Rabu, 31 Juli 2013

Muka Baru, Gaya Lama

Muka Baru, Gaya Lama
Bisma Yadhi Putra  ;   Pengajar di Sekolah Demokrasi Aceh Utara
OKEZONENEWS, 30 Juli 2013
  

SEBAGAI anak muda yang telinganya akrab dengan lagu-lagu kontemporer, saya tak pernah kehilangan selera mendengarkan tembang-tembang lawas.

Namun, terus terang saja, saya cukup bosan dengan pemberitaan banyak media akhir-akhir ini: muka-muka lawas mendominasi bursa pencalegan dan pencapresan untuk Pemilu 2014. Kalau ada slogan yang hendak disuarakan sebagai ekspresi kedongkolan ini, tidak ada yang lebih menarik ketimbang: tembang lawas yes, figur lawas no! 

Figur lawas yang dimaksud di sini ialah mereka yang pernah nyapres, entah itu berhasil terpilih ataupun gagal. Dengan demikian, figur lawas tidak dikategorikan mereka yang berusia tua. Baik berusia tua ataupun muda, jika belum pernah maju sebagai capres, maka dapat dikategorikan figur alternatif. Tidak boleh ada superioritas generasi dalam membangun bangsa dan negara. 

Capres dan caleg alternatif

Parpol semestinya aspiratif. Penjaringan capres idealnya memperhatikan dan mengikuti selera publik. Publik jenuh dengan figur yang itu-itu saja. Capres idaman masa kini adalah figur alternatif. Selera publik yang demikian tergambar dari sejumlah hasil survei.

Jika ada parpol yang mengaku sulit mencari figur alternatif, patut diduga parpol yang bersangkutan tidak punya ahli pencari bakat. Figur alternatif berserakan di berbagai daerah. 

Pada Januari-April 2013, Pol-Tracking Institute melakukan survei terhadap figur-figur alternatif di daerah yang potensial diusung menjadi capres. Survei menghasilkan 10 kepala daerah yang dinilai berbobot sebagai figur alternatif. Ada Jokowi (82,54 persen) di peringkat pertama, disusul Wali Kota Surabaya Tri Rismaharani (76,33 persen), mantan Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad (70,38 persen), dan seterusnya. Parpol hendaknya aktif menjaring pemimpin-pemimpin sukses di daerah.

Aspirasi publik semacam juga muncul menjelang Pemilu 2009 lalu. Dari survei yang dilakukan Lembaga Survei Nasional pada 2-14 Mei 2008, 78,4 persen responden menginginkan parpol tidak lagi mengusung figur yang pernah nyapres di Pilpres 2004 pada Pilpres 2009. Kala itu, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Prabowo Subianto, dan Hidayat Nur Wahid menjadi figur alternatif yang populer. 

Figur alternatif hendaknya tidak dimunculkan di bursa pencapresan saja, tetapi di pencalegan pula. Sebab, mayoritas caleg yang menang di Pileg 2009 dicalonkan kembali oleh parpol di Pileg 2014. Sebanyak 507 anggota DPR RI maju lagi di Pileg 2014. Petahana mendominasi. Bahkan ada sejumlah menteri SBY diusung menjadi caleg. Sepertinya Pemilu 2014 akan sangat membosankan.

Kejenuhan publik dapat menyebabkan tingginya angka golput. Semakin minim figur alternatif, maka semakin meluas potensi golput. Ditambah lagi kekecewaan publik terhadap kinerja anggota DPR. Parpol mengusung petahana karena menganggap mereka sudah punya pengalaman di parlemen. Padahal, nyaris tak pernah terdengar apresiasi untuk anggota DPR.

Gagasan alternatif

Namun, tidak ada jaminan pula hadirnya figur alternatif dapat merangsang pemilih. Jika figur alternatif yang muncul ternyata masih mengusung ide-ide “lawas”, kejenuhan tetap akan terpatri. Gagasan lawas bukan hanya gagasan usang yang usianya sudah tua dan tidak lagi relevan dengan kekinian zaman, tetapi juga gagasan yang berbandul dari pola pikir arus utama, seperti kapitalisme, neoliberalisme, modernisme, demokrasi liberal, dan beberapa lainnya. 

Pola pikir arus utama itu selama ini menjadi acuan dalam perumusan kebijakan. Paham-paham semacam itu telah terbukti gagal menyejahterakan dan menenteramkan kehidupan masyarakat. Yang muncul di mana-mana adalah frustrasi kolektif, amarah massa, konflik akibat kesenjangan ekonomi, rusaknya lingkungan, musnahnya satwa, dan sebagainya.


Gagasan alternatif harus melahirkan program-program yang “menyimpang” dari pemikiran arus utama, tetapi tetap dalam koridor konstitusi. Kebijakan-kebijakan presiden sebelumnya yang sudah terbukti kemudian gagal dikoreksi. Hasil koreksi dijadikan landasan untuk merumuskan kebijakan baru. Masalah-masalah riil masyarakat menjadi referensi utama guna merumuskan kebijakan baru yang tepat sasaran.

Jika selama ini eksplorasi sumber daya alam dijalankan dengan nafsu modernisme yang cenderung mengabaikan moral, kearifan lokal, dan kelestarian alam, maka gagasan alternatif yang dapat dimunculkan adalah pemanfaatan sumber daya alam berspirit postmodernisme: kultur dan alam dihargai, tidak dirusak untuk memuaskan nafsu para kapitalis tamak. Eksploitasi hutan secara bebas dihentikan. Negara memegang kepemilikan penuh atas sumber daya alam yang ada.

Dalam hal kontrak karya, misalnya, figur alternatif yang mengusung gagasan alternatif akan bersikap tegas membatalkan seluruh izin eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan asing. Ia akan mengangkat menteri-menteri yang paham konstitusi dan mendukung gagasannya.

Ekonom-ekonom anti-neoliberalisme dirangkul untuk merumuskan strategi nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Program swastanisasi sumber daya alam diminimalisasi, lalu dihapuskan. Jika presiden sebelumnya mengusung gagasan ekonomi yang liberal-kapitalistik, ia memilih gagasan alternatif: ekonomi sosialistik. Penguasaan sumber daya alam oleh negara. Kemudiaan didistribusi seadil-adilnya kepada masyarakat secara merata.

Dalam hal utang luar negeri, jika figur yang sudah-sudah menawarkan peningkatan pajak untuk membayar utang, figur alternatif berani menyuarakan gagasan alternatifnya: menolak membayar cicilan utang luar negeri pada IMF dan Bank Dunia. Figur alternatif menerapkan prinsip fire fighter leadership: memadamkan api tanpa takut keselamatannya terancam. Tidak takut dengan konspirasi kekuatan asing yang hendak melengserkan kekuasaannya.

Dalam menyelesaikan konflik, pendekatan militeristik yang selama ini sering dipakai untuk menangani daerah-daerah rawan kekerasan diganti. Figur alternatif dengan gagasan alternatif akan menempuh jalan lain: pendekatan humanistik dan menyentuh akar persoalan. Jika penyebab konflik adalah kesenjangan ekonomi, maka penyelesaiannya dengan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang dinikmati banyak orang, tidak segelintir pengusaha (tamak) saja. Sebaliknya, pendekatan militeristik cenderung digunakan dalam merespons ulah negara lain yang melecehkan bangsa dan melanggar batas teritorial.

Figur alternatif tak harus serba alternatif. Jangan sampai figur alternatif malah menciptakan agama alternatif. Figur alternatif juga dapat menampilkan gaya kampanye alternatif: tidak berpura-pura dalam kampanye, seperti kebiasaan figur-figur lawas. 

Ia tidak pura-pura menjadi seorang sosialis saat kampanye, tetapi kelak menjelma menjadi seorang kapitalis saat berkuasa. Jika identitas yang dibangun saat kampanye adalah sosok sosialis, maka sosialisme menjadi spirit saat berkuasa. Ia tidak menggunakan cara kampanye yang sudah usang: membohongi rakyat dengan citra palsu.

Yang menjadi kendala: ketika yang terpilih sebagai presiden adalah figur alternatif dengan gagasan alternatif, tetapi mayoritas anggota parlemen terpilih masih didominasi muka-muka lama, maka gagasan-gagasan alternatif akan sulit direalisasikan. Legislator-legislator berwawasan usang akan menganggap ide-ide alternatif “menyimpang”. Jadi upaya mendorong munculnya capres dan caleg alternatif bukan agenda yang berdiri sendiri-sendiri. Ada korelasi penting antara keduanya.

Lebih baik mendukung figur lawas dengan gagasan alternatif, ketimbang figur alternatif dengan gagasan lawas. Yang jelas-jelas mesti diabaikan adalah figur lawas dengan gagasan lawas.

Namun, figur alternatif tak harus seragam. Sebagaimana lagu, baik yang kekinian maupun lawas, punya style dan genre-nya masing-masing. Mari terus menjala. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar