Selasa, 30 Juli 2013

Lampu Kuning Perekonomian Kita?

Lampu Kuning Perekonomian Kita?
A Prasetyantoko ;  Ekonom dan Dosen di Unika Atma Jaya Jakarta
KOMPAS, 29 Juli 2013

  
Benarkah perekonomian kita sudah memasuki fase lampu kuning? Apa saja indikasinya dan bagaimana antisipasi kebijakannya? Pelemahan nilai tukar dan inflasi sering disebut sebagai indikasi memburuknya situasi. Namun, sebenarnya, keduanya hanyalah simtom atas persoalan yang lebih serius. Jika kita bisa bergerak cepat mengatasi persoalan fundamentalnya, kita bisa selamat.

Dua tantangan pokok yang harus dilihat secara lebih cermat adalah penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi dan defisit neraca pembayaran. Situasi global membuat tantangan keduanya kian sulit ke depan. Sama sekali tak benar menganggap tekanan kali ini lebih ringan dari sebelumnya.

Dari sisi tekanan terhadap inflasi dan nilai tukar, kita pernah mengalami situasi jauh lebih sulit tahun 2005 dan tahun 2008. Pada tahun 2005, misalnya, kenaikan rata-rata harga premium dan solar sebesar 126 persen mengakibatkan inflasi tahunan mencapai 17 persen. Sementara tahun 2008, kenaikan rata-rata harga energi 30 persen, inflasi mencapai 11 persen. Tahun ini, kenaikan rata-rata harga bensin dan solar 33 persen, inflasi diperkirakan sekitar 8,5 persen.

BI Rate tahun 2005 pernah mencapai level tertinggi 12,75 persen dan tahun 2008 mencapai 9,5 persen. Tahun ini, BI Rate diproyeksikan paling tinggi 7 persen, tergantung dari situasi pasar. Dari sisi likuiditas, situasi tahun 2008 juga mengalami tekanan jauh lebih buruk. Nilai tukar rupiah terdepresiasi 16 persen, sementara pasar saham terkoreksi lebih dari 50 persen, dihitung dari penutupan akhir tahun terhadap pembukaan awal tahun. Sementara kali ini, nilai tukar terdepresiasi 3-4 persen dan pasar masih akan tumbuh positif.

Jadi, apa yang lebih buruk dari situasi lalu? Meskipun memberi pukulan berat bagi kita, setelah itu krisis tahun 2008 memberikan banyak berkah. Pertama, harga komoditas cenderung naik sehingga perekonomian domestik begitu bergairah ditopang dua sektor utama, pertambangan (batubara) dan perkebunan (kelapa sawit). Kedua, memburuknya perekonomian negara maju yang diiringi program stimulus ekonomi masif telah menimbulkan ekses likuiditas yang mengalir ke pasar domestik.

Jujur diakui, melonjaknya harga komoditas dan derasnya likuiditas adalah dua faktor utama penyumbang pertumbuhan ekonomi kita. Bagaimana setelah keduanya tak lagi bergairah? Itulah masalah perekonomian kita hari ini. Proyeksi pertumbuhan 2013 terus dikoreksi. Bank Dunia memperkirakan tahun ini kita hanya tumbuh 5,9 persen, sementara Bank Indonesia mengoreksi proyeksi dari sebelumnya 6,3-6,8 persen menjadi 5,8-6,2 persen.

Pemerintah masih mempertahankan proyeksi 6,3 persen, tetapi kita tahu target itu sulit dicapai. Bahkan, beberapa lembaga investasi asing begitu pesimistis dengan prospek perekonomian kita. Natixis Asia, Morgan Stanley, dan BNP Paribas menaksir pertumbuhan ekonomi kita tahun ini 5,6 persen dan 6 persen tahun depan.

Mengapa ibarat balon, perekonomian kita mengempis, setelah tampak begitu optimistis? Perekonomian memang bergerak dari fase optimis (boom) menuju pesimis (burst). Siklus tersebut semakin hebat ketika dipacu faktor likuiditas. Kapital keuangan berfungsi sebagai akselerator, baik pada fase booming maupun bursting. Ben S Bernanke, Ketua The Fed, adalah salah satu teoretisi yang memformulasikan konsep financial accelerator tersebut. Jadi, dia sangat paham, stimulus likuiditas yang begitu besar justru akan menanam benih krisis lebih hebat di masa depan. Dan karena itu, cukup jelas program stimulus akan segera memasuki fase akhir. Upaya-upaya menenangkan pasar pasti dilakukan, tetapi aksi penghentian program stimulus tak bisa dihindari.

Proyeksi Bank Dunia juga menunjukkan prospek aliran likuiditas dari negara maju ke kawasan Asia Pasifik akan menurun paling drastis dibandingkan ke kawasan lain. Selama ini, Asia Pasifik menikmati aliran modal asing masuk paling besar dan ketika terkoreksi akan berdampak paling berat.

Persoalan mendasar ekonomi kita adalah terlalu bergantung pada komoditas primer dan menikmati aliran modal asing masuk, tanpa diberengi transformasi fundamental pada sisi domestik. Akibatnya, kita begitu rentan terhadap siklus likuiditas global. Ketergantungan pada sektor komoditas tidak saja memengaruhi ekspor, tetapi juga investasi. Ketika harga komoditas di pasar dunia naik, penerimaan ekspor kita tinggi. 

Pada sisi domestik, nilai investasi di sektor pertambangan dan perkebunan juga naik sehingga menopang prospek pertumbuhan tinggi. Investor global juga memburu saham-saham berbasis komoditas primer.
Kini, ketika harga komoditas turun, kita terpukul dari berbagai sisi sekaligus. Pertama, penerimaan ekspor dan pajak menurun, mengingat perusahaan batubara dan kelapa sawit termasuk penyumbang pajak terbesar. Kedua, investasi di sektor berbasis komoditas primer merosot. Impor barang modal berupa mesin dan perlengkapan alat berat turun drastis. Penanaman modal asing di kedua sektor juga turun. Di pasar saham, indeks pertambangan dan perkebunan merosot lebih drastis dari indeks pasar IHSG.

Lalu apa yang bisa kita lakukan kini? Saat ekspor dan investasi tertekan penurunan harga komoditas dan permintaan domestik dihantui tingginya inflasi, satu-satunya sumber pertumbuhan yang masih bisa dimaksimalkan adalah pengeluaran pemerintah. Jika kita fokus pada komponen ini sehingga belanja pemerintah bisa lebih cepat terserap baik, akan muncul dampak lanjutan.


Pemerintah dan sektor swasta domestik perlu merapatkan barisan untuk mengeksekusi proyek-proyek infrastruktur dan upaya perbaikan sistem logistik guna menaikkan daya saing perekonomian. Pengeluaran pemerintah sebagai pengungkit, sementara sektor swasta sebagai akselerator. Fokus pada bidang itu saja, niscaya akan terjadi transformasi ekonomi berkelanjutan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar