Selasa, 30 Juli 2013

Membangun Sistem Sendiri

Membangun Sistem Sendiri
Sulastomo ;  Koordinator Gerakan Jalan Lurus
KOMPAS, 29 Juli 2013
  

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini mengajak kita semua melakukan refleksi jalannya reformasi. Setelah 15 tahun reformasi, sebagaimana kita rasakan bersama, ada hal-hal yang memang harus dikoreksi. Sempatkah?

Tentang sistem ketatanegaraan kita, tentang sistem presiden- sial kita, tentang sistem distribusi kekuasaan kita, dan juga mekanisme check and balances. Lebih jauh juga kondisi perekonomian kita: ketergantungan pada asing kian besar. Tentang pemanfaatan sumber daya alam dan potensi pasar dalam negeri yang nyaris justru lebih dimanfaatkan asing.

Bagaimana bisa negara kaya sumber daya alam, tanah subur, dan laut luas, terpaksa harus impor kebutuhan pokok, BBM, produk barang, dan jasa lain? Marilah kita perbaiki yang belum baik dan meneruskan yang sudah baik, kata Presiden. Sayang, ajakan itu di akhir masa jabatannya. Mungkin tak akan cukup waktu memimpin refleksi secara mendasar. Kita khawatir, ajakan itu isu politik jelang pemilu belaka.

Orientasi proses

Akan sangat ideal kalau sistem berbangsa dan bernegara itu sesuai dengan kesepakatan kita bersama. Sistem berbangsa dan bernegara seperti itu, dengan demikian, dibangun melalui pendekatan budaya sebab akan me- rujuk kepada kepentingan bersa- ma, kepentingan nasional di dalam mewujudkan cita-cita buat apa negara ini didirikan.

Meski bangsa Indonesia amat majemuk, kita telah menyepakati Pancasila sebagai dasar negara. Wujudnya budaya gotong royong atau kebersamaan. Meski UUD 1945 telah mengalami perubahan, Pembukaan UUD 1945 tak mengalami perubahan. Artinya, filosofi, landasan pemikiran, dan dasar negara tak mengalami perubahan sejak 1945 sampai kini.

Hal ini mengindikasikan bahwa kita masih konsisten dengan dasar, tujuan, buat apa negara ini didirikan. Ini penting sebagai lan- dasan mengawali refleksi reformasi. Perubahan yang terjadi adalah implementasi UUD 1945, batang tubuh UUD 1945, yang setelah 15 tahun reformasi kita merasakan adanya hal-hal merisaukan sehingga Presiden mengajak kita melakukan refleksi, meneruskan yang sudah baik dan memperbaiki yang belum baik. Tentu agar kita tak semakin menyimpang dari tujuan buat apa negara ini didirikan.

Masalah pokok yang perlu kita sepakati adalah menerjemahkan rumusan Pembukaan UUD 1945. Di sana tercantum tujuan, tata cara penyelenggaraan negara, dan bentuk masyarakat Indonesia yang kita cita-citakan secara garis besar. Intinya, bagaimana mewujudkan kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila sebab istilah demokrasi sebenarnya tidak ada di dalam UUD 1945.

Esensi demokrasi terdapat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, Kedaulatan Rakyat berdasar Permusyawaratan/Perwakilan. Segala kebijakan negara harus diambil berdasar permusyawaratan dari wakil-wakil rakyat. Hal ini mestinya diawali dengan bagaimana kita menetapkan wakil-wakil rakyat yang telah diperkenalkan sebagai pemilu.

Bagaimana wakil-wakil rakyat itu sesuai dengan aspirasi yang diwakilinya? Tentunya kalau rakyat yang memilih mengetahui wakilnya. Meskipun wakil rakyat itu dicalonkan sebuah partai, pemilih harus mengetahui wakilnya. Artinya, pemilu adalah memilih wakil rakyat, bukan memilih wakil partai. Ini hanya dapat terwujud kalau pemilihan umum diselenggarakan melalui sistem distrik. Kalau pemilu diselenggarakan dengan sistem distrik, penyelenggaraannya akan jauh lebih sederhana dan tentu biayanya lebih rendah, bahkan lebih demokratis. Baik pemilu tingkat nasional maupun pilkada.

Namun, melakukan perubahan sistem pemilihan umum mungkin bukan satu hal yang mudah sebab dengan sistem pemilihan umum yang berjalan selama ini, kepentingan para elite politik, para pemimpin partai politik, lebih terjamin. Buktinya, Pemilu 1955, yang dianggap paling demokratis, tidak mampu melahirkan pemerintahan yang stabil. Demikian juga pemilu di era reformasi: melahirkan wakil rakyat yang dinilai sering tidak nyambung dengan rakyat yang diwakilinya. Akibatnya, kepercayaan kepada partai merosot.

Dengan wakil-wakil rakyat seperti itu, berikutnya adalah pemilihan bagi pejabat eksekutif pemerintahan, dari presiden, gubernur, bupati/wali kota. Tak perlu pemilihan langsung, cukup melalui lembaga perwakilan, MPR, DPRD tingkat I dan II, sehingga, sekali lagi, akan jauh lebih sederhana dan demokratis. Pejabat eksekutif itu dipilih oleh pemilih yang setara sehingga ”bias” demokrasi akan dapat dihindari yang disebabkan pemilihan langsung di mana kesetaraan pemilih memiliki spektrum luas.

Dengan wakil-wakil rakyat seperti itu, akan lebih amanah melahirkan berbagai regulasi dan mengalokasikan anggaran negara untuk menyejahterakan rakyat dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Hal ini akan tecermin dari kebijakan perekonomian dan kesejahteraan sosial yang akan diberlakukan. Negara akan selalu hadir meski peran/partisipasi masyarakat akan selalu diberdayakan. Wujudnya di bidang ekonomi adalah sistem ekonomi pasar sosial terbuka, sedangkan di bidang kesejahteraan adalah perwujudan negara kesejahteraan berdasar Pancasila. Peran masyarakat dan negara akan seimbang. Dalam suasana itu, kemandirian bangsa tumbuh sendirinya hingga mampu berdiri tegak di era globalisasi.

Harapan

Bila kita menyepakati prinsip-prinsip sebagaimana dikemukakan di atas, berbagai pemikiran di era reformasi memang harus kita evaluasi kembali. Refleksi jalannya reformasi memang diperlukan agar perjalanan bangsa ini dalam mewujudkan cita-citanya semakin didekati. Prinsipnya, yang sudah baik dipertahankan, yang belum baik diperbaiki.

Bagaimana mewujudkan sistem ketatanegaraan, distribusi kekuasaan, check and balances? Semuanya harus diluruskan kembali. Dalam hal ini, kita tak boleh menutup mata pemikiran para pendiri bangsa ini, sebagai-mana termaktub di dalam UUD 1945 sebelum perubahan 2002, yang memang masih banyak yang relevan. Istilah yang tepat mungkin adalah kaji ulang UUD 1945. Tidak menutup perubahan pada UUD 1945, tetapi terus memperbaiki yang belum baik. Misalnya, pembatasan masa jabatan presiden untuk maksimal dua kali adalah contoh perubahan yang baik. Ini diperlukan 
untuk pengaderan pemimpin bangsa.


Dengan demikian, pendekatan yang diperlukan adalah pendekatan sistem agar melahirkan sistem sendiri, bukan salinan negara lain: sistem ketatanegaraannya, sistem demokrasinya, maupun sistem ekonomi dan kesejahteraan sosialnya. Apakah semua itu hanya mimpi? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar