dan kemampuan manusia untuk melaksanakan tindakan tertentu. Meskipun, pengertian kebebasan dalam pengertian yang pertama tak bisa dipisahkan dari pengertian kebebasan kedua sebagaimana dipahami dalam ilmu kalam. Keduanya saling terkait.

            Dengan pengertian seperti itu, apakah kebebasan kontradiktif terhadap ide ketaatan? Jawabannya: Tidak! Tak ada kontradiksi antara kebebasan dan ketaatan. Berikut ini adalah penjelasan lebih jauh.

            Kebebasan dan ketaatan adalah dua hal yang berbeda. Kebebasan adalah kondisi-asal, sementara ketaatan adalah sesuatu yang lahir setelah kondisi asal itu ada. Karena itu mempertentangkan antara kebebasan dan ketaatan sama sekali tidak masuk akal. Alih-alih bertentangan, keduanya saling mempersyaratkan, sebagaimana akan saya jelaskan nanti.

            Hubungan antara kebebasan dan ketaatan bisa kita setarakan dengan situasi berikut ini. Bayangkanlah dua situasi berikut: Situasi pertama, tersedianya sumberdaya finansial, sebut saja uang; situasi kedua, keputusan anda untuk memakai atau tak memakai uang itu. Atau, jika memutuskan untuk memakainya, anda memiliki sejumlah pilihan: bisa menonton bioskop, membeli sabun, sepeda motor, atau sekedar gorengan.

            Situasi kedua tak dimungkinkan jika tak ada situasi pertama. Anda tak memiliki 
kebebasan untuk membelanjakan uang jika tak memiliki situasi-asal terlebih dahulu, yakni ketersediaan uang.

            Jika analogi sederhana ini bisa kita terima, marilah kita kembali ke isu semula. Kebebasan, seperti saya katakan tadi, adalah situasi-asal yang menjadi syarat lahirnya situasi kedua, yaitu ketaatan.

            Seseorang tak bisa disebut individu yang taat jika ia tak memiliki kebebasan untuk taat dan tak-taat sekaligus. Kita tak bisa menggunakan kata taat dalam kasus lampu bohlam yang hidup atau mati karena anda memencet tombol sakelar, misalnya. Kita tak bisa mengatakan, dalam situasi seperti ini, bahwa bohlam taat kepada perintah anda untuk hidup atau mati, kecuali secara metaforik (majazi). Sebab lampu bohlam tidak memiliki pilihan untuk hidup atau mati. Dia hanya bertindak sesuai dengan hukum alam yang berlaku bagi dirinya.

            Kalau kita telaah Quran secara mendalam, tampak sekali bahwa seraya menekankan pentingnya ketaatan, Quran juga menaruh perhatian besar pada ide kebebasan sebagai kondisi awal yang memungkinkan adanya ketaatan (atau ketidak-taatan/kemaksiatan).

            Sebuah ayat yang menarik kita jumpai di Quran: Wa qul al-haqqu min rabbikum, fa man sya’a fal yu’min wa man sya’a fal yakfur (QS 18:29). Terjemahan bebasnya: Tegaskan kepada mereka, bahwa kebenaran itu datang dari Tuhan kalian; terhadap kebenaran itu, mereka punya dua pilihan: menerima atau menolaknya, iman atau kafir.

            Dalam banyak ayat di Quran juga kita jumpai penegasan tentang Tuhan yang tidak menghendaki keseragaman dalam prilaku manusia. Sebuah ayat terbaca sebagai berikut: Dan manakala Tuhan menghendaki, bisa saja Ia menjadikan kalian sebagai bangsa yang sama dan seragam (ummah wahidah), tetapi Ia menghendaki adanya dua golongan: golongan yang mendapat petunjuk dan yang tersesat (QS 16:93).

            Kata ta’at sendiri, secara etimologis, memiliki pengertian “mampu”, selain makna ketaatan yang kita kenal selama ini. Dari akar kata yang sama, muncul kata “istitha’ah” yang artinya adalah mampu atau kemampuan. Baik kata istitha’ah dan tha’ahmemiliki akar kata yang sama.

            Dengan demikian, seseorang bisa disebut taat manakala ia memiliki kemampuan untuk taat. Pada orang itu haruslah ada kebebasan untuk memilih antara taat dan tidak taat. Hanya dalam situasi seperti itulah ia memiliki pilihan antara menaati perintah atau melanggarnya.

            Kebebasan adalah kondisi-awal yang menjadi syarat seseorang melakukan tindakan ketataan atau ketidak-taatan.

            Karena itulah, konsep taklifmemiliki kedudukan penting dalam Islam. Taklif ialah kondisi seseorang yang memiliki tingkat kedewasaan rata-rata (dalam hukum Islam biasa disebut ‘al-rusyd’) yang membuat orang bersangkutan mendapatkan beban moral (taklif) untuk melaksanakan perintah Tuhan.

            Dalam Islam, setiap individu yang telah dewasa disebut “mukallaf”, orang yang menyandang beban atau tugas moral. Sementara itu, seseorang bisa disebut mukallaf jika ia bernalar. Dengan penalaran itulah ia mampu memahami makna perintah atau larangan agama.

            Seorang anak kecil yang belum bernalar, tak mendapatkan beban moral untuk 
melaksanakan perintah agama, sebab ia belum memiliki kemampuan untuk memahami. Ibn Qudama (1147-1223 M), seorang juris Islam dari mazhab Hanbali, memberikan rasionalisasi yang menarik. Seseorang disebut taat (atau tak taat) jika ia, saat memutuskan untuk memilih taat, dengan sengaja melakukannya. Ia harus menyengaja ketaatan itu.

Sementara, seseorang bisa disebut menyengaja ketataan jika ia paham perihal arti dan makna dari perintah yang dibebankan kepadanya. Seorang anak kecil tidak memenuhi kondisi semacam ini, dan karena itu ia tak menjadi obyek moral bagi perintah atau larangan agama.[1]

            Demikian pula, seseorang yang kehilangan daya nalar, atau sedang tidur, atau sedang dalam keadaan dipaksa oleh orang lain (under duress), ia telah kehilangan kebebasan, dan karena itu, secara moral, ia tak lagi dibebani oleh perintah agama.

            Kebebasan yang lahir dari kondisi kedewasaan dan kemampuan menalar menjadi fondasi penting dalam ketundukan dan ketaatan. Ketiadaan paksaan jelas menjadi syarat pokok seseorang menanggung beban moral. Karena itu, sangat logis jika Quran datang dengan penegasan yang maha penting ini: la ikraha fi al-din (tiada paksaan dalam agama, QS 2:256).

            Amar ma’ruf/nahi munkar dan polisi moral

             Salah satu soal yang mengganjal dalam perkara kebebasan dan ketataan ini adalah isu amar-makruf nahi-munkar – memerintahkan yang baik, dan mencegah hal yang munkar, jahat, dibenci oleh agama. Tak ada sedikit pun masalah dengan ajaran yang sangat penting dalam Islam ini. Setiap orang beriman diperintahkan oleh agama untuk menganjurkan kebaikan kepada orang lain, serta mencegah kejahatan.
Adakah masalah dengan prinsip seperti ini? Tak ada! Ajaran ini sama sekali tak bertentangan dengan ide kebebasan.

            Namun, benturan bisa saja terjadi jika ajaran ini dipahami secara “kurang tepat”. Berdasarkan prinsip amar makruf dan nahi munkar ini, muncul fenomena (atau sekurang-kurangnya kehendak untuk menegakkan) “polisi moral” atau, dalam istilah yang dikenal dalam hukum Islam, hisbahdi beberapa negeri Muslim. Polisi moral diadakan untuk melakukan pengawasan dan penegakan kode moral tertentu dalam masyarakat. Situasi ini bisa menyebabkan hilangnya kebebasan, sebab polisi moral biasanya tidak saja mengawasi moralitas masyarakat, melainkan juga memberikan hukuman bagi mereka yang melanggar kode moral tersebut.

            Contoh yang paling baik adalah fenomena polisi moral yang kita jumpai di negeri-negeri seperti Saudi Arabia. Saat waktu salat tiba, misalnya, polisi moral (biasa disebut di Saudi Arabia sebagaimuttawwi’in) akan berkeliling untuk mengawasi siapa yang tak pergi ke masjid untuk melaksanakan salat.

            Jika amar-makruf/nahi-munkar diterjemahkan dalam bentuk polisi moral seperti ini, kemungkinan adanya kontradiksi dengan ide kebebasan jelas besar.

            Apakah fenomena polisi moral dibenarkan dalam Islam? Masing-masing orang bisa punya jawaban yang berbeda.  

Tetapi jika kita telaah praktek dalam sejarah Islam, baik klasik atau modern, keberadaan lembaga ini sebetulnya sangat jarang kita jumpai. Dalam sejarah Islam klasik, praktek “hisbah” yang belakangan menjadi polisi moral sebetulnya dilaksanakan dalam wilayah terbatas yang menyangkut maslahat atau kepentingan publik. Mula-mula, hisbah dipraktekkan untuk mengawasi praktek-praktek kotor dalam perdagangan di pasar umum – semacam lembaga perlindungan konsumen yang kita kenal saat ini.

            Oleh para juris Islam, dalam perkembangan belakangan, pengertian hisbah ini diperluas maknanya sehingga mencakup wilayah moral yang sifatnya personal, tak langsung berkaitan dengan kemaslahatan pubik. Dari sanalah praktek polisi moral muncul, dan tentu saja menimbulkan masalah.

            Dalam era modern ini, fenomena polisi moral jarang kita jumpai di negeri-negeri Muslim, kecuali di negeri-negeri tertentu yang mempertahankan praktek Islam yang ketat dan konservatif seperti Saudi Arabia atau Afghanistan di bawah kekuasaan Taliban dahulu.

            Ada perbedaan yang mendasar antara aparat penegakan hukum (law enforcement bodies) dan polisi moral dalam pengertian hisbah, dan sebaiknya keduanya jangan dicampur-adukkan.

            Keberadaan aparat hukum bisa diterima dalam masyarakat modern karena sama sekali tak bertentangan dengan ide kebebasan. Tugas aparat penegakan hukum dalam negara modern ialah melindungi kebebasan seseorang dari gangguan orang lain.       

            Kita ambil contoh yang sederhana: pencurian. Dalam situasi ini, kebebasan dan hak dasar seseorang atas kepemilikan sedang diganggu atau diancam oleh tindakan si pencuri. Aparat hukum masuk dan turut campur dengan cara menghukum si pencuri untuk mencegah pelanggaran atas kebebasan dan hak seseorang.

            Sementara dalam kasus polisi moral, yang kita jumpai justru hal sebaliknya: pihak aparat masuk untuk mencampuri dan mengganggu kebebasan seseorang. Polisi moral yang masuk ke ruang privat seseorang dan memaksanya untuk melakukan tindakan tertentu yang dianggap bermoral menurut agama, misalnya salat atau puasa, jelas berlawanan dengan kebebasan orang bersangkutan.

            Dalam kasus pencurian, jelas ada hak seseorang yang dilanggar, yakni hak milik. Dalam kasus seseorang meninggalkan salat atau puasa, tak ada hak orang lain pun yang dilanggar. Dalam kaca-mata agama, seseorang yang tak melaksanakan salat atau puasa jelas berdosa, tetapi dia tak melanggar hak publik siapapun. Oleh karena itu, aparat keamanan tak bisa ikut campur dengan cara memaksa orang bersangkutan melakukan dua tindakan tersebut.

Perihal hukuman apa yang akan diperoleh oleh orang yang berdosa karena tak menjalankan puasa atau salat, itu sepenuhnya wewenang Tuhan di kehidupan kelak, bukan yurisdiksi aparat keamanan duniawi dalam kehidupan sekarang ini.
Ada hal yang menarik jika kita telaah secara cermat jenis-jenis hukuman duniawi (hudud) yang dikenal dalam Islam. Dalam Quran, hanya sedikit tindakan kejahatan (crime) yang dikenai hukuman duniawi – pencurian, pembunuhan, zina, menuduh zina tanpa bukti, dan tindakan makar/terorisme.

Dalam Quran, tak ada hukuman duniawi bagi tindakan-tindakan seperti meninggalkan salat, puasa, minum arak, berpakaian tidak sesuai dengan aturan aurat (Islamic dress code) atau tindakan-tindakan lain yang dianggap berdosa dalam pandangan Islam.

Dalam kaca-mata Islam, dosa terbesar adalah syirik (shirk) atau menyekutukan Tuhan. Sebagaimana kita ketahui, tak ada hukuman duniawi apapun, baik di Quran atau hadis, bagi tindakan syirik. Hukuman bagi syirik sepenuhnya ada di tangan Tuhan dan akan diberikan kepada pelakunya nanti dalam kehidupan kelak.

            Ini konsisten dengan prinsip kebebasan dalam keyakinan yang dicanangkan dalam QS 2:256: tak ada paksaan dalam agama. Ini juga sesuai dengan QS 18:29: Barangsiapa berkehendak untuk percaya, silahkan; barangsiapa tak berkehendak, dia boleh memilih untuk menjadi kafir atau tak percaya.
           
            Kebebasan dan masalah privasi

            Sebagaimana sudah kita lihat dalam paparan di atas, kebebasan adalah nilai pokok dalam ajaran Islam. Implikasi dari kebebasan adalah hak seseorang atas suatu privasi atau kehidupan pribadi yang tak boleh diintervensi oleh siapapun. Dalam masyarakat modern, hak atas privasi ini dianggap sebagai hal suci yang “haram” untuk dilanggar.

            Ancaman atas privasi selalu ada, baik dalam masyarakat tradisional atau modern. Di zaman digital sekarang ini, isu privasi menjadi perdebatan yang sangat sengit antara mereka yang memperjuangkan hak-hak sipil dan pihak lain yang menonjolkan isu keamanan (national security), misalnya.

            Dalam masyarakat yang menegakkan orde moral yang ketat, ancaman atas privasi biasanya datang dari polisi moral. Seperti dalam contoh-contoh yang saya kemukakan di atas, polisi moral punya kecenderungan untuk masuk dalam wilayah kebebasan pribadi seseorang. Kehidupan privat rawan dicampur-tangani oleh polisi moral.

            Dalam hal ini, relevan dikemukakan sebuah pendapat dari al-Ghazali, seorang sarjana Muslim terkenal yang hidup di Baghdad pada abad ke-12 M. Ia menulis pembahasan yang panjang sekali dalam jilid kedua dari karyanya yang masyhur, Ihya’ ‘Ulum al-Din (Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama) mengenai perkara amar-makruf/nahi-munkar ini.

            Al-Ghazali membuat sejumlah syarat atau “code of conduct” untuk pelaksanaan ajaran nahi-munkar. Salah satunya ialah bahwa apa yang disebut sebagai “munkar” yang layak dicegah itu haruslah sesuatu yang dilaksanakan secara terang-terangan di muka publik, bukan sesuatu yang dilakukan secara tersembunyi di ruang privat.

            Al-Ghazali mengutip sebuah kisah mengenai Umar, khalifah kedua pasca-wafatnya Nabi. Di sana dikisahkan, suatu hari, Umar memanjat dinding rumah seseorang, dan kemudian melihat penghuni rumah itu melakukan tindakan yang tak senonoh (halah makruhah). Umar mendamprat orang tersebut. Lalu terjadilah percakapan berikut ini:

            Orang itu: Wahai Sang Khalifah, kalaulah aku maksiat, paling jauh aku melakukan satu kemaksiatan (pelanggaran) saja. Tetapi engkau melakukan tiga maksiat sekaligus.

            Tanya Umar: Kok bisa? Apa saja?

            Jawab orang itu: Tuhan berfirman, “Janganlah kalian memata-matai,” (QS 49:12), dan engkau melanggarnya dengan mamata-mataiku. Tuhan berfirman, “Dan masuklah ke rumah orang melalui pintunya,” (QS 2:189), dan engkau masuk rumahku dengan memanjat atapnya. Tuhan berfirman, “Janganlah kalian masuk ke rumah selain rumah kalian kecuali rumah yang sudah kalian kenal (penghuninya), dan kalian mengucapkan salam terlebih dahulu,” (QS 24:27), dan engkau sama sekali tak mengucapkan salam.

           Lalu Umar membiarkan orang itu dan meminta dia bertaubat agar tak mengulang tindakan tak senonoh itu kembali.[2]

            Kisah ini menandakan betapa berharganya kehidupan privat dalam Islam. Tindakan Umar yang melanggar privasi seseorang, dengan eksplisit justru dikritik orang tersebut dengan merujuk kepada sebuah ayat dalam Quran.
  
            Freedom to sin

            Istilah “freedom to sin” (kebebasan untuk berdosa) diperkenalkan oleh Mustofa Akyol, seorang penulis dan intelektual Muslim Turki.[3]Istilah ini mungkin terdengar agak janggal, bahkan di telinga seorang konservatif, bisa membuat yang bersangkutan kebakaran jenggot.

            Konsep “kebebasan berdosa” bukan berarti anjuran bagi seorang beriman untuk berdosa. Konsep ini hanya untuk memperlihatkan konsekwensi lebih jauh dari prinsip-prinsip Qurani tentang kebebasan seperti yang sudah saya ulas di atas. Jika di hadapan seorang mukallafterbuka kebebasan yang lebar – kebebasan yang menjadi landasan moral untuk pembebanan perintah dan larangan agama,-- itu berarti kebebasan untuk dua hal sekaligus: menaati aturan agama atau tak menaatinya. Baik tindakan taat atau tak-taat, tentu, memiliki konsekwensi masing-masing.

            Jika pelanggaran (maksiat) itu menimbulkan kerugian dan gangguan atas hak orang lain (apa yang dalam hukum Islam disebut huquq al-adamiyyin, hak-hak anak-cucu Adam), maka terhadap orang itu dikenakan hukuman duniawi. Contoh yang paling gamblang: mencuri.

            Sebaliknya, jika tindakan maksiat itu tak menimbulkan gangguan atas hak dan kebebasan orang lain, melainkan hanya melanggar hak Tuhan saja (huquq al-Lah), maka terhadap orang itu sama sekali tak dikenakan hukuman duniawi. Ia hanya mendapatkan hukuman di kehidupan kelak. Contoh: tak salat atau puasa. Atau contoh yang lebih “ekstrim” lagi ialah tindakan menyekutukan Tuhan, sebuah dosa yang dianggap paling besar menurut Islam. Terhadap dosa-maha-besar ini, Islam tak menerapkan hukuman apapun kepada pelakunya.

            Dengan kata lain, selain kebebasan untuk taat, dalam Islam juga dikenal kebebasan untuk tidak taat, alias maksiat, berdosa, hingga batas yang paling jauh, yakni berdosa-maha-besar bernama syirik.

            Sekali lagi, kebebasan berdosa bukan berarti anjuran untuk melakukannya. Konsep ini hanya untuk menunjukkan bahwa lingkup kebebasan sebagaimana dikenal dalam Islam sangatlah luas.

            Tidak seperti yang dipahami oleh sebagian besar masyarakat dan sarjana Islam saat ini, kebebasan bukan saja kebebasan untuk bertindak baik, melainkan juga kebebasan untuk tak berbuat baik.Tentu saja, jika perbuatan tak baik itu melanggar kebebasan orang lain, ia harus menanggung suatu konsekwensi publik, yakni hukuman. 
            Kebebasan dan konsep ikhlas

            Roger Williams, seorang teolog Protestan Amerika yang hidup pada abad ke-19, dikenal dengan ucapannya yang masyhur, “Forced worship stinks in God’s nostril,” ibadah yang dipaksakan, baunya busuk di hidung Tuhan. Kutipan Williams ini menandai suatu tonggak penting dalam sejarah penegakan kebebasan agama di Amerika Serikat. Pernyataan Williams ini, dengan tegas sekali, menolak pemaksaan dalam ibadah; atau keyakinan secara lebih luas.

            Adakah kita jumpai hal yang kira-kira serupa dengan ucapan Williams ini dalam tradisi Islam? Kutipan yang persis, tentu tak ada. Tapi marilah kita pertimbangkan dua konsep penting dalam Islam:ikhlas dan riya’.

            Ikhlas adalah melaksanakan agama dan keyakinan secara murni untuk Tuhan, sementara riya’ adalah memamerkan ketaatan dan kesalehan untuk memenuhi “social pressure” atau menyenangkan publik. Riya’ biasa dimaknai sebagai pamer ibadah (showing off of piety).

            Tindakan riya’ dikecam begitu keras dalam sebuah ayat yang turun di Mekah. Mereka yang memamerkan ketaatan untuk menyenangkan publik atau tunduk kepada tekanan sosial dikecam oleh Quran sebagai orang-orang yang menipu atau mendustakan agama. Dengan kata lain, tindakan hipokrisi atau kemunafikan. Ini bisa kita baca dalam QS 107:6.

            Landasan keagamaan yang otentik, tiada lain, ialah kebebasan dan keikhlasan. Sementara keberagamaan yang palsu dan jauh dari semangat kebebasan ialah keberagamaan yang dipaksakan, entah melalui tekanan sosial, polisi moral, atau tekanan-tekanan yang lain.
   
Kepustakaan
[1] Ibn Qudama, Raudlat al-Nadhir wa Jannat al-Munadhir, hal. 26.
[2] Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din(Beirut: Dar al-Fikr, 1994), jilid ke-2, hal. 353. Tak dijelaskan dalam riwayat ini apa tindakan tak senonoh yang dilakukan oleh orang bersangkutan.
[3] Baca buku Mustofa Akyol, Islam without Extremes: A Muslim Case for Liberty (New York: W.W. Norton & Company, 2011), hal. 262-272.

* Teks ceramah umum di Freedom Institute dengan tema yang sama pada Senin, 15 Juli 2013.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar