Selasa, 30 Juli 2013

Disonansi terhadap Politikus

Disonansi terhadap Politikus
Muchamad Yuliyanto ; Dosen FISIP Undip, Analis Komunikasi Politik, dan Pengelola Lembaga Pengkajian Survei Indonesia (LPSI) Semarang
SUARA MERDEKA, 26 Juli 2013


RILIS Lembaga Survei Indonesia mengenai rendahnya kepercayaan publik terhadap politikus (SM, 8/7/13) seperti ’’melengkapi’’ publikasi KPU yang meminta publik mencermati daftar calon sementara (DCS) Pemilu 2014, yang realitasnya sepi respons dan masukan.

Fakta itu membuktikan keminiman kepedulian masyarakat terhadap politikus yang akan berlaga pada 9 April 2014. Padahal praktik demokrasi elektoral yang makin modern seharusnya ditandai tingginya respons dan partisipasi publik, sejak publikasi DCS sampai pemungutan suara. Dalam konteks komunikasi politik, realitas itu menggambarkan terjadinya disonansi kognitif terhadap politikus.

Menurut Leon Festinger (dalam Venus; 2004), disonansi kognitif berarti berubahnya keyakinan seseorang pada saat mereka berada dalam situasi konflik. Dalam kondisi psikis tidak nyaman, seseorang bisa saja menolak pihak lain. Hal ini karena manusia didorong oleh keinginan untuk selalu berada dalam kondisi psikologis seimbang dan nyaman, atau dikenal dengan istilah konsonan.

Adapun dimensi framing media selama ini sering menempatkan fungsi kritik ketika meliput isu politik yang saat ini sarat penyalahgunaan kekuasaan, dan ACAPberujung pada korupsi oleh politikus produk demokrasi elektoral. Realitas media yang sering diterima mentah oleh khalayak, sejak penayangan iklan tokoh partai yang agitatif tentang penolakan korupsi sampai keberhasilan tagline partai bersih, peduli, dan profesional tapi tiba-tiba elitenya terjerumus korupsi justru makin memperkuat disonansi itu.

Apalagi mengguritanya korupsi dari pusat hingga kabupaten/ kota telah menjadi opini publik, yang makin memperlebar jarak antara harapan rakyat dan akrobat faktual politikus korup, serta hipokritas antara ucapan dan tindakan. Sejatinya dalam disonansi kognitif pemilih terhadap politikus ada tiga faktor determinan (Venus:2004;36). Pertama; derajat kepentingan tertentu dari seseorang terhadap kehadiran politikus, termasuk caleg.

Situasi ini mengindikasikan seberapa jauh kepentingan individu yang bisa dirasakan langsung atas kerja dan kehadiran politikus itu yang akan dipercaya mengelola negara. Makin rendah sentuhan kepentingan langsung yang dapat dirasakan, apalagi disuguhi perilaku korup dan amoral maka makin rendah pula kepedulian masyarakat selaku pemilih. Kedua; besarnya perbandingan disonansi seseorang yang memiliki relasi dengan jumlah konsonan yang dimiliki. Disonansi sesungguhnya merupakan ekspresi kekecewaan disertai sikap tak peduli kepada politikus.

Hal itu akibat praktik politik tanpa etika, yang dikomparasikan dengan harapan akan kejujuran politikus dalam mengelola negara demi mewujudkan kesejahteraan rakyat. Saat ini terjadi titik nadir komparasi antara disonansi kognisi publik dan konsonansi pada politikus berikut parpolnya. Ketiga; dasar argumentasi yang tak pernah menemukan rasionalitasnya pada saat menjelaskan mengapa inkonsistensi terjadi.

Parpol yang sejak awal kampanye berjanji jadi pelopor pemberantasan korupsi serta penegakan hukum demi kesejahteraan rakyat, dalam praktiknya terjerembab korupsi dan ketidakpedulian pada nasib rakyat. Manuver apa pun yang dilakukan politikus saat ini amat berat untuk mengembalikan tingkat konsonansi publik yang telah dipandu oleh media, lengkap dengan efek penguatan opini publik. Kepala Batu Menghadapi Pemilu 2014, parpol makin berat mempersuasikan konstituen guna dimobilisasi menuju TPS. Hal itu disebabkan makin kuat terbangun khalayak berkepala batu.

Pada konteks komunikasi politik maka khalayak tersebut, menurut Raymond Baeur (dalam Arifin:2003) adalah tipe yang sangat berdaya dan tidak lagi pasif dalam komunikasi politik. Secara demografis pemilih yang sebagian besar berpendidikan SD-SLTA makin pintar mengakses media, khususnya televisi. Adapun pemilih kelas menengah ke atas yang well informed juga penggila dunia maya yang amat intensif menguliti perilaku politikus dan parpol. Pemilih tak lagi menyukai model komunikasi linier yang monoton tapi menuntut transaksional sehingga mereka dapat mengetahui kapasitas dan kualitas SDM politikus.

Pemilih hanya akan mengikuti pesan politik bila memberi manfaat atau kepuasan pribadi. Khalayak kepala batu memiliki karakteristik amat rasional, aktif, dinamis, dan selektif terhadap terpaan informasi media ataupun pengaruh dari luar. Karena itu, meski parpol rajin memasang iklan di televisi ataupun outdoor media, pada H-8 bulan pemilu, popularitas parpol tetap masih rendah. Termasuk elektabilitas para kandidat capres yang belum meyakinkan. Menjadi wajar pula bila ada kekhawatiran angka golput makin tinggi pada Pemilu 2014.


Membesarnya jumlah pemilih berkepala batu, menurut Kenneth Anderson (1972) pada saat menerima masukan dari iklan dan kampanye maka komunikasi yang berlangsung pada diri pribadi akan melahirkan sikap penolakan. Publik akan mengomparasikan ucapan politikus dengan tindakan sebagai referensi sebelum menentukan pilihan, dengan melihat moralitas dan etika politikus bersangkutan. Semoga masyarakat makin cermat dan tidak mudah salah pilih lagi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar