Rabu, 31 Juli 2013

Menyoal Kinerja Birokrasi

Menyoal Kinerja Birokrasi
Ali Rachman  ;   Pengurus DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) 
Periode 2011-2014
SUARA KARYA, 30 Juli 2013

Artikel dari Penulis yang sama pernah dimuat di OKEZONENEWS 25 Juli 2013


Sekarang, makin banyak daerah dipimpin oleh kekuatan politik koalisi, atau latar belakang politik kepala daerah berbeda dengan wakilnya. Dalam kondisi demikian, keduanya memiliki visi dan misi politik yang juga berbeda meskipun telah disatukan pada saat pemilukada.

Layak dicermati, munculnya pemerintahan koalisi di banyak daerah merupakan imbas dari sistem multipartai yang memang mempersulit partai-partai menjadi dominan di daerah. Dengan kata lain, partai-partai di banyak daerah memiliki kekuatan yang relatif sama sehingga tidak mampu mengusung pasangan calon kepala daerah tanpa harus berkoalisi.

Padahal, setiap partai di daerah cenderung bermusuhan, tapi kemudian terpaksa harus berkoalisi demi merebut kursi kepala daerah dan kursi wakil kepala daerah. Karena itu, setiap pemerintahan daerah yang dibentuk berdasarkan koalisi berpotensi menyimpan benih-benih konflik dan rentan korup.

Faktanya, makin banyak terjadi perselisihan antara kepala daerah dengan wakilnya sehingga menimbulkan ketegangan politik yang berimbas pada ketidakharmonisan dalam memimpin pemerintahan daerah. Pada kondisi demikian, konflik politik berpotensi memanas sehingga berdampak negatif bagi kinerja birokrasi yang memperlambat kemajuan daerah. Selain itu, makin banyak kasus korupsi yang dilakukan jajaran pemimpin daerah, yang terjadi karena masing-masing berlatar belakang politik berbeda. Sehingga berbeda pula kepentingan politiknya yang ujung-ujungnya rebutan "proyek basah" untuk menggemukkan partainya masing-masing dengan cara-cara korupsi.

Untuk mengatasi konflik politik antara kepala daerah dengan wakilnya tentu saja tidak mudah jika masing-masing berambisi untuk berkuasa dan saling mengalahkan. Pada kondisi demikian, meskipun tidak harmonis tetap saja duet kepemimpinan di daerah dipertahankan.

Namun, ternyata ada juga yang memilih mundur, sebagaimana yang terjadi di Garut dan di DKI Jakarta. Dalam hal ini, mundurnya wakil kepala daerah bisa dianggap jalan pintas untuk mengakhiri konflik politik di daerah yang paling aman.

Jika wakil kepala daerah memilih mundur di tengah jalan karena tidak ingin memperuncing konflik politik dengan kepala daerah, hal itu bisa saja dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap rakyat yang telah memilihnya. Bagi wakil kepala daerah yang tidak lagi harmonis atau bahkan berselisih dengan kepala daerah, dan kemudian memilih mundur, bisa jadi merupakan langkah yang bijak dan menguntungkan bagi masa depan politiknya. Misalnya, setelah mundur, wakil kepala daerah bisa membangun kekuatan politik yang lebih besar untuk meraih kemenangan dalam pemilukada berikutnya sehingga dia bisa menjadi kepala daerah.

Dengan kata lain, mundur untuk maju adalah pilihan politik yang berdampak positif, karena ibaratnya sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Artinya, mundur sama dengan mengakhiri konflik sekaligus membuka peluang untuk membangun kekuatan baru untuk meraih kemenangan dalam pemilukada berikutnya.

Ban Serep

Dalam praktiknya, pasangan kepala daerah dengan wakilnya sering tidak bisa saling berbagi tugas dalam kinerja pemerintahan daerah. Bahkan banyak kepala daerah selalu sangat dominan sehingga imbasnya menyingkirkan wakilnya. Karena itu, wakil kepala daerah sering seperti ban serep atau roda cadangan bagi kendaraan yang tidak pernah terpakai sampai kendaraan tersebut berhenti di akhir perjalanan yang telah ditentukan.

Tentu sangat tidak nyaman bagi wakil kepala daerah yang diposisikan seperti ban serep yang terus menerus menjadi cadangan saja. Meskipun selalu menerima gaji buta karena tidak jelas tugasnya, rasanya tentu tetap tidak memuaskan. Bahkan bagi yang memiliki ambisi untuk ikut membangun daerahnya atau ingin mengaktualisasikan dirinya, menjadi ban serep akan membuatnya merasa seperti dikubur hidup-hidup.

Begitulah, menjadi ban serep adalah risiko yang sangat pahit bagi setiap wakil kepala daerah yang berambisi ingin mengaktualisasikan dirinya. Karena itu, sejak awal sebaiknya dibuat kesepakatan berbagi tugas dalam memimpin daerah. Artinya, kesepakatan berbagi tugas dalam memimpin daerah harus menjadi dasar pembentukan koalisi yang harus dipatuhi semua pihak. Tanpa adanya kesepakatan demikian, kepala daerah memang bisa selalu dominan sehingga terkesan menyingkirkan wakilnya.

Otoritas Tunggal

Mengingat potensi konflik politik lokal sangat riskan jika tidak segera diakhiri, selayaknya regulasi politik yang terkait pemerintahan daerah direvisi. Misalnya, aturan yang mengharuskan kepemimpinan daerah dipegang oleh kepala daerah dan wakilnya layak dianulir dan kemudian diganti peraturan baru. Sedangkan peraturan baru harus menjadi dasar hukum terbentuknya otoritas tunggal (single otority) di daerah.

Lebih gamblangnya, sebaiknya daerah hanya dipimpin oleh seorang kepala daerah yang mendapat suara terbanyak dalam pemilukada. Dengan demikian, pemilukada tidak lagi memilih pasangan calon kepala daerah dan wakilnya melainkan hanya memilih calon kepala daerah saja.


Single otority di daerah justru akan lebih efektif dan efisien dalam membangun dan memajukan daerah. Dan bagi semua pesaing kepala daerah bisa berdiri di barisan oposisi yang serius melakukan kontrol atas kinerja kepala daerah. Dengan demikian, single otority bisa berpotensi mencegah konflik politik lokal sekaligus berpotensi membentuk pemerintahan di daerah yang bersih dari berbagai macam korupsi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar