Jumat, 26 Juli 2013

Dilema Pembiayaan Partai

Dilema Pembiayaan Partai
Arya Budi  ;   Peneliti Pol-Tracking Institute
KORAN TEMPO, 25 Juli 2013


Kasus daging sapi PKS adalah contoh paling mudah dan tampak untuk mengkonfirmasi model pembiayaan seperti ini, karena adanya pengusaha yang akhirnya menjadi pemasok dana partai (Tempo edisi 20-26 Mei) akibat kepentingannya terhadap kebijakan impor di Kementerian Pertanian yang "dipegang" PKS.
"Money is the mother's milk of politics", begitulah kata Jesse Unruh, politikus California, pada 1960-an. Analogi Unruh ingin menunjukkan bahwa, dalam tatanan demokrasi kepartaian, uang adalah keniscayaan dalam politik. Barangkali analogi ini pula yang menjelaskan korupsi politik tersimpul "berpangkal dan bermuara" pada lembaga kepartaian kita. Kasus yang menjerat petinggi teras partai, seperti kasus Hambalang di Partai Demokrat, atau kasus impor daging sapi di PKS, mungkin bukan sekadar individual greedy atau soal keserakahan politikus, melainkan lebih sebagai bentuk fund-raising yang menjadi "agenda" partai, atau faksi dalam partai. 
Padahal uang hanyalah satu dari empat sumber daya organisasi kepartaian, sekalipun uang juga telah lama menjadi tracer element (elemen penjejak)-Herbert Alexander, 1980-tentang bagaimana kekuasaan dikelola. Uang adalah sumber daya yang hanya bekerja di ranah operasional, sementara tiga sumber daya partai lainnya justru bekerja di ranah survival partai (ideologi), ranah pengelolaan faksional (pemimpin karismatik), dan ranah elektoral (anggota atau kader partai).
Khalayak publik, apalagi para kader dan simpatisan partai, mungkin tak akan membayangkan bahwa PKS, dengan institu­tional branding sebagai partai dakwah dan partai bersih, akhirnya masuk ke jebakan pembiayaan partai. Memang ada dua pola strategi fund-raising yang jamak terjadi pada partai-partai baik di negara demokratis maupun negara demokrasi-baru seperti Indonesia. Pertama adalah plutocratic income meminjam istilah Gidlund (1983) yang akhirnya menjebak PKS untuk harus berhadap-hadapan dengan KPK terkait dengan kasus impor daging sapi. Sederhananya, pemasukan plutokratik melibatkan "donor" kaya seperti perusahaan yang berkepentingan terhadap proyek negara yang berada di bawah kendali "kader" partai dalam pembiayaan partai. 
Pembiayaan partai bisa meliputi baik agenda elektoral, seperti kandidasi eksekutif dan legislatif, kampanye, atau pemungutan suara, maupun agenda organisasional (kongres, musyawarah, pemilihan ketua partai, dan lain-lain). Plutocratic income seperti ini telah jamak menjadi mekanisme keuangan partai di Indonesia. Kasus daging sapi PKS adalah contoh paling mudah dan tampak untuk mengkonfirmasi model pembiayaan seperti ini, karena adanya pengusaha yang akhirnya menjadi pemasok dana partai (Tempo, edisi 20-26 Mei) akibat kepentingannya terhadap kebijakan impor di Kementerian Pertanian yang "dipegang" PKS.
Kedua adalah bentuk pembiayaan income of office spoils (pemasukan hasil "rampasan jabatan"). Kasus Hambalang yang juga menjerat orang-orang teras di PD adalah contoh nyata bagaimana penguasaan kursi eksekutif di kementerian dan perolehan suara terbanyak di parlemen digunakan untuk menggerakkan mekanisme pembiayaan seperti ini. Walaupun uang mengalir melalui kanal faksi dan personal untuk kebutuhan Kongres Partai pada 2010, dana "rampasan" tersebut jelas berkontribusi pada pembiayaan partai secara tak langsung. Kedua model pembiayaan partai ini terjadi karena tiga pemasukan regular partai tidak cukup untuk memutar roda organisasi partai, apalagi memompa elektabilitas menjelang pemilu. 
Pola umumnya, pembiayaan partai dengan arus masuk dana yang besar terletak pada pemimpin teras partai. Sebagai misal, dalam korupsi di tiga partai beberapa bulan terakhir "Demokrat, Golkar, dan PKS" semua kasus tersimpul pada pucuk tertinggi kebijakan perputaran uang partai: Nazaruddin (Bendahara Umum PD) yang sudah menjadi terdakwa, Setya Novanto (Bendahara Umum Golkar) sekalipun baru disebut, dan Luthfi Hasan Ishaaq (Presiden dan mantan Bendahara Umum PKS). 
Memang, kini terjadi pencairan representasi sosial oleh parpol, terutama 12 partai politik peserta pemilu. Semua partai mengklaim sebagai partai rakyat. Akibatnya, hampir semua partai menjadi semacam catch-all partai sejak runtuhnya Soeharto (Riswanda Imawan, 2004). Namun Indonesia sebenarnya masih percaya pada teori klasik demokrasi konsosiasional Arend Lijphart (1969) bahwa sistem kepartaian sebuah negara adalah refleksi pembilahan sosial yang ada dalam masyarakat. Partai di Indonesia tetap merefleksikan eksistensi kelompok sosial masjid dan gereja, nasionalis dan "abangan" (Geertz, 1983), santri perkotaan dan santri pedesaan (Yon Machmudi, 2008), petani dan buruh, atau para pengusaha plus borjuasi kantoran. 
Artinya, ada dua diskursus yang muncul dalam pembiayaan partai. Pertama, pembiayaan total partai oleh negara. Sebagai misal, dari 111 negara (Afrika, Asia, Eropa, Amerika) dengan partai jamak atau non-single party country, tidak termasuk Indonesia, paling tidak ada 65 negara (59 persen) yang sudah mempunyai regulasi pembiayaan partai oleh negara (Austin dan Tjerstrøm (ed.), 2003). Bahkan kampanye kandidat di Prancis pun dibiayai negara (Karl-Heinz Nassmacher, 2003). Namun kita juga harus jujur bahwa pembiayaan partai oleh negara berpotensi dapat mengaburkan fungsi linkage partai politik, karena partai akhirnya bertanggung jawab kepada negara. Publik-pemilih hanya dihitung sebagai suara, karena tuntutan dan dukungan tidak terartikulasikan dalam program partai akibat partai hidup dari negara, bukan dari publik (baca: kader dan konstituen). Partai akan kabur apakah sebagai lembaga intermediary atau selayak auxiliary state institution seperti komisi negara dan lembaga-berbiaya-negara lain yang bersifat ad hoc. Atau partai politik bagian dari negara karena ada pemerintahan yang mengatur pemasukan partai secara total?
Kedua, jika partai politik dibiayai publik baik secara kolektif maupun individual, atau secara institusional ataupun kultural, partai akan mempertanggungjawabkan diri pada konstituen, anggota, dan kadernya. Penguatan pembiayaan partai secara mandiri ini akan memperkuat fungsi linkage bagi partai politik. Bentuk konkret dari pembiayaan mandiri ini adalah party enterprise atau badan usaha milik partai yang dikelola sebagai bagian sayap organisasi bisnis partai. Pembiayaan seperti ini pun rawan dengan malpraktek pengorganisasian partai. Akhirnya, orang masuk partai atau menjadi bagian dari partai (anggota/kader) adalah lebih pada soal lapangan kerja, gaji, dan untung-rugi. 

Lepas dari dilema pilihan-pilihan pembiayaan partai, pelembagaan biaya politik paling tidak mendarat pada dua hal: larangan (bans) dan batasan (limits), terhadap item-item pembiayaan politik. Dengan demikian, hal yang perlu dilakukan adalah pengetatan regulasi soal pembiayaan partai, seperti kampanye, penerimaan, pengelolaan, pembelanjaan, dan public disclosure lainnya. Atau, seperti di Amerika soal hard money dan soft money dalam pembiayaan kampanye. Akhirnya, undang-undang paket politik "regulasi soal parpol, KPU, pemilu legislatif, dan pemilu presiden" di Indonesia, yang hanya mengatur suara dan kursi, juga perlu mengatur uang dan utang secara lebih spesifik dan holistik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar